Lihat ke Halaman Asli

Wuri Handoko

TERVERIFIKASI

Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeologi Membaca Kepemimpinan

Diperbarui: 25 Juni 2020   21:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Arkeologi, ilmu yang mempelajari budaya melalui benda hasil karya manusia. Dengan demikian, arkeologi merupakan salah satu ilmu kebudayaan. Sekedar contoh, arkeologi meneliti candi borobudur sebagai hasil budaya manusia zaman klasik dulu, arkeologi mempelajari bangunan-bangunan kuno zaman batu, seperti stone hange yang terkenal itu. Arkeologi mempelajari bangunan makam kuno, mesjid dan gereja tua. Dari penelitian terhadap benda-benda kuno itulah, arkeologi menyimpulkan berbagai fenomena dan dinamika budaya umat manusia di seluruh dunia.

Dalam kacamata arkeologi, sebuah benda hasil karya manusia merupakan wujud sebuah ide dan gagasan serta pengalaman alam pikiran manusia. Didalamnya juga dapat pula dipelajari berbagai persentuhan dengan anasir-anasir budaya dari luar komunitasnya. Ini kemudian, diwariskan seturut berlalunya zaman hingga keadaan budaya yang kita lakoni saat ini.

Dalam penciptaan sebuah karya budaya, apalagi sebuah mega karya, tentu mengenal sebuah pengorganisasian yang dikendalikan oleh seorang pemimpin. Disini, arkeologi juga telah mencoba menggeledah dan membedah sebuah proses kepemimpinan sejak masa yang sangat tua, yang kemudian menjadi pengalaman sejarah dan budaya sebuah bangsa.    

Kepemimpinan telah muncul sejak masa lampau, ketika pertama kali manusia mengenal hidup berkelompok. Kepemimpinan adalah hasil sebuah proses budaya arkaik (sangat tua) yang terus berlangsung hingga kini. Artinya seiring dengan itu proses memilih pemimpin juga sebuah proses budaya yang panjang, yang telah dialami sekelompok manusia sejak mereka pertama kali mengenal sebuah pranata budaya dan skemata sosial dalam sebuah komunitas tertentu. Entah komunitas kecil apalagi besar, mulai dari kelompok-kelompok kecil (bands), yang bermukim di gua-gua prasejarah maupun lokasi terbuka, munculnya suku-suku (tribals) yang mulai hidup menetap hingga terbentuknya chiefdom (kerajaan) dan state (negara). Setiap kelompok manusia memperoleh dan belajar dari pengalaman sejarah dan budayanya masing-masing.

Di Indonesia, kita mengenal kemajemukan. Indonesia, didiami oleh berbagai suku bangsa, baik suku asal yang menganggap dirinya pribumi, maupun dari luar yang telah lama hidup dan bermukim maupun yang baru-baru saja tinggal di Indonesia. Dan kini semuanya hidup berdampingan sebagai warga Indonesia.

Proses bermukimnya banyak suku adalah juga sebuah pengalaman budaya yang telah berlangsung sejak manusia pertama kali mengenal migrasi, sejak ribuan bahkan mungkin jutaan tahun lalu hingga masa sejarah datangnya masyarakat dan pedagang-pedagang asing seperti China, Arab dan bangsa-bangsa Eropa. Kini mereka telah hidup turun temurun dan menjadi bagian dari populasi dan budaya Nusantara. Mereka semua adalah satu kesatuan komunitas warga negara yang bermukim di provinsi ini dalam bingkai keberagaman.

Dalam kacamata arkeologi, budaya dari suku-suku di wilayah Nusantara ini memiliki keanekaragaman budaya, meskipun justru satu sama lain banyak pula kesamaannya dan seiring waktu dan seiring proses berjalannya zaman, timbul berbagai keberagaman corak budaya yang saling melingkupi dan melengkapi. Hasil kajian arkeologi, terungkap pula benang merah antara masyarakat dari berbagai wilayah luar Nusantara.

Pada level yang sama sejak masa awal sejarah, terdapat banyak percampuran genealogis hasil proses kawin mawin diantara penduduk lokal Indonesia dengan daerah luar lainnya. Dan proses itupun masih dan akan terus berlangsung. Sekalipun keberagaman telah lahir karenanya, namun karena lahir, saling melingkupin dan melengkapi, ada pembauran, dan asimilasi, sejatinya inilah yang menjadi jiwa atau ruh budaya pada setiap zaman yang dilalui.

Dan pada alam sebuah kehidupan nation state, maka tak ada sesuatu yang homogen, sebaliknya kemajemukan adalah sebuah keniscayaan sekaligus kekayaan. Setiap elemen kemajemukan dalam masyarakat adalah sebuah potensi melahirkan berbagai karya, tanpa mengingkari prinsip dasar hidup bersama dalam keberagaman.

Maka, negara adalah sebuah ruang yang diperlukan untuk mewadahi keberagaman itu melalui berbagai perangkat dan pranatanya. Jika kita menyelami dengan sungguh-sungguh ruh kebudayaan, sejatinya ditengah keberagaman tak ada harmonisasi sosial yang semu, semua nyata terangkai sebagai hasil sebuah pengalaman budaya (cultural experience). Negara bangsa ini lahir melalui berbagai pengalaman sejarah dan budaya yang teramat panjang, dengan berbagai dinamika budaya yang amat kaya. Pengamalam dan kearifan masa lalu teramat berharga untuk dipetik pelajarannya.

Pengalaman terus diperoleh dan waktupun terus bergulir. Sejarah telah melahirkan pemimpin-pemimpin komunitas kecil hingga pemimpin sebuah negara besar yang dipilih dengan berbagai cara sesuai dengan warna zamannya. Kini kita telah lahir dan hidup dalam alam sebuah negara bangsa. Sebuah republik bernama Indonesia, yang berumur belum genap seabad. Negara yang terus menapaki jalan demokrasi. Di alam demokrasi, keberagaman adalah sebuah keniscayaan. Dan pemimpin yang dilahirkan tentulah seorang negarawan yang mengayoni dan melindungi segenap warga negaranya yang majemuk. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline