Konflik agraria adalah sebutan -- sebutan bagi sebuah konflik-konflik di masyarakat tentang tanah. Bukan hanya konflik antarindividu, tetapi juga individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Konflik tentang tanah tidak hanya terjadi pada tahun -- tahun belakangan ini.
Jika ditilik jauh ke belakang, konflik-konflik yang diakibatkan penguasaan tanah juga terjadi pada masa awal Indonesia merdeka. Apakah pada colonial, pada masa kerajaan Islam, atau masa kerajaan Hindu Budha tidak ada konflik agraria? Mari kita melintas masa sebentar saja.
Konflik Agraria Dalam Masa Terdahulu
Pada era kerajaan, tanah adalah milik raja. Seluruh wilayah kerajaan adalah milik raja sebagai penguasa tertinggi dan penduduk diperbolehkan menggunakan tanah dengan membayar uang sewa berbentuk pajak.
Tanah juga digunakan simbol penghargaan raja kepada para bawahannya sehingga ada sebutan yang kita kenal dengan tanah lungguh, dimana seorang pejabat diberi wilayah dengan luas tertentu dan diberi keleluasaan untuk mengola wilayah tersebut.
Tanah digunakan untuk alat tukar menukar kesetiaan antara raja dan rakyat. Raja Airlangga dan Raden Wijaya menganugerahkan tanah bebas pajak (sima) sebagai wujud legitimasi mereka yang menjadi seorang raja dari "dinasti baru" bukan hanya sebagia bentuk terima kasih atas dukungan setiap wilayah dalam proses mendapatkann tahta, tetapi juga sebagai bentuk upaya mengikat kesetiaan para kepala desa, kepala daerah, bahwa selama dirinya menjadi seorang raja, maka mereka akan mendapatkanhak istimewa.
Memasuki era Kesultanan, sistem ini masih relatif tidak banyak berubah. Konflik beberapa kali terjadi ketika seorang penguasa meningkatkan jumlah pajak yang harus dibayarkan (Pancasan). Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh antara tahun 1802-1803 berkali-kali melakukan pancasan.
Kebijakan ini menimbulkan kebencian di kalangan bangsawan pemegang lungguh. Bentuk protes mereka lakukan dengan cara memalsu ukuran tanah, misalnya ukuran tumbak atau cengkal dibuat lebih pendek.
Konflik soal pertanahan di era kolonial yang paling terkenal mungkin adalah konflik yang menjadi salah satu penyebab terjadinya Perang Jawa. Pembangunan jalan raya yang memotong makam leluhur dari Pangeran Diponegoro menyulut perang berkepanjangan dan salah satu perang terbesar yang pernah dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda di pulau Jawa.
Selain itu, konflik -- konflik juga muncul akibat dari perubahan kebijakan tentang pertanahan yang muncul pada masa pergantian penguasa, dari kesultanan menjadi pemerintah kolonial.