Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Tak Mau Menjadi Ibu

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewi Wulansari/no.42

Tak Mau Menjadi Ibu

Maafkan aku, Bu.

Engkau adalah awal mulanya aku. Pengantarku ke alam fana. Sembilan bulan lebih kau simpan aku dalam garbamu, dengan seutas tali penyambung nyawa. Entah dengan kekuatan apa kau keluarkan aku dari sana. Pengorbanan yang setara dengan jihad di medan perang.

Lalu kau besarkan dengan pancaran air kehidupan sehingga tapak kaki mulai menjejak kuat di bumi. Suap demi suap yang kau berikan menjadi darah, tulang, dan daging. Menyiapkanku menjadi sosok yang sehat dan tangguh.

Tapi Bu, aku tak pernah mau menjadi sepertimu.

Engkau yang mengenalkan i- ni- i- bu- bu- di. Mengajak berdendang dengan musik terindah dalam hidup, suaramu. Berhitung one two three, sambil mengajarkan hakikat x dan y. Menghafal sila demi sila. Menyelami asyiknya bereksperimen.

Ingatkah ibu akan titik-titik yang membercaki buku pe-er matematikaku? Yang kau sirnakan hanya dengan satu pelukan hangat. Entahlah, mengapa aku terlahir dengan begitu banyak bulir bening yang siap bergulir, namun dengan tak kalah sigap engkau menghapusnya. Bila orang mengataiku cengeng, dengan cepat kau membela, ”Anakku perasaannya halus.”

Aku tak pernah lupa kebanggaan di wajahku saat bersamamu menerima predikat lulusan dengan nilai terbaik. Apakah diwajahmu terlukis kebanggan yang sama, Bu?

Sungguh Bu, aku tak ingin menjadi sepertimu.

Engkau selalu ada untukku. Bak udara yang tak kasat mata namun ada di setiap ruang. Aku hanya perlu berpaling ke belakang, lalu kau hadir. Tak perlu lantang memanggilmu, bisikan halus pun mampu kau inderai. Padahal, engkau bukan cenayang.

Suatu waktu, ketika tanda kedewasaan itu hadir, kau khawatirkan dosa-dosa yang harus mulai kutanggung sendiri. Aku tak pernah paham arti rasamu kala itu.

Kisah merah jambu yang sering aku sembunyikan darimu, karena malu. Entah kenapa, kau selalu paham. Lalu menawarkan secangkir teh seduhan cintamu, penawar luka hati.

Karenanya Bu, aku tak berharap menjadi sepertimu.

Tatkala kita harus berpisah seribu kilometer demi mendaki cadasnya bukit pengetahuan, aku berpagut erat padamu. Tak hendak jauh darimu. Aku ibarat anak burung yang hendak melebarkan sayapnya menuju langit biru tak berujung. Dan kau, induknya. Dengan dorongan paruhmu, aku mengangkasa. Terbang bebas. Namun, aku selalu bisa pulang kembali ke sarang kecil yang kau siapkan.

Tiba saat toga itu terpasang di pundakku. Kakimu Bu, yang harus kucium. Engkau yang seharusnya berada di podium itu, tempat kami mengikrar Sumpah Hipokrates.

Gelar ini aku persembahkan untukmu, Ibu. Tetes keringat pertamaku yang mungkin tak seberapa menjadi prasasti keberhasilanmu.

Namun Bu, aku tak bisa menjadi sepertimu.

Lalu tiba saat itu, saat seorang asing dari planet Mars akan membawaku pergi jauh darimu, Ibu. Aku tak pernah lupa mutiara kata yang kau titipkan sebagai kado di malam terakhirku sebagai seorang anak perawan. Ketakutanku sirna dengan keridhoanmu.

Ridhomu, ridho Allah. Aku langkahkan kaki keluar dari surgamu, ibu. Demi membangun surgaku sendiri.

Benar Bu, aku takut menjadi sepertimu

*****

Rasanya aku tak bisa menjadi seorang ibu. Belum lagi sembilan bulan itu aku jalani, berbagai kecemasan mulai menghantui. Pegal-pegal di badan sudah membuat bersungut-sungut. Rumah yang entah kenapa tak pernah terlihat rapi dan bersih walau diisi cuma berdua. Kecanggungan berada dalam suasana asing memulai terbentuknya kerutan halus di kening. Perbedaan demi perbedaan harus dicari titik tengah demi tercapai keseimbangan. Itu salah satu pesanmu.

Bila jarak bisa dilipat tentu sudah kuhadirkan engkau, saat kami beradu argumen. Ketika air mata sudah mengambang di pelupuk, kenapa hanya ibu dan Dia yang aku sebut. Ibu adalah pengejawantahan tangan Tuhan. Penyambung langit dan Arsy. Wanita pemintal doa.

Aku takut tak bisa menirumu walau cuma sepersepuluh. Rasanya tak pernah kulihat engkau menangis sepanjang hidupku sebagai anakmu. Namun untukku, tangisan kerap hadir bahkan acapkali. Apakah tak ada air di kelopak matamu, Ibu? Atau, kau sembunyikan di mana tangis itu? Di bentangan sajadah panjangmu kah?

Lalu aku merasakan jadi ibu. Sel tunggal yang terus membelah itu mulai tumbuh dalam diriku. Aku takut tapi aku mau . Gerakan halus dalam perut mengawali eksistensiku sebagai calon ibu. Membuatku mulai menghitung butiran waktu yang terus mengalir.

Masih engkau juga yang kucari, Bu.

Ketika hitungan kalender mendekati masanya. Tetap tanganmu jua yang kugenggam di tengah kesakitan itu. Nyeri demi nyeri yang dulu kau lewati demi aku, kini masih kubagi denganmu. Dan puncaknya, terima kasih, Ibu. Seorang putri telah lahir dari rahimku, yang terlahir dari rahimmu. Kita tiga generasi berpelukan. Berbagi cita dan impian.

Aku tak bisa menjadi sepertimu, Ibu.

Aku sudah amati caramu memandikannya. Lalu, aku tiru baik-baik. Entah kenapa ia memilih menyaringkan suara ketika aku yang memasukkannya ke dalam bak mandi.

Ilmu apa yang kau punya, hingga dalam hitungan detik, ia tertidur dipangkuanmu. Sedangkan, beraneka lagu dan buaian yang kuberikan tak mampu menutup kelopak mata mungil ini. Apa aku harus les vokal, Bu?

Susah berharap menjadi sepertimu, Bu.

Engkau selalu tampil wangi dan rapi dalam ingatan masa kecilku. Lihatlah aku sekarang, rasanya cermin pun enggan melirik. Untungnya ayah si kecil tak pernah protes apalagi demo. Lebih ajaib lagi si kecil mulai betah dengan aromaku. Tangisannya akan reda bila berada dalam dekapku. Mungkinkah aku sudah tertular keahlianmu, Bu.

IBU.

Kata ajaib itu tersemat juga untukku. Ketika bibir mungil itu mengeja kata pertamanya, da...da (kuanggap saja itu penggalan kata bunda). Aku seharusnya ibu sepertimu. Namun mengapa, tak pernah kurasakan panggilan itu pantas untukku. Apakah seorang bisa langsung menjadi seorang ibu hanya dengan melahirkan anak?

Bu, sesalku menggantung karena merasa tidak menyerap sebanyak mungkin ilmu keibuan darimu. Mungkinkah ibu mempunyai kitab rahasia seorang ibu yang tidak aku ketahui? Seandainya saja aku lebih memperhatikan, mencatat uraian tugas, dan juga meniru SOP-mu sebagai seorang ibu, mungkin aku bisa menjadi sepertimu.

Aku berkhayal ada sekolah menjadi ibu. Tentu sudah kudaulat engkau sebagai salah satu staf pengajar. Sedangkan aku menjadi seorang murid, yang tidak pandai, namun antusias untuk belajar. Sekolah yang kujamin akan laris di kalangan calon ibu maupun ibu-ibu muda. Bahkan aku akan bersikeras mata pelajaran ‘Menjadi Ibu’ mulai diberikan di Sekolah Menengah Atas. Mungkin nanti akan ada pula sekolah menjadi ayah. I wish.

Bu, ketakutanku yang terdalam adalah bahwa aku bisa jadi gagal menjadi seorang ibu. Apakah tolak ukur keberhasilan seorang ibu? Apakah dengan kesuksesan anak-anaknya menjadi orang lalu seorang ibu dikatakan layak mendapat predikat ibu yang baik. Ataukah dengan kelimpahan materi di usia senjanya.

Bagiku Bu, bukti keberhasilanmu sebagai seorang ibu adalah bahwa aku tak akan mau menukarmu dengan ibu lain, walau seisi dunia imbalannya.

Adapun harapanku, bahwa aku ibu yang baik, adalah mendengar namaku disebut dalam doa-doa mereka yang lahir dari rahimku. Mereka yang mungkin berjumlah satu, dua, empat, atau lebih sesuai dengan rezeki yang kudapat.

Being a mother ternyata membuatku berusaha untuk lebih baik dari detik ke detik di setiap waktu. Setelah menjadi ibu, kini aku seolah melihat pantulan cermin masa kecilku.

Maafkan aku Ibu,

untuk semua ‘ah’ yang pernah terucap

untuk semua raut masam yang pernah tersaji di hadapanmu

untuk semua uban di rambutmu yang ada sebelum waktunya

untuk semua malam-malam kurang tidurmu

untuk semua masakan yang tidak mau aku santap

untuk semua tugas rumah yang aku abaikan

untuk semua protes dan demo atas laranganmu

untuk semua semua semua kelakuan buruk yang kutimpakan padamu.

Lalu, terima kasih Ibu,

atas setiap helaan nafasku

atas kehidupan yang masih mengalir di nadi

atas kesempatan mejadi seorang ibu

atas setiap butir kebahagiaanku

atas semua karunia-NYA untuk kita.

Bila pepatah bilang: ‘Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepenggalah’ maka akan kusambung galah itu hingga tak terputus sampai akhir detak jantungku.

Doakan aku Ibu. Agar bisa bersama surgaku dalam surga-Nya.

Karena engkaulah surga pertamaku.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibuhttp://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/22/untukmu-ibu-inilah-karya-peserta-fiksi-hari-ibu-bersama-studio-kata-618551.html

Jangan lupa cantumkan juga kata-kata berikut ini : Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline