Lihat ke Halaman Asli

Kuntowijoyo, dan Kedudukan Umat Islam Masa Kolonial

Diperbarui: 15 Juni 2023   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam dunia akademisi, nama Kuntowijoyo sudah tidak asing lagi didengar. Ia merupakan seorang sejarawan, budayawan, sastrawan dan juga sebagai tokoh aktivis muslim. Tokoh intelektual ini lahir di Bantul Yogyakarta, pada 18 September 1943. Ia menempuh pendidikan dasarnya dan Sekolah Menengah Pertama di Klaten. 

Kemudian ia melanjutkan pendidikan SMA di Solo. Setelah lulus dari SMA di Solo, Kuntowijoyo melanjutkan pendidikan Sarjana di Universitas Gadjah Mada di jurusan Sejarah pada tahun 1969, kemudian mendapatkan gelar M.A. di Universitas Connecticut Amerika Serikat pada tahun 1974. Setelah mendapatkan gelar Magisternya, ia pun kembali menerusakn pendidikannya dan berhasil meraih gelar Ph. D. di ilmu sejarah Universitas Columbia pada tahun 1980.

Sebagai seorang intelektual, Kuntowijoyo sudah banyak menghasilkan telaah kritis terhadap berbagai masalah, baik itu masalah sosial budaya dan sejarah. Namun ternyata, karya luar biasa yang beliau hasilkan bukan hanya dalam bidang ilmiah, namun juga dalam kesusatraan. Telah banyak karya-karya sastra yang lahir dari imajinasinya yang luar biasa hebat. Beberapa karya sastra yang dihasilkan Kuntowijoyo antara lain yaitu: buku Suluk Awang-awang (1975), Pasar (1972), Khotbah di Atas Bukit (1976), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995), Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (1996), Hampir Sebuah Subversi (1999), Mantra Pejinak Ular (2000), Warsipin dan Satinah (2003), dan masih banyak karya sastra lain yang dihasilkan Kuntowijoyo baik dalam bentuk sajak, novel maupun drama.

Dalam bidang Ilmiah, beberapa buku yang dihasilkan antara lain: Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat (1987), Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (1991), Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994), Identitas Politik Umat Islam (1997), Radikalisasi Petani: Esai-Esai Sejarah Kuntowijoyo (2000), Pengantar Ilmu Sejarah (2001), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002), Raja, Priyayi dan Kawula: Surakarta 1900-1915 (2004), dan Penjelasan Sejarah (2008).

Sebagai seorang sejarawan, Kuntowijoyo merupakan salah satu sejarawan yang corak penulisan sejarahnya menggunakan pendekatan multidimensional. Penulisan sejarah atau historiografi multidimensional merupakan penulisan sejarah yang muncul sebagai bentuk penyempurnaan dari penulisan sejarah yang sudah ada sebelumnya. Hal itu muncul karena dalam prosesnya, penulisan sejarah yang sudah ada ruang lingkupnya cukup terbatas, dan cenderung hanya mengisahkan orang-orang besar. Padahal pada kenyataannya, semua lapisan masyarakat memiliki peranan yang besar dalam sejarah, seperti halnya adalah peran masyarakat dalam pergerakan nasional.

Penulisan sejarah atau historiografi multidimensional sendiri merupakan penulisan sejarah yang menggunakan ilmu bantu  lain dalam proses penulisannya. Dimana ilmu sejarah yang merupakan ilmu pokok memerlukan bantuan dari ilmu lain seperi ilmu sosiologi, antropologi dan ilmu bantu lainnya. Selain itu, dalam penulisan sejarah multidimensional sendiri, rakyat Indonesia menjadi objek dalam penulisannya.

Salah satu Karya Kuntowijoyo dalam sejarah adalah buku yang berjudul Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan karangan Kuntowijoyo yang kemudian disatukan hingga menjadi menjadi sebuah buku. Dalam buku ini Kuntowijoyo menjelaskan mengenai sejarah perjalanan umat muslim di Indonesia dalam menemukan kesadarannya sebagai umat.

Dari beberapa tema yang dibahas dalam buku tersebut terdapat satu tema yang membahas tentang bagaimana kedudukan kelas sosial umat Islam pada masa colonial.  Dalam pembagian kelas sendiri, terdapat perbedaan mengenai konsep pembagian kelas dalam Islam dengan sistem pembagian kelas yang berlaku pada marxisme. Dalam Islam, pembagian kelas terjadi bukan karena adanya perbedaan kekayaan, namun pembagian tersebut dibedakan berdasarkan dua hal, yaitu orang-orang dzalim dan orang-orang tertindas. Sedangkan dalam marxisme, pembagian kelas diukur berdasarkan kepemilikan alat- alat produksi. Pada masa Kolonial, masyarakat dibagi kedalam dua klasifikasi, yaitu orang orang besar dan orang orang kecil.

Di masa kolonial, pembagian kelas juga diukur dengan  kepemilikan alat- alat produksi. Pada kenyataannya, meskipun muslim merupakan mayoritas di wilayah Hindia Belanda, namun di masa Kolonial umat Islam tidak pernah berada pada kelas tinggi. Pada masa pendudukan kolonial, Umat Islam hanya mampu berada di posisi bawah yang pada akhir abad ke 19 golongan bawah ini lebih dikenal dengan istilah kawula.

Pada masa ini, umat muslim masih memiliki pemikiran yang bersifat utopia. Ideologi utopia ini memungkinkan masyarakatnya meutuskan sesuatu berdasarkan mitos-mitos yang ada dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah pada konsep kawula, masyarakat menganggap bahwa penguasa  memiliki kekuasaan yang tidak terbantahkan.

Kemudian pada awal abad ke-20, ketika terjadi perubahan sosial yang cukup besar di wilayah Hindia Belanda, umat Islam merasa bahwa mereka adalah rakyat kecil yang pada masa itu lebih dikenal dengan istilah wong cilik. Pada masa ini, di Hindia Belanda muncul kelas baru yang dikenal dengan kelas menengah. Kelas menengah ini diisi oleh para pedagang buruh dan juga petani, di mana umat muslim tampil mendominasi sebagai kaum pedagang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline