Lihat ke Halaman Asli

Dea

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Menikahlah denganku,”
Kalimat itu muncul dari bibir tipisnya, seharusnya setiap wanita yang mendengarkan kalimat itu akan berbunga-bunga, tanda dia bahagia. Mungkin jika kalimat itu terucap darinya 7 bulan lalu, aku akan bahagia, seperti wanita kebanyakan. Akan tetapi, itu adalah kalimat yang terlambat untuk diucapkan atau lebih tepatnya kalimat yang tak pantas diucapkan oleh seorang pria yang sudah beristri.
Dia masih menatapku penuh permohonan, memegang erat kedua tanganku. Aku menarik kedua tanganku. Dan meminum habis jus jambu yang tinggal separoh dihadapanku.
“Kamu gila!” ucapku lirih.
“Please, De. Aku mencintaimu.”
“Hentikan omong kosong ini. Lebih baik sekarang kita focus dengan pekerjaan kita,” aku mulai muak dengan ucapan pria didepanku. Aku memfokuskan diriku pada layar notebook-ku, mencoba mengalihkan pembicaraan. Tak selang beberapa detik, dia menarik notebook-ku, dan menaruh didepannya.
“Apa-apaan kamu ini?” tanyaku marah.
“Aku masih jadi atasanmu, jadi aku yang menentukan kapan waktunya kerja dan kapan waktu pribadi!!”ucapnya gusar.
Aku cukup kesal. Mingguku yang damai harus diganggu oleh pria ini. Dia menelponku pagi-pagi, dan menyuruhku datang ke-café saat itu juga, dengan alas an ada pekerjaan yang harus dibicarakan. Nyatanya? Hanya omong kosong yang ada disini.
“Kamu tau, De, wanita yang aku cintai itu kamu. Bukan Rara!!”
“Lalu kenapa kamu menikahinya? Bukan aku?” emosiku terpancing. Aku berusaha menahan air mata, yang aku yakin tak lama lagi akan menetes.
“Kamu tau sendiri alasannya, De.”
Pria dihadapanku ini adalah Kia, mantan kekasihku. Ehm, lebih tepatnya mantan calon suamiku. Kami sudah bertunangan, sampai wanita bernama Rara itu datang dan mengaku mengandung anak Kia, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakan Kia menikahi mantan kekasihnya itu.
“Apapun alasannya, kamu sudah menikah. Dan sebentar lagi kamu akan menjadi seorang Ayah,” air mataku mengalir melewati pipiku. Kia mencoba menghapusnya, tapi dengan cepat aku menepis tangannya.
“Sudahlah, lupakan aku.”
Kia tersenyum.”Kamu menyuruhku melupakan kamu. Lalu bagaimana dengan kamu sendiri? Kamu sudah melupakan kenangan kita?”
Aku terpojok. Bagaimana mungkin aku melupakan Kia, dia seperti matahari yang selalu kurindu di setiap pagiku. Dia bagaikan candu dalam darahku. Sejak putusnya tunangan kami, aku menghindarinya. Aku pergi keluar Jawa , agar aku tidak pernah mendengar berita bahagianya. Dan kini,setelah semua membaik, aku harus bertemu disini, sebagai atasanku.
“De, aku yakin anak yang dikandung Rara bukan darah dagingku. Setelah anak itu lahir aku akan melakukan tes DNA. Dan jika terbukti salah, aku akan menikahimu,” ucapnya penuh keyakinan.
“Dan jika benar?”tanyaku sinis.
“Aku yakin dia bukan darah dagingku,” dia masih bersikeras dengan ucapannya. Aku sudah muak dengan ini semua, aku berdiri dan mengemasi barangku.
“Sudahlah, Ki. Kita mungkin tidak berjodoh menjadi suami istri, tapi kita pasti jadi partner kerja yang bagus.” Kataku sambil meninggalkannya sendiri.

***

Sudah sebulan ini Kia, tidak menggangguku dengan ucapannya yang konyol itu. Entalah, ada rasa menyesak didadaku. Akal sehatku menginginkan aku menjauhinya, tapi hatiku berkata lain. Diam-diam aku berharap keajaiban terjadi, anak yang dikandung Rara itu bukan anaknya, dan Kia akan menikahiku.
Tapi kenyataan berkata lain. Aku mendengar bahwa anak yang dikandung Rara sudah lahir, dan kami sebagai bawahannya yang baik, datang menengok. Sesampainya disana, saat istrinya melihatku dengan tatapan tidak suka, aku menyesal telah datang. Aku sempat berniat untuk diam-diam pergi dari kamar itu, tapi kuurungkan niatku saat melihat bayi mungil yang digendong Kia.
Seorang bayi perempuan, kecil dengan wajah yang sangat lugu. Meskipun dia masih bayi, tapi sudah memancarkan kecantikannya. Mata yang dia warisi dari Kia, dan bibir diwarisinya dari Rara, tentunya, bukan aku. Aku melihat kebahagiaan terpancarkan dari wajah Kia, dengan dengan piyama yang masih dia kenakan sambil menggendong bayi itu. Aku yakin Kia, tidak tidur demi menemani istrinya melahirkan. Ada kekecewaan dalam hatiku, terngiang kalimat Kia, yang mengatakan dia masih mencintaiku, akan tetapi kini terlihat benar kebahagiaan itu diraut wajahnya.
Aku cepat-cepat menepiskan perasaan itu. Salah seorang rekan kerjaku bertanya pada Kia. Siapa nama bayi mungil itu.
“Andea Wijaya Putri. Panggilannya, Dea,” jawab Kia, sambil menatapku.
Aku keluar dari kamar itu, dan duduk didepan kamar RS itu. Tak kusangka Kia mengikutiku dan duduk disebelahku.
Kami diam beberapa saat, sampai membuka suara.
“Putrimu cantik,” ucapku basa-basi tapi tidak berbohong.
“Terima Kasih,” ucapnya. Kami terdiam lagi.”Aku memohon pada Rara, untuk member nama anak kami, Dea. Rara sempat tidak setuju, tapi aku memohon padanya, aku sudah tidak bisa memilikimu, jadi aku ingin memiliki namamu pada putriku.”
Ada kekecewaan dalam hatiku saat Kia menyebut putrinya ‘anak kami’, itu artinya dia tidak ada niatan untuk menceraikan istrinya, dan dia bisa menerima anak itu. Dan tes DNA yang dia janjikan. Oh, bodoh sekali aku mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin. Kia waktu itu hanya asal bicara, karena dia belum melihat bayi mungil yang cantik itu, dan kini? Semuanya berbeda.
“Iya,” kataku sambil beranjak dari dudukku.”Saya harus pergi Pak Kia, saya titip salam untuk Nyonya Rara dan putri bapak.” Kataku yang sangat formal.
“De, maafkan aku.”
Aku mengangguk dan cepat-cepat pergi meninggalkannya, sebelum dia mengetahui air mataku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline