Lihat ke Halaman Asli

Satu Hati Dua Cinta

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash



“Sayang Tunggu aku setelah sarapan ya, kita akan pergi menuju pantai, kamu ikut kan?”

“Oke, aku juga baru mau mandi, bye..”

Itulah percakapanku dengan cintaku. Aku begitu mencintainya, sehingga aku tak ingin berpisah dengannya. Dimana pun kami berpisah, rasa hati kami tetap terpaut dan saling mencari. Hati kami saling terikat dan memiliki rasa yang sama kuat untuk bertanya, mencari, menemukan, dan memperhatikan satu sama lain.Sedetik pun tak dapat kami lewati tanpa kebersamaan yang indah dan membuai hingga rasanya tak ada hal yang lebih indah dari pada percintaan kami.

Awan menyaksikan cinta kami, melindungi dengan kabutnya yang keabu-abuan. Alam akan menari melihat cinta kami yang tulus dan suci. Burung-burung akan bernyanyi bersama dengan nyanyian hati kami yang membuncah gairah cinta. Itulah cintaku yang tak terukur lagi dengan timbangan, termometer atau apa pun itu. Hanya tuhan yang dapat mengukur keabadian cinta dari dua insan ini.

Di sudut kamarku, aku hanya duduk di atas ranjang yang sangat rapi. Aku memang sangat disiplin dengan kamar tidurku. Tak akan kubiarkan sesenti pun seprei berpindai dari tempatnya. Dengan langkah gontai kubuka kotak perhaiasanku. Kota berukuran 25 X 25 senti meter inimemang bukan koleksi perhiasan mahal layaknya milik keturunan ningrat. Namun aku memang selalu menata barang milikku dengan sangat rapi.

Di kotak warna coklat tua itulah aku menyimpan semua aksesoris yang kumiliki, gelang, cincin putih, jam tangan dan benda-benda kecil lainnya yang sudah kulupa dimana aku membelinya. Sebungkus kotak imut berwarna merah juga kusimpan dalam kotak perhiasanku. Mahkota kotak merah mawar itu menyimpan cincin pemberian tunanganku sejak satu tahun yang lalu. Ya, aku memang perempuan yang terikat. Setelah aku menyelesaikan studiku, seorang lelaki telah melamarku. Meski aku baru berumur 23 tahun, entah mengapa aku mau saja menerima lamaranlaki-laki yang 10 tahun lebih tua dariku.

Kala itu aku hanya berpikir bagaimana bisa membahagaiakan keluargaku setelah ayah meninggal. Adikku yang masih berumur tiga tahun masih membutuhkan banyak dana untuk pendidikannya. Dan laki-laki yang kerap kusapa Mas Joko itu lumayan kaya. Kalau hanya untuk membiayai keluarga dan adikku tentu bukan masalah baginya. Lagian dia juga gak jelek-jelek amat, malah banyak yang bilang dia hitam manis yang sangat gagah. Tentu saja, sebagai marinir kegagahannya tak diragukan lagi. Banyak perempuan yang nota bene adalah pacarnya. Hmmm... aku juga tak tau, kenapajustru aku yang dilamar, bukan pacarnya saja.

“Nia... datang tuh yang mau jemput,” suara bibi membuayarkan lamunanku.

“Iya Bi, suruh tunggu sebentar,” jawabku.

Segera kukemasi barang-barangku. Cincin pun kukembalikan di tempatnya semula. Aku tak berminat untuk memakainya sekarang. Aku lebih banyak berasalan cincin itu lebih aman di rumah jika akan berpergian.

“Hai..cepat banget jemputnya, mau kemana sih,” sapaku.

“Kan kita mau jalan-jalan, kamu lupa ya? Uh gimana sih putriku ini,” ujarnya sambil mengelus kepalaku.

Aku tak bisa menghindar dari pelukan si tinggi ini. Dia begitu memanjakan diriku. Aku terlena dengan rayuan dan buaiannya. Bahkan aku akan lupa segalanya jiika berada di dekatnya. Namun aku juga bisa merasakan tulusnya cinta lelakiku ini. Dia tak pernah meminta, namun lebih banyak memberi dengan hatinya, bukan tangannya.

“Loh kok melamun, ayo cepetan pake helemnya,atau mau dipakein,” godanya sambil menyunggingkan senyumnya yang menawan.

“Ayuk.. dah siap kok,”....

Motor yang kami tumpangi melesat dengan cepat. Aku tak mau lagi memperhatikan jalan. Lelakiku mengatakan kami hanya akan menuju pantai. Namun kemana pun kami akan pergi, aku tak akan risau. Dia adalah lelaki yang baik dan sangat menjaga kehormatanku sebagai wanita. Aku lebih merasa aman dengan memeluk pinggangnya erat-erat. Kupejamkan mataku, dan kurasakan bau lelakiku. Dia adalah lelaki sejati dengan aroma yang sangat khas. Wangi kesegaran alam.

Hari kian bergulir... Semakin Dekat...

Dirimu di hatiku...

Semakin kumengenalmu.. kumerasakan..

Dalamnya cintamu..

Jangan berhenti mencintaiku... meski mentari, berhenti bersinar..

Jangan berubah.. sedikit pun.. Di dalam cintamu..

Kutemukan bahagia...

Hatiku berbunga, mendendangkan lagu cinta. Aku bahagia....

“Turun dong... udah sampe nih..”

“Oh.. udah sampe ya, kok gak tau sih,” ujarku sambil tergagap..

“Ngelamum atau tidur nih,” ucapnya..

“hehee....” aku hanya bisa cengengesan sambil salah tingkah.

Wah.. pantai yang kami kunjungi lumayan indah. Aku belum pernah mengunjungi sebelumnya. Ya, orang-orang menyebutnya Pantai Batu Gong. Meski tidak terlalu bersih, namun pasirnya yang berwarna kecoklatan terbetang luas memisahkan antara laut dan daratan. Pasir berwarna coklat ini membuat para pengunjung merasa nyaman, Karena memberi sensasi keteduhan. Lihat saja, banyak anak-anak yang bermain pasir meski matahari menyengat. Semangat para anak-ana itu sama dengan semangatnya hatiku dan hati lelakiku yang tersenyum ceria tatkala melihat wajahku yang menyembul dari balik helem... Sedalam matanya menatapku, rasanya kami seperti baru berpisah bertahun-tahun.Atau seperti pengantin pria yang baru diperbolehkan melihat istrinya. Senyumnya mengembang melihat wajahku. Angin yang bertiup seolah mengalirkan energi di tangannya yang kekar untuk mengelus pipiku. Oh... ternyata hanya menyisihkan rambutku yang menutupi sebagain bibirku. Aku tersipu, rasa malu menjalari tubuhku.

Lelakiku... mungkinkah aku pujaan hatimu? Ataukah hanya wanita yang mampu mengusir rasa sepimu kala kita tengah menganggur? Hmm... kami memang sama-sama pengangguran. Sama-sama lulusan perguruan Tinggi Negeri terbesar di Sultra. Namun kebingungan mau kemana setelah wisuda, itulah nasib kami, termasuk ribuan teman-teman kami yang sama-sam wisuda. Tak ada kegiatan, jadilah kami pengacar alias pengangguran banyak acara.

“Kita main-main pasir yuk,” ajakku.

Aku tergoda melihat anak-anak bahkan sebagian remaja yang asyik bermain pasir. Rasanya tak ada lagi beban hidup yang membayangi mereka, hingga kabahagiaan tumpah ruah di wajah-wajah polos mereka. Tanpa malu-malu dan canggung tangan-tangan kecil itu menutupi sebagain tubuh temannya dengan pasir hingga menggunung dan membentuk candi Prambanan. Oh... lucu sekali mereka. Segera kuraih tangan lelakiku, berlari dan bermaian pasir bersamanya.

“Hany, kamu bungkus tubuhku dengan pasir ya,” ujarnya sumringah.

“Boleh, aku kubur kamu hidup-hidup,” gelak tawa kami pun pecah bersama ombak yang menari menyambut kami.

Tak kurasakan lagi kehampaan hatiku. Hanya rasa bahagia yang menyelimuti hatiku. Kukubur tubuh lelakiku dengan pasir yang lembut menjamah seluruh kulitnya. Aku tak peduli, dengan segenap rasa cintaku, kuluapkan semua kekuatanku untuk membuatnya bahagia.

Tanpa terasa, yang kulihat hanyalah bayangan coklat terbaring di depanku. Seperti iklan wafer superstar. Hahahaa.... aku merasa ini sangat lucu. Tak ada lagi kulit hitam manis yang senantiasa memelukku. Kini ia hanya sebatang tubuh dengan gigi putih yang selalu tersenyum. Kugelitik telapak kakinya.

“Hany.. hany.. jangan, geli... hahahahaaa....kami tertawa lepastak mempedulikan sekitar kami yang memandang iri atau mengira kami lebay.

Aaa.... dengan membawa beban pasir yang berat, lelakiku meronta dan berlari karena kugelitik. Kami berlari, berkejar-kejaran mengelilingi pasir... menari bersama ombak yang menyusul kami.

Energi yang terkuras habis memaksa kami untuk istirahat. Dengan napas terengah-engah kami duduk di pinggir pantai, memandang laut yang maha luas. Jika ada tsunami, sudah bisa dipastikan kami akan menyerahkan tubuh ini untuk ditelan ombak. Sisa ombak kecil menyentuh kakiku, seolah memanggil untuk kembali bermain bersamanya, “Aku tak kuat lagi,”.

“Hany, kamu senang gak,”? kata lelakiku membuyarkan lamunanku.

“Emm... senang banget, emang kenapa,” tanyaku.

“Gak papa, aku senang kalo kamu senang. Aku hanya pengen liat kamu bahagia, gak mau yang lain,”.

“Kamu lebay,” kataku.

“Gak kok, aku gak pernah nggombal sama kamu,” kenapa kamu gak pake cincin tunanganmu,” tanyanya mengagetkanku.

“Ohh aa.. aku gak, aku lagi gak ingin pake aja,” dadaku sesak, aku tak ingin ia bertanya itu “kamu tak usah pedulikan itu, aku gak ingin kamu bertanya itu. Aku gak suka kamu mangungkit-ungkit hal itu. Kamu tak punya hak untuk membicarakan itu,” ujarku marah.

“Hany maaf, aku tidak ingin mencampuri urusanmu. Maaf kan aku ya,” ujarnya sambil memelukku.

Aku tak peduli lagi, kuraih tubuhnya. Aku ingin merasa aman dan jauh dari pikiran tentang cincin itu. Aku hanya ingin bersama lelakiku. Menghabiskan waktu bersama, bahagia bersama.

“Maafkan aku ya,Hany, kamu dengar aku kan? Tau gak, walaupun kita tetangga baru, kayaknya kamu udah dekat sekali di hatiku. Aku ingin selalu sama-sama kamu. Meskipun aku tau kamu sudah punya tunangan. Maafin aku. Aku gak bisa menahan rasa cintaku. Aku ingin kamu selalu di sampingku. Aku tidak ingin mengganggumu. Tapi hatiku tak bisa. Ia selalu menuntut padaku untuk melakukan sesuatu. Menemuimu, aku tak bisa melawannya, maafkan aku,” ujarnya sedih.

Aku tak bisa menjawab, hatiku pilu. Aku tak bisa memiliki sepenuhnya cintaku, yang berada di pelukanku. Dalam hati aku hanya bisa berkata, “aku juga merasakan hal yang sama,”.

****

“Ya Mas, aku di rumah aja kok.. Kamu ada di Kendari? oh... mau ke rumah? Ya udah aku tunggu ya? Bye....

Hmmm... kubuang begitu saja handphoneku di ranjang. Mas Joko datang dari Jawa ke Sulawesi. Dan saat ini sedang menuju ke rumah. Aku tak bisa menyalahkannya jika dia ingin datang ke rumahku. Tapi kenapa aku tak bahagia menyambut kedatangannya. Mudah-mudahan aku bisa menyenangkannya hari ini. Aku tak ingin membuatnya kecewa. Meskipun aku sendiri kecewa, karena harus membatalkan janjiku dengan lelaki pujaan hatiku. Oh.. lebih tepatnya pasangan yang saling memuja.

Suara mobil Toyota Camry terdengar berderum di depan rumah. Halaman yang licin membuat mobil berwarna hitam mulus menuju rumahku dengan tenang. Dari balik jendela kamar,kulihat Mas Joko keluar dari pintu mobil. Mengenakan kaos warna putih dan celana tiga per empat abu-abu. Dia terlihat lebih muda dari usianya yang menginjak 32 tahun. Dia tak terklesan seperti om-om. Ah... dia memang masih muda dan bukan om-om yang punya istri dan dua anak di rumahnya. Pikiarnku kian kacau melihat laki-laki itu.

Mas Joko menenteng kotak berwarna putih. Pasti itu hadiah buatku. Harus kuakui, Mas Joko memang pandai membuat kejutan. Tak jauh beda dengan Anung yang juga lihai mebuat hatiku tersanjung. Dengan keromantisannya dan cara dia memanjakan diriku. Mereka berdua memiliki kelebihan masing-masing. Dan aku menyukai semuanya. Hanya saja, Mas Joko memiliki hak lebih diatas Anung.Astaga.. kenapa aku membandingkan-bandingkan dua lelaki itu? Durhakalah aku jika aku sudah menikah namun tak segera membuang sifat dan kelakuanku.

“Assalamualaikum....”

“Waalaikum salam,” Huuufftt... kutarik napas perlahan, aku berlari menuju pintu. Dalam hati aku berdoa agar Anung tak melihat kedatanagan Mas Joko, meskipun ia sudah tau, tunanganku datang hari ini.

“Mas Joko, apa kabar,” sapaku gugup. Namun aku bukan gugup karena aku merasakan jatuh cinta. Hatiku jadi ciut, dan aku merasa takut. Takut karena telah menghianati lelaki di depanku ini. Aku tak bisa melihat wajahnya. Aku tak bisa bayangkan jika ia bisa membaca pikiranku. Hancurlah semua rencana yang sudah tersusun rapi bagai rangkaian bunga.

“Baik-baik aja sayang, kamu kok sedikit kurusan,’? Kamu baik-baik aja kan,”? Dia tersenyum dan menatapku penuh bahagia, menarik tangan dan mencium pipiku.

“Tentu baik-baik saja dong Mas, kalo kenapa-napa masa Mas gak tau,” ujarku berkilah.

“Syukurlah kalo begitu, ini ada oleh-oleh buat kamu,” seraya meyodorkan kotak berwarna putih.

“Wah.. makasih ya Mas, aku buka ya,”?

***

Sepertinya aku terikat bagai gadis pingitan. Pertemuan dengan Mas Joko cukup mengguncang pikiranku. Kukira dia hanya menemuiku karena rindu. Tapi terlebih dari itu, kini aku harus mebuat keputusan yang tegas.

“Sayang, aku mau kita menikah aja. Biar kamu bisa ikut aku saat tugas nanti. Aku gak mau kita berjauhan terus. Sudah setahun lebih kita tunangan. Apa lagi yang mau ditunggu,”?

Kata-kata Mas Joko yang bagai samberan geledek itu selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Bibirku kelu tak bisa mengucapkan kata-kata. Seharusnya seorang perempuan akan bahagia menerima ajakan tunangannya untuk segera menikah. Namun hatiku kini telah terbagi, Maafkan aku Mas....

Di sudut kamar kembali kubuka botak pemberian Mas Joko. Dia memberiku sebuah gaun tertutup yang sangat manis. Gaun panjang yang tidak terlalu ketat dan menutupi semua aurat. Dengan manik-manik putih di bagian dada. Gaun ini sangat cocok untuk acara-acara formal. Dan malam ini Mas Joko mengajakku menghadiri pesta syukuran di rumah kawannya. Pasti bukan pesta biasa. Aku akan mengenakan gaun ini. Bagaimana pun juga, itu yang lebih baik untuk kulakukan.

***

Mobil yang kami tumpangi sudah melaju sejak sepuluh menit yang lalu. Jalanan cukup ramai, sehingga sepuluh menit rasanya sudah setengah jam aku duduk. Mas Joko terus menatap jalanan tanpa menegurku. Rasanya aspal di depannya lebih indah dari mukaku. Hmm... sejak dari rumah, ia memang masih terdiam kaku. Tapi mungkin saja dia masih kosentrasi dengan jalanan yang lumayan macet. Maklum ini malam minggu. Anak-anak di Kota Kendari kebanyakan menghilangkan penatnya di pirla yang berderat di pinggir jalan Kendari Beach. Lampu temaran yang berwarna warni memang memberi kesan indah dan romantis. Namun aku sama sekali tak menginginkan itu.

Jika aku bersama Anung pasti lain lagi ceritanya. Gelak tawa kami pasti mengalahkan anak-anak remaja yang lagi puber. Tiba-tiba mobil kami berbelok di sebuah restoran. Lho, Bukannya kami akan menghadiri pesta sykuran? Malu dong aku kalo hanya mau makan malam tapi dandan norak dan formil kayak gini. Uh... Mas Joko nih ya, ngerjain aku. Aku melirik Mas Joko yang masih asik memarkir mobilnya, merutukinya hingga tak terasa mobil sudah berhenti.

“Kok kita ke restoran Mas, bukannya kita mau ke acara temannya Mas,”?

“Kita makan dulu ya sayang,”? ucapnya.

Dengan satu kalimat saja, lunturlah semua sikap kakunya sedari tadi. Kini, ia bukan lagi patung, tapi pangeran gagah berani yang mengajakku ke lantai dansa.

Aku memilih duduk di sudut ruangan. Di sini aku merasa lebih nyaman. Entah mengapa aku merasa takut dan cemas jika Anung melihatku. Padahal aku sudah membicarakan ini secara jujur. Meskipun sikapnya sangat menerima dan tulus. Cintanya yang begitu besar membuatku takut. Aku takut dia membuntuti dan mengawasiku dengan cemburu. Aku sayang kamu Anung. Jangan lakukan hal-hal bodoh yang dapat menghancurkanmu....

“Sayang, kamu mau pesan apa,” ucapan Mas Joko membuyarkan kecemasanku.

“Hmm.. apa saja yang kamu pesan deh Mas, Kalo kamu yang pilihkan pasti akan lebih spesial,” jawabku.

“Kamu ini bisa aja sayang,’ ucapnya sambil menyunggingkan senyum. Dia pasti merasa bahagia karena ucapanku. Tapi sayang, itu tak lahir dari hatiku, tapi dari lidahku yang pandai bersandiwara. ‘Maafkan aku Mas,”.

***

Ya udah, emang kamu nunggu apa lagi, kalo sudah diajak nikah ya nikah dong... tujuannya kamu dilamar kan ya untuk menikah. Sekarang sudah waktunya kok malah bingung,” kata Mamaku di seberang telfon.

“Tapi Mah, kok cepat banget, aku masih bingung deh,” jawabku.

“Loh, kamu ini bingung apa to, orang tunangan kan tujuannya menikah. Jangan-jangan kamu ini punya pacar lagi, hooh? Wes-wes, kamu cepat nikah saja, nanti mama yang urus. Sekarang kamu suruh Joko ke rumah ya? Mama gak ingin kamu nyeleweng. Pokoknya semua Mama yang beresin,” jawab Ibu dengan nada kesal.

Tanpa pamit lagi, kututup handphoneku. Mama gak mau ngerti banget sih, aku belum siap. Tapi aku gak bisa ngomong sama Mas Joko. Bukannya dibantu malah menyetujui usulan Mas Joko. Sekarang Mama malah ikutan sibuk memikirkan pernikahanku. Tuhan... tolong hambamu ini.

Tanpa pikir panjang lagi aku menuju rumah Anung yang teletak di samping rumahku. Rumah lelakiku ini hanya terpisah satu rumah dengan rumahku. Bahkan lokasi kami hanya terpaut beberapa meter. Ya, disana aku dapat menumpahkan segala kekeceawan dan masalahku.

Dua insan yang sama-sama frustasi melepakan kekesalan hatinya. Kami menyusuri sepanjang jalan bersama. Anung merasa sakit hati dan kecewa karena aku akan segera menikah. Sedangkan aku merasa sakit hati karena tak bisa mendapatkan cinta yang ada di depan mataku. Meski tak ada jarak yang memisahkan kami, namun ikatan pertunangan itu bagaikan tembok yang mengungkung kebebasan kami untuk saling mendapatkan cinta. Lelakiku harus rela melapaskan perempuan yang ada di dekapannya.

Kami masing-masing harus sadar diri. Meskipun banyak cara bodoh yang bisa kami lakukan. Misalnya saja aku memutukan tunanganku. Namun aku tak bisa berbuat sekejam itu. Aku akan menyakiti hati lelaki yang tak bersalah. Selain itu aku juga akanmenggadaikan masa depan adikku yang masih kecil, mamaku yang sudah mulai menua. Ah.. aku tak tega,

Kembali kukenang saat ayahku menarik napasnya untuk yang terakhir kalinya. Penyakit daibetes dan penghianatan menantunya membuatnya meregang nyawa. Sejak saat itu aku berjanji untuk membahagiakan ibuku, dan adikku yang berumur dua tahun kala itu.

Sementara Anung, dengan kebiasaan hidup disiplin, ia juga tak mau berbuat nekat dan menyakiti mahluk sesamanya. Meski rasa sakit dan kecewa menghinggapi dirinya. Meski kadang terlintas dipikirannya untuk melakukan persaingan secara jantan. Ia selalu mengembalikan semuanya pada nalarnya. Tuhan berada di atas segalanya. Meskipun ia merasa yakin dengan hubungan yang sudah berjalan lebih dari delapan bulan bersama kekasih orang. Tak ada hal lagi yang bisa memecahkan masalah kami.Hari pernikahan tinggal sebulan lagi.

Dan hari ini, kami menumpahkan semua kekesalan kami di ranjang yang tak berdosa. Ia menjadi saksi penghianatanku kepada calon suamiku. Aku menghianati pernikahanku yang sakral. Menggadaikan masa depan adikku, mengecewakan dan merusak nama baik orang tuaku. Ibuku yang semakin tua akan meneteskan air matanya jika mengetahui semua ini. Maafkan aku ayah. Engkau yang menyaksikan perbuatan hinaku di depan matamu. Kuharap Tuhan tak menyiksamu karena perbuatanku. Biarlah aku yang menerima semua akibatnya. Azab Tuhanatau kutukan suamiku nanti akan kuterima. Ini semua telah terjadi.

“Maafkan aku hany, aku akan betnaggungjawab adn akan menerimamu jika kamu harus berpisah dengan suamimu. Aku tak akan membiarkanmu tersakiti,” ucap lelakiku.

Tak ada expresi, tak ada tatapan mata dan sesungging senyumnya. Hanya tatapankosong dan mukanya yang terus tertunduk. Air matalah akhir dari perbuatan hina ini. Kami manusia hina dan tak tau diri. Terlebih aku, yang dengan suka rela menyerahkan kesucian kepada orang yang bukan calon suamiku sendiri.

***

“Sayang, kamu bahagia kan,” ucap suamiku.

Sejak mengucapkan ijab kabul aku belum menyapa suamiku dengan manis. Bahkan ciuman di kening usai penyematan cincin teras hambar. Pikiranku kosong. Aku hanya bisa menutupi rasa bersalahku dengan senyum, agar orang tak mencurigai apa pun.

“Tentu aku bahagia sayang, sebagai mempelaimu, kini aku milikmu,” kata terahir yang kuucapkan serasa tercekat di tenggorokan. Aku hanya bisa menyelesaikan dengan air mata yang tak dapat kutahan lagi, aku terjatuh di pelukan suamiku.

“Sayang, pernikahan memang mengharukan. Aku pun merasakan itu. Ini pertama kalinya untukku, sekaligus yang terahir,” ucanya sambil menenangkanku.

Kulihat mata suamiku lekat-lekat. Dengan air mata yang terus mengalir, kulihat wajah teduh di depanku sangat tenang dan bahagia. Mata besarnya yang teduh dan sayu. Alisnya yang hitam legam dan tegas, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tebal, melambangkan ketetraman bagi siapa pun yang melihatnya. Kuraih genggaman tangannya kupeluk dia semakin erat.

“Suamiku, aku memang milikmu. Karena aku mencintai dua lelaki, maka aku membaginya sama rata. Karena dia lebih kucintai, maka dialah orang yang pertama. Namun karena kau suamiku, maka kaulah yang memiliki selamanya. Karena kepadamu aku akan mengabdikan seluruh hidupku. Kuharap inia adil Suamiku,”.

***

Aku masih menyepi di sudut kamarku. Hanya menunggu suamiku pulang kantor. Tak ada lagi hari-hari ceria bersama Anung. Pujaan hatiku kini entah dimana. Aku hanya bisa menatap fotonya. Foto kami sewaktu resepsi pernikahan.

Dengan wajah yang kuyu namun tegar, ia datang menyalami aku dan suamiku. Aku berharap hari itu ia tak bunuh diri. Dan aku lega melihat dia mengenakan bajau kemeja dan celana panjang. Ia masih menjaga wibawanya dengan berpakaian sopan. Ia masih normal. Ya, ia memang selalu normal. Hanya sekali saja ia mengambil haknya sebagai orang yang mencintai dan kucintai.

Anehnya, suamiku mengajaknya berfoto. Jadilah sang fotografer mengabadikan kisah cinta segi tiga kami yang tersembunyi rapi. Tak ada celah sedikit pun sehingga hanya Tuhan yang tau kisah kami.

Kini rumah Anung sepi, sesepi hatiku yang merana ditinggalkannya. Terkahir aku hanya menerima pesan singkatnya “I will always love You”.Kuharaap kau baik-baik disana sayangku. Aku sudah memberikan sesuatu yang paling berharga, Kuharap kau tak kecewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline