Lihat ke Halaman Asli

Wulan Ayu

Master Student of Forestry in Lampung University

Perhutanan Sosial untuk Hasil Komersial

Diperbarui: 9 April 2021   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan hutan sangat erat kaitannya dengan masyarakat yang tinggal di dalam maupun sekitarnya. Pasalnya, interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan hutan akan membentuk kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari serta membentuk suatu sistem sosial budaya yang erat kaitannya dengan keberadaan hutan tersebut. Dengan demikian, dalam konteks pengelolaan hutan seharusnya tidak terlepas dari peran serta masyarakat tersebut. Perhutanan Sosial, merupakan suatu skema yang dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial menjelaskan bahwa yang dimaksud Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemsyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. Definisi Perhutanan Sosial tersebut dibuat seolah dengan mengedepankan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Padahal, hal tersebut tidak sejalan dengan keluarnya kebijakan-kebijakan baru yang mungkin saja dapat menimbulkan pengaruh langsung maupun tidak langsung pada pembangunan sistem Perhutanan Sosial. Pada dasarnya, Perhutanan Sosial telah banyak diatur dalam peraturan pemerintah, peraturan menteri, bahkan undang-undang yang seharusnya dapat dijadikan suatu acuan dalam penyelesaian permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat di dalam maupun di sekitar kawasan hutan dalam hal kesejahteraan dan pelestarian fungsi hutan yang ada. Saat berbicara mengenai Perhutanan Sosial secara tidak langsung pula akan terhubung dengan masyarakat, kemiskinan, pola sosial budayanya, serta pengelolaan hutan. Dengan demikian, tidak mengeherankan jika Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) dalam tulisannya yang berjudul Dilema Perhutanan Sosial pada tahun  2017 menyebut praktik Perhutanan Sosial merupakan hal yang penting dalam perbaikan kehidupan.
 
Konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970-an dimana tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus tetap menjaga kelestarian hutan dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Adanya faktor-faktor dasar yang sifatnya tradisional yaitu faktor produksi seperti terbatasnya modal, lahan, dan kualitas bibit tanaman yang dimiliki petani serta masalah pasar yang seringkali tidak tersedia sebagai media distribusi usaha kehutanan berbasis masyarakat tersebut. Faktor lain seperti kurangnya pengetahuan masyarakat sebagai petani hutan seringkali membuat petani dibodoh-bodohi. Petani terus menanam, tanpa mengerti bagaimana tanaman yang mereka tanam sebenarnya dapat mendongkrak pendapatan mereka. Kebijakan-kebijakan yang muncul seperti kebijakan multi usaha yang memberi keleluasaan bagi pengusaha IUPHHK untuk juga berfokus pada produksi non kayu tidak hanya kayu bisa saja menimbulkan persaingan
dengan petani dalam produksi. Kemudian program percepatan investasi dan peluang kerja bisa saja menjadi kompetitor bagi masyarakat selaku pengusaha kecil karena mengingat bahwa pengusaha besar umumnya akan lebih cepat beradaptasi. Kebijakan-kebijakan perlu ada dalam Perhutanan Sosial, namun harus menyelaraskan berbagai aspek kepentingan.
 
Melalui skema Perhutanan Sosial, seharusnya permasalahan terkait pengelolaan hutan dapat diatasi dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Perluasan izin dan pendampingan dapat dilakukan untuk membantu memecahkan masalah para masyarakat petani hutan dalam pengelolaan hutan. Tidak hanya pelatihan yang kemudian dapat meningkatkan pengetahuan petani, juga perlu adanya regulasi yang mengatur  keterkaitan antara industri olahan, hutan yang digarap, dan pasar. Sehingga pengelolaan hutan berbasis masyarakat akan terwujud karena animo masyarakat untuk menanam akan meningkat ditambah tersedianya pasar dan pengetahuan yang tinggi untuk melakukan pemeliharaan tanaman sehingga dapat bernilai komersial. Selain itu, semakin baiknya tingkat pendapatan akan memberikan kesadaran masyarakat terhadap nilai estetika jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan sebagai destinasi wisata. Inti konsep perhutanan sosial adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan pemberdayaan masyarakat itu sendiri tanpa merusak lingkungan. Sebagaimana Wulandari dalam kuliah Kehutanan Masyarakat tahun 2021 mengatakan bahwa Perhutanan Sosial merupakan skema yang penting dalam pelestarian lingkungan dan food security.
Penulisan ini berkaitan dengan kegiatan penelitian Enhancing Community Based Commercial Forestry (CBCF) in Indonesia (2016-2021) dan kerja sama Badan
Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Australian Center for International Agricultural Research.
 
#P3SEKPI #KementerianLHK #ACIAR #CBCFIndonesia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline