Lihat ke Halaman Asli

Shri Werdhaning Ayu

Manusia Brang Wetan

Kenapa Konflik Agraria Tak Kunjung Usai? Kilasan Konflik Agraria di Indonesia

Diperbarui: 24 Februari 2022   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: republika.co.id

Konflik agraria adalah sebutan -- sebutan bagi sebuah konflik-konflik di masyarakat tentang tanah.  Bukan hanya konflik antarindividu,  tetapi juga individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Konflik tentang tanah tidak  hanya terjadi pada tahun -- tahun belakangan ini.   

Jika ditilik  jauh ke belakang, konflik-konflik yang diakibatkan penguasaan tanah juga terjadi pada masa awal  Indonesia merdeka. Apakah pada colonial, pada masa kerajaan Islam, atau masa kerajaan Hindu Budha tidak ada konflik agraria? Mari kita melintas masa sebentar saja.  

Konflik Agraria Dalam Masa Terdahulu

Pada era kerajaan, tanah adalah milik raja. Seluruh wilayah kerajaan adalah milik raja sebagai penguasa tertinggi dan penduduk diperbolehkan menggunakan  tanah  dengan membayar uang sewa berbentuk pajak. 

Tanah juga digunakan simbol penghargaan raja kepada para bawahannya sehingga ada sebutan yang kita kenal dengan tanah lungguh, dimana seorang pejabat diberi wilayah dengan luas tertentu dan diberi keleluasaan untuk mengola wilayah tersebut.

Tanah digunakan untuk alat tukar menukar kesetiaan antara raja dan rakyat. Raja Airlangga  dan Raden Wijaya  menganugerahkan  tanah bebas pajak (sima) sebagai wujud legitimasi mereka yang menjadi seorang raja dari "dinasti baru" bukan hanya sebagia bentuk  terima kasih atas dukungan setiap wilayah dalam proses mendapatkann tahta, tetapi juga sebagai bentuk upaya mengikat kesetiaan para kepala desa, kepala daerah, bahwa selama dirinya menjadi seorang raja, maka mereka  akan mendapatkanhak istimewa.

Memasuki era Kesultanan, sistem ini masih relatif tidak banyak  berubah. Konflik beberapa kali terjadi ketika seorang penguasa meningkatkan jumlah pajak yang harus dibayarkan (Pancasan). Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh antara tahun 1802-1803 berkali-kali melakukan pancasan. 

Kebijakan ini menimbulkan kebencian di kalangan bangsawan pemegang lungguh. Bentuk protes mereka lakukan dengan cara memalsu ukuran tanah, misalnya ukuran tumbak atau cengkal dibuat lebih pendek.

Konflik soal pertanahan di era kolonial  yang paling terkenal mungkin adalah konflik yang menjadi salah satu penyebab terjadinya Perang Jawa. Pembangunan jalan raya yang memotong makam leluhur  dari Pangeran Diponegoro menyulut perang berkepanjangan dan salah satu perang terbesar yang pernah dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda di pulau Jawa. 

Selain itu, konflik -- konflik juga muncul akibat dari  perubahan kebijakan tentang pertanahan yang muncul pada masa pergantian penguasa, dari kesultanan menjadi pemerintah kolonial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline