Lihat ke Halaman Asli

Wulan Fitriani

Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas

Profesionalisme Jurnalis Seharga Amplop?

Diperbarui: 18 September 2022   18:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Profesionalisme adalah harga mati bagi seorang wartawan yang tidak bisa ditawar-tawar. Seorang wartawan dapat dikatakan profesional ketika ia mampu menjaga keseimbangan berita yang ia sajikan, menjunjung tinggi ketidakberpihakan, dan menjaga etika profesinya sebagai wartawan, sebab menjadi wartawan yang sesungguhnya tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan menulis berita, tetapi juga bagaimana ia menjunjung tinggi kode etik profesi jurnalisnya.

Dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 berisi "wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap". Pasal ini menegaskan adanya larangan bagi wartawan untuk menerima segala bentuk pemberian dari narasumber yang dapat mempengaruhi independensinya.

Independensi seorang wartawan diperlukan untuk menjamin tidak adanya keberpihakan pers agar tercapainya kebenaran informasi ke tangan publik. Hal ini juga berkorelasi dengan adanya kemerdekaan pers yang salah satu fungsinya adalah untuk mengontrol kekuasaan sebagaimana fungsi media sebagai mata, telinga, dan mulut masyarakat.

Namun, hal yang patut disayangkan pada statusquo adalah banyaknya "penumpang gelap" yang menunggangi kemerdekaan pers. "penumpang gelap" ini datang dari berbagai kalangan, baik itu internal pers (wartawan) atau orang-orang yang memiliki kepentingan terhadap media.

Hal ini tentu menciderai marwah dari pers itu sendiri. Pencorengan ini diperkuat dengan fenomena "amplop" sebagai syarat untuk menjadi "penumpang gelap" dalam media. Fenomena amplop ini bisa jadi datang dari kalangan wartawan yang memaksa narasumber untuk memberikan uang sebagai jaminan pemberitaan atau datang dari narasumber berita yang ingin agar wartawan hanya memuat informasi yang ia inginkan.

Darimanapun asalnya, tidak ada satu pun urgensi yang dapat membenarkan wartawan untuk menerima amplop apalagi meminta amplop. Ketika seorang wartawan menerima atau meminta amplop, maka secara sah wartawan tersebut telah menyalahgunakan profesinya dan melanggar kode etik jurnalistik. Dan dengan demikian, saat itu juga ia bukan lagi wartawan yang profesional, tetapi ia juga adalah wartawan yang telah mencemar citra wartawan lainnya.

Terkadang uang memang sering menjadi godaan terberat yang membuat seorang wartawan lupa akan tanggung jawab dan kewajiban profesinya, maka tidak heran jika M.L. Sten dalam buku Bagaimana Menjadi Wartawan membunyikan :

"Jika Anda ingin kaya, janganlah bekerja di bidang pers, kecuali Anda mempunyai perusahaan sendiri atau Anda seorang penulis terkemuka dalam beberapa perusahaan pers. Jurnalistik bukanlah pekerjaan mudah, tetapi ia dapat membuat seorang wartawan merasa lebih penting dari seorang pengurus bank. Uang adalah penting, tetapi ia bukan pendorong bagi seseorang untuk melibatkan diri dalam bidang persuratkabaran."

Oleh karena itu, fenomena "amplop" dan "wartawan amplop" adalah musuh kita bersama yang harus sama-sama diberantas tidak terbatas pada tanggung jawab pemerintah atau pers, tetapi masyarakat juga harus mengawal agar fenomena ini tidak terus-terus terjadi. Jangan sampai profesionalisme jurnalis yang dijunjung tinggi hanya dihargai sebatas kertas dalam amplop.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline