semoga belum terlambat, perjalanan di bulan Mei
Ini perjalanan pertama saya melakukan backpacker lebih dari dua orang menuju Candi Borobudur, perjalanan yang berawal dari momentum perayaan waisak.
Perjalanan kali ini dimeriahkan oleh saya, Dewi, Naesha, Nugros, Rafli dan Debo. Kami berenam memiliki latar belakang yang berbeda berjanji bertemu jam 5 sore di Terminal Kampung Rambutan, hari itu hari Jumat, dimana saya harus berangkat ke kantor terlebih dahulu, lalu kembali ke rumah dan berangkat lagi ke kampung Rambutan. Menuju Kampung Rambutan saja sudah macet luar biasa, tapi Alhamdulillah sudah sampai tepat pukul 18.00 dan beruntung bis belum berangkat, setelah sempat berkeliling mencari Bis Sumber Alam ngetem, wal hasil tinggal satu orang teman kami yang masih dalam perjalanan dan akan naik dari depan pintu tol. Di awal perjalanan saya berkenalan dengan Naesha dan Rafli, dua mahasiswa Mercu Buana yang punya hobby travelling. Bis yang kami naiki ini bertarif Rp 60.000 per orang dan akan turun di kota Jogja, rencananya dari Jogja kami akan sambung lagi dengan bis menuju kota Magelang.
Sekitar pukul 21.20 bis transit di Subang, rehat sejenak kami menikmati jahe susu, kalau di Jakarta mungkin mirip sekuteng, isinya hanya ada roti, kacang dan air susu jahe, satu mangkok harganya Rp 5.000. perjalanan kami pun berlanjut setelah sekitar 30 menit. Pukul 04.45 kami kembali transit di Ajibarang daerah Jawa Tengah, di sini saya sempatkan untuk mencharge handphone dan baterai kamera. Pagi harinya saya memberanikan diri untuk duduk di dekat sopir, mau mengambil gambar pagi, saya cukup banyak mengobrol dengan, sang sopir beberapa kali melanggar lampu lalu lintas, ada lampu merah kemudia diterobosnya, saya pun sempat menegur dan bertanya,“pak, kok lampu merah ga berenti, malah jalan terus?”. Sang sopir pun berdalih demi kecepatan waktu iya menerobos lampu merah, dengan sebelumnya melihat-lihat dulu, iya mengeles dengan menerobos berapa banyak waktu yang tak terbuang, lagi pula kan berbeda dengan Jakarta, kalau ketauan pasti ditangkap. Dalam hati bener juga sih kalau ini mengenai efisiensi waktu, tapi kalau sampai nabrak orang bagaimana?
[caption id="attachment_269943" align="aligncenter" width="568" caption="foto bersama dengan pemilik mobil tumpangan (foto: Rafli)"][/caption]
Selama perjalanan, ternyata Dewi juga mengobrol dengan si sopir, dan kami ditawarkan untuk dioper ke bis Sumber Alam menuju kota Magelang tanpa membayar uang tambahan lagi ketika nanti kami tiba di terminal bis Purworejo. Wah baik sekali sopir ini, rasanya seperti ketiban rejeki, ada orang yang baik hati mau menolong kami. Setibanya di terminal Purworejo kami pun di oper, kali ini bisnya lebih bagus, Alhamdulillah, saya dan Dewi duduk di dekat sopir dan yang lainnya duduk di belakang, kami dijanjikan turun di daerah Salaman (namanya unik).
[caption id="attachment_269942" align="aligncenter" width="568" caption="tiba di Magelang (foto: Wulan)"]
[/caption]
Tiba di daerah salaman, kami langsung berfoto ria di depan sebuah tugu, entah apa nama tugunya. Jarak ke Borobudur masih jauh, kami harus naik kendaraan lagi, namun Dewi dan Naesha memutuskan untuk “ngompreng”, dan kami pun dapat omprengan dua kali. Ini pertama kalinya saya naik omprengan. Omprengan pertama tidak sampai Borobudur, karena si sopir harus menjemput orang, dan omprengan ke dua kami diturunkan di sekitar 1 km jarak kami ke Borobudur. Saya sempat berbincang dengan sopir yang kedua, saya tanya apakah suka menaikkan penumpang yang tidak dikenal, dia bilang iya, tapi lihat-lihat dulu siapa penumpangnya, hidup kalau bukan buat menolong buat apalagi sih mba. Jawaban dari seorang sopir yang ga akan saya dapatkan di kelas, di kuliah atau dimanapun, kecuali terjun ke lapangan langsung. Sesaat saya langsung terdiam, ya bener sekali, hidup kalau bukan untuk membantu orang ya buat apa, rasa keegoisan itu memang ada pada setiap orang, namun kalau sudah di lapangan, kita akan banyak menemukan tipe-tipe orang yang berbeda, dari yang baik banget, sampe yang jahat banget, itu ada semua.
Setelah tiba, kami mengucapkan banyak terima kasih, lalu berjalan kaki, rupanya sudah banyak pengunjung yang berdatangan, mereka menaiki bis-bis besar. Sebelum ke Borobudur, kami singgah di warung Mas Deni, kami sejenak makan dan mandi.
[caption id="attachment_269944" align="aligncenter" width="470" caption="Biksu (foto: Wulan)"]
[/caption]
Wuching (foto: Wulan)
Hunting pun di mulai, rupanya arak-arakan belum sampai di Borobudur. Kami dan banyak fotografer menunggu arak-arakan. Kami melihat tanda pengenal yang dipakai para fotografer dan peserta, ternyata tanda tersebut bisa diminta ke panitia. Saya, Dewi dan Rafli pun menuju ke Candi Mendut, namun sayangnya kesekretariatan sudah tutup. Saya dan Dewi pun kembali lagi ke Borobudur dengan naik ojek, dan ini pertama kalinya saya naik motor duduk dibelakang berisi tiga orang.
Waktu terasa sangat singkat, sambil menanti malam hari, kami beristirahat di warung bakso, dan sekitar asar kami masuk ke dalam Borobudur. Jaket Debo ketinggalan di warung, jadinya dia dan Naesha kembali lagi untuk mengambil jaketnya, sedangkan saya, Dewi, Rafli dan Nugros hunting di dalam.
Sekitar pukul 5 sore, kami bertiga, saya Dewi dan Rafli menuju Borobudur, dan kami kehilangan Nugros. Beberapa kali saya takjub menatap Borobudur, karena ini pertama kaliya saya menyentuh batu-batu indah dan menatapnya. Kami datang terlambat, karena pintu Borobudur akan ditutup, namun Rafli memaksa saya untuk naik, saya sudah menolak, namun katanya kapan lagi bu, ayo. Akhirnya kami nenembus kerumunan manusia yang akan turun. Tidak sampai di puncak memang, tapi terima kasih Rafli sudah memaksa saya, kalau tidak begini mungkin saya tidak akan merasakan seperti apa Borobudur. Cuaca pada saat itu mendung, awan-awan yang berbentuk seperti kuda perang turun, malam hari pasti turun hujan.
[caption id="attachment_269946" align="aligncenter" width="470" caption="menunggu (foto: Wulan)"]
[/caption] [caption id="attachment_269947" align="aligncenter" width="470" caption="Ramai (foto: Wulan)"]
[/caption]
[caption id="attachment_269948" align="aligncenter" width="426" caption="awan hitam, hujan siap turun (foto: Wulan)"]
[/caption]
Sekitar pukul 18.00 karpet sudah disiapkan di depan panggung. Para pengunjung sudah duduk menempatinya, karena sekitar pukul 21.00 akan ada pelepasan lampion. Langit menampakkan kilat dan petir, hujan rintik-rintik mulai turun. Hingga puncaknya saat sambutan dari menteri agama hujan nampakknya tak dapat menahan diri. Semua pengunjung langsung berhamburan, ada yang diam ditempat dengan payung dan jas hujan bahkan ada yang pergi. Dan saya sendiriian, kami berpisah karena harus mencari posisi pemotretan. Saya seperti anak hilang di sana, tidak bertemu dengan temapt, BBM dan sms tidak dibalas, pada saat itu saya hanya bisa pasrah dan terus berdo’a semoga bisa bertemu dengan salah satu teman.
[caption id="attachment_269949" align="aligncenter" width="568" caption="panggung utama (foto: Wulan)"]
[/caption]
Sekitar pukul 21.00 saya memutuskan keluar dari area hunting, sambil mengecek handphone menunggu jawaban dimana posisi teman-temen, baterai sekarat, tubuh basah kuyup dan kedinginan. Ah rasanya backpackeran kali ini entah harus berkata seru atau menyedihkan. Sambil menatap hujan, saya menepi di sebuah warung dan memesan mi rebus. Beberapa jam menunggu dan muncullah Rafli. Ya Tuhan yang saya rasakan saat itu adalah seperti menemukan kubangan air di padang pasir, saya ga sendiri lagi. Ternyata Rafli bersama dengan Nugros, syukurlah.
Dewi dan teman lainnya ternyata berada di terminal umum Yogyakarta. Kami diminta ke sana, beberapa kali kami bolak-balik mencari mereka dan waktu menunjukkan pukul 24.00 WIB. Tubuh sudah lelah sangat, dan kami pergi menuju rumah saudaranya Dewi di jalan Sadewa daerah Jogja. Selama perjalanan yang cukup panjang kami tertidur di bis, kami satu bis dengan banyak mahasiswa dan dua orang turis dari Jepang yang kami pikir mereka adalah rombongan mahasiswa. Nampaknya mereka kesulitan berbicara bahasa Indonesia, untunglah beberapa dari kami bisa berbahasa Inggris, jadi kami membantu si kenek bis untuk mengantar turis ini.
Sampai dirumah saudaranya Dewi sekitar pukul 3 pagi, sudah seperti saur aja. Datang-datang kami langsung istirahat, tergeletak tak berdaya, sedangkan saya mandi dan membersihkan diri.
[caption id="attachment_269950" align="aligncenter" width="470" caption="narsis ria (foto: Wulan)"]
[/caption] [caption id="attachment_269951" align="aligncenter" width="710" caption="Taman Sari (foto: Wulan)"]
[/caption]
Paginya kami hunting kota Jogja, kami berjalan kaki menuju Taman Sari dan Malioboro. Ini kesekian kalinya saya menapaki kaki ke Jogja dengan teman yang berbeda, berfoto bersama dengan teman, hunting ayam kalkun, hunting human interest dan akhirnya membuat kami terlambat mengejar bis ke Jakarta. Akhirnya sekitar jam 20.00 kami berpisah, saya Dewi dan Rafli kembali ke Jakarta, sedangkan Debo, Naesha dan Nugros melanjutkan perjalanan ke Purworejo. Tiba di terminal Purwokerto kami tak mendapati bis ekonomi, akhirnya kami menaiki bis menuju Cileunyi dan disambung lagi menuju Jakarta. Di bis menuju Cileunyi kami tidak mendapatkan tempat duduk, jadi saya berdiri hampir beberapa jam.
Tiba di Cileunyi sekitar pukul 6 pagi, dan masih menunggu bis menuju Jakarta. Akhirnya kami dapat bis dan tiba diJakarta sekitar pukul 10 pagi. Saya kembali kerumah, Dewi pergi ke kantor dan Rafli pergi ke kampus untuk mengerjakan tugas kuliah.
Perjalanan kali ini sungguh sangat mengesankan, saya banyak belajar, dari teman-teman, dari sekitar, dari alam. Sayangnya pelepasan lampion tidak kami temui, kami baru dapat kabar bahwa lampion dilepaskan minggu malam, ya sesuai judulnya bukan mengejar Waisak, tapi lebih menikmati liburan yang segalanya serba seru, salam backpackeran :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H