Lihat ke Halaman Asli

Wulan Saroso

educator, mompreneur, sosio developer

Memukul Istri, Aib Atau Bukan?

Diperbarui: 4 Februari 2022   13:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Viral. Sumber ilustrasi: PIXABAY/ktphotography

Nama Oki Setiana Dewi trending topic di twitter karena potongan rekaman ceramahnya yang menceritakan kisah nyata suami istri yang tinggal di Jeddah. Dalam ceramah diceritakan bahwa suami istri tersebut bertengkar hebat sampai si suami memukul wajah istri lalu si istri menangis. Ketika tengah menangis, tiba-tiba bel rumah berbunyi dan ternyata yang datang adalah ibu si istri. Melihat mata sembab anak perempuannya, sang ibu menanyakan apa yang terjadi. Lalu menurut mba Oki, karena ingin menutupi aib suaminya yang telah memukulnya, si istri mengatakan bahwa ia habis menangis karena rindu dengan ayah ibunya dan rindu itu terjawab dengan kehadiran mereka. Menurut mba Oki lagi, mendengar jawaban si istri, suami yang sempat khawatir tindakannya diketahui oleh mertuanya merasa lega dan hatinya luluh.

Penggalan penuturan mba Oki menuai kritikan tajam netizen yang pada umumnya menganggap bahwa ceramah itu menormalisasi KDRT. Ceramahnya sebenarnya bertujuan baik, yaitu ingin menjelaskan tentang kebaikan istri menutup aib suami. Hanya saja kurang tepat mengambil contoh kisah. Dalam kisah pasangan suami istri yang diceritakan, terjadi pertengkaran hebat hingga si suami memukul wajah istri. Dari sini bisa dikatakan bahwa hal itu tidak dibenarkan. Dalam keadaan bertengkar hebat artinya keduanya dalam kemarahan. Suami memukul menunjukkan pelampiasan emosi kemarahan. Dan diperburuk dengan gambaran memukul wajah. Hal ini sangat bertentangan dengan etika relasi suami istri dalam Islam.

Dalam Islam, diperbolehkannya memukul istri bukan untuk pelampiasan kemarahan atau rasa kesal suami. Tujuannya adalah untuk memberi teguran apabila istri melakukan perbuatan buruk yang bisa merusak relasi suami istri. Proses memberi teguran pun tidak langsung dengan pukulan, melainkan melalui beberapa tahapan di mana pukulan merupakan teguran terakhir bila tahapan di awal tidak memberi penyelesaian.

"....Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar." (An Nisa : 34)

Namanya juga memberi teguran untuk mendidik dan memperbaiki kesalahan, artinya ketika melakukan teguran, suami sedang dalam kondisi stabil dan tidak dikuasai emosi negatif. Hingga memukul pun tidak dilakukan dalam kondisi marah, namun dengan sentuhan untuk memberikan penyadaran pada istri.

"Di antara kewajibanmu (para suami) kepada mereka (para istri): engkau memberinya makan ketika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul wajahnya, dan jangan pula menghinanya, dan jangan pula meng-hajr (memboikot) dirinya kecuali di dalam rumah." (HR. Abu Dawud)

Jadi teguran yang dilakukan suami ke istri tujuannya juga untuk memperbaiki aib istri. Kalau istri menceritakan sanksi yang dilakukan suami ke dirinya kepada pihak luar, justru dia sedang menceritakan aibnya sendiri.

Lalu bagaimana dengan suami yang memukul istri? Aib atau bukan? Nah, ini dia. Kembali lagi ke tujuan suami memukul istri. Kalau seperti yang diceritakan oleh mba Oki, hal itu tentunya tidak bisa dibenarkan. Memukul istri dalam kondisi marah dan di bagian wajah merupakan bentuk kesalahan suami, walaupun di saat yang sama istri bisa juga melakukan kesalahan. Kalau hal seperti itu terjadi, istri perlu mencari perlindungan untuk menghindari bila suami melakukan hal yang sama kembali. Apalagi kalau sampai pada tindakan yang membahayakan jiwa, baik istri dan anak. Upaya mencari perlindungan dapat dilakukan dengan menyampaikan masalah tersebut ke pihak yang bisa dipercaya memberi solusi. Bisa ke keluarga terdekat yaitu orang tua atau mertua atau saudara kandung hingga ke pihak luar seperti konsultan dan sebagainya. Tentu selanjutnya hal ini memerlukan pendampingan khusus dan hanya dibahas di lingkaran khusus serta tidak diumbar ke mana-mana.

Seperti yang dilakukan oleh Khaulah binti Tsa'labah, perempuan yang pengaduannya dijawab oleh Allah di surat Al Mujadalah. Beliau mengadu ke orang yang dianggap bisa menjawab kebingunannya ketika suaminya melakukan tindakan yang memperkeruh relasi suami istri, yaitu kepada Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam. Saat pertama mengadu, Rasulullah tidak bisa menjawab pengaduan Khaulah karena belum mendapatkan wahyu atas permasalahan tersebut. Namun Khaulah tetap menunggu jawaban tanpa mengumbar permasalahan tersebut ke publik serta tetap menjaga jarak dari suaminya agar tidak terjadi kesalahan yang sama. Barulah ketika jawaban sudah diperoleh dan dimediasi oleh Rasulullah, hubungan antara Khaulah dan suaminya membaik kembali.

Menutup aib atau kesalahan suami atau istri adalah kewajiban. Namun apabila aib atau kesalahan itu sulit diperbaiki dan cenderung membahayakan, tak menutup kemungkinan untuk melibatkan pihak lain sebagai mediator untuk mendapatkan solusi. Namun tidak serta merta juga membawa permasalahan ke jalur hukum, karena permasalahan antara suami istri merupakan hal yang jamak terjadi dan selalu ada upaya untuk saling memperbaiki.

Suami adalah pakaian untuk istri, istri adalah pakaian untuk suami. Agar pakaian itu selalu indah, rapi dan wangi, semestinya dijaga dan dirawat. Jangan dirobek dan dirusak oleh pemakainya sendiri. Kalau dirobek sendiri, ya wajarlah kalau aib pun bisa terbuka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline