Lihat ke Halaman Asli

Wulan Sari

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI

Rokok Tanpa Rokok (Analisis Semotik dalam Iklan Rokok di Indonesia)

Diperbarui: 2 Juni 2023   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagai orang yang menjadi target iklan hampir setiap hari, saya terpikir bahwa iklan yang paling menguras pikiran adalah iklan untuk produk rokok. Hal ini karena iklan rokok tidak bisa menampilkan produknya sama sekali di dalam iklan. Hal ini diatur oleh Undang-Undang No. 32 tentang penyiaran Pasal 46 ayat (3) huruf c melarang iklan niaga melakukan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.

Akhirnya para produsen rokok ini harus memutar otak dan berpikir kreatif untuk membuat iklannya. Salah satunya adalah dengan membuat representasi produk menggunakan narasi yang kuat di dalam iklan. Tentu saja objek ini menjadi lahan penelitian semiotik yang menarik. Semiotik adalah ilmu yang mengungkap makna dari suatu tanda.

Dalam esai ini kita akan menggunakan salah satu iklan dari Sampoerna Hijau yang saya temukan di Youtube. Iklan ini berlatar belakang di salah satu undangan dan ada tiga orang yang mencoba memakan hidangan yang ada di acara tersebut. Pertama mereka mengambil ayam goreng dan memakan sedikit ayam tersebut tetapi rasanya hambar. Kemudian mereka mengambil ayam bumbu merah dan satu gigitan, ternyata rasanya tidak enak. Akhirnya mereka menemukan ayam bumbu hijau, yang disebutkan aromanya saja sudah nikmat apalagi rasanya pasti jauh lebih nikmat. Setelah itu mereka mengajak orang-orang yang ada di sana untuk makan ayam bumbu hijau itu juga disambut dengan orang-orang yang mengambil ayam bumbu hijau itu juga.

Dari iklan tersebut tentu ada banyak makna terselubung yang dimaksudkan oleh produsen. Namun, memang diperlukan pemahaman lebih ketika ingin mengetahui lebih dalam. Roland Barthes mengatakan bahwa pemaknaan memiliki dua tingkatan. Tingkatan pertama adalah makna primer atau sering disebut sebagai makna denotasi, dan tingkatan kedua adalah makna sekunder atau konotasi.

Ketika makna konotasi dari iklan tersebut kita coba pecahkan, tentu iklan tersebut penuh dengan promosi yang dilakukan. "rasa hambar" dan "tidak enak" menjadi representasi penjatuhan brand lain yang rasa rokoknya tidak enak dan hambar, berbeda dengan merk pemilik iklan yang memiliki aroma dan rasa yang nikmat. Ayam yang berwarna hijau, merah, dan goreng (lebih ke coklat) merepresentasikan merk pemilik iklan dan kompetitornya yang memiliki warna dominan tersebut. Sehingga, secara tidak langsung iklan tersebut menyebutkan bahwa merk mereka yang terbaik.

Setelah mengeksplorasi semiotika dalam teks iklan rokok di Indonesia, kita telah melihat bagaimana pemilihan kata-kata, slogan, dan narasi berperan dalam mengomunikasikan pesan kepada audiens. Meskipun iklan rokok tidak dapat menampilkan produknya secara visual karena pembatasan hukum, produsen rokok harus mencari cara kreatif untuk menyampaikan pesan melalui representasi yang kuat dalam teks iklan. Iklan rokok mencoba membangun citra positif yang terkait dengan kebebasan, keberanian, kepuasan, dan prestise, dengan tujuan untuk mempengaruhi persepsi dan sikap konsumen terhadap produk tersebut.

Sebagai konsumen, penting bagi kita untuk memiliki pemahaman kritis terhadap iklan rokok dan mengenali strategi komunikasi yang digunakan. Dengan demikian, kita dapat mempertimbangkan dan membuat keputusan yang bijaksana terkait dengan rokok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline