Lihat ke Halaman Asli

Analisis Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) Terkait dengan Tuduhan Penistaan Agama Dianalisis Menggunakan Cara Pandang Filsafat Hukum Positivisme

Diperbarui: 30 September 2024   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Kasus hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait dengan tuduhan penistaan agama pada tahun 2016 dapat dianalisis menggunakan cara pandang filsafat hukum positivisme.

Hukum positivisme berfokus pada peraturan tertulis dan penerapannya secara formal tanpa memandang apakah peraturan tersebut adil secara moral atau tidak. Dalam kasus Ahok, ia didakwa berdasarkan Pasal 156 a KUHP yang mengatur tentang penistaan agama. Dari sudut pandang positivisme hukum, peraturan yang digunakan oleh jaksa untuk mendakwanya adalah sah secara hukum karena ada dalam KUHP, yang merupakan produk otoritas negara yang sah, yaitu pemerintah dan legislatif Indonesia.

Filsafat hukum positivisme menekankan bahwa semua individu, termasuk Ahok, harus taat pada hukum yang berlaku, terlepas dari niat atau konteks yang melatarbelakangi tindakannya. Pada kasus ini, Ahok menyampaikan pernyataan terkait surat Al-Maidah ayat 51 yang kemudian dianggap menyinggung umat Islam. Dalam positivisme hukum, tafsir moral atau motif di balik pernyataan tersebut tidak terlalu dipertimbangkan, yang lebih penting adalah apakah tindakannya melanggar peraturan yang ada.

Salah satu kelemahan pandangan positivisme adalah mengabaikan konteks sosial dan moralitas dalam penerapan hukum. Pada kasus Ahok, ada perdebatan mengenai niat sebenarnya di balik pernyataannya---apakah ia berniat menista agama atau hanya mengomentari tafsir politik dari surat Al-Maidah. Namun, dalam positivisme, hal ini kurang penting. Yang menjadi dasar adalah apakah tindakannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku. Jika unsur-unsur hukum terpenuhi, maka individu tersebut dianggap bersalah, terlepas dari niat atau situasi moral yang melingkupinya.

Positivisme menekankan bahwa hukum harus diterapkan secara objektif, tanpa campur tangan emosi atau opini publik. Dalam kasus Ahok, meskipun ada tekanan besar dari masyarakat dan demonstrasi massal yang dipicu oleh kelompok-kelompok tertentu, dari perspektif positivisme, pengadilan seharusnya hanya berfokus pada penerapan hukum yang ada, bukan pada opini mayoritas atau tekanan dari masyarakat. Meski demikian, kritik terhadap putusan Ahok justru muncul karena adanya kekhawatiran bahwa tekanan publik mempengaruhi penerapan hukum, yang berpotensi bertentangan dengan prinsip positivisme hukum yang murni.

   Ahok dijatuhi hukuman dua tahun penjara berdasarkan pasal penistaan agama. Dari sudut pandang positivisme, keputusan ini dianggap sah karena sesuai dengan aturan yang berlaku. Hukum formal ditegakkan, dan proses peradilan berjalan mengikuti jalur hukum yang ada. Namun, dari sisi filsafat lain (misalnya hukum naturalis), banyak yang memperdebatkan apakah hukum yang diterapkan tersebut adil atau tidak, mengingat konteks politik dan sosial yang melingkupi kasus ini.

B. Mazhab hukum positivism

Mazhab hukum positivisme memandang hukum sebagai aturan yang dibuat oleh otoritas sah, seperti pemerintah atau lembaga legislatif, tanpa mempertimbangkan aspek moralitas. Hukum dipahami sebagai produk sosial yang harus diterima karena dikeluarkan oleh otoritas resmi yang memiliki kekuatan sah. Dalam positivisme, hukum harus dipisahkan dari moralitas, di mana aturan tidak perlu memenuhi standar moral, melainkan cukup diakui oleh lembaga resmi. Kepastian hukum dan penerapan yang konsisten adalah kunci penting. Tokoh utama seperti John Austin dan Hans Kelsen menekankan pentingnya otoritas dalam menciptakan hukum serta penerapan yang objektif. Fokus utama positivisme adalah kepatuhan terhadap hukum tertulis dan aturan formal, yang memberikan prediktabilitas dan ketertiban. Namun, positivisme sering dikritik karena mengabaikan aspek keadilan dan fleksibilitas, terutama ketika hukum tertulis tidak sejalan dengan prinsip moral atau keadilan sosial.

C. Mazhab hukum positivisme dalam hukum di Indonesia

Mazhab hukum positivisme berperan penting dalam sistem hukum Indonesia, yang sangat bergantung pada aturan tertulis seperti perundang-undangan, KUHP, dan konstitusi. Positivisme menekankan kepastian hukum untuk menjaga ketertiban dan prediktabilitas, di mana hukum dianggap sah jika disahkan oleh otoritas yang berwenang, tanpa mempertimbangkan aspek moralitas. Lembaga legislatif dan eksekutif memainkan peran utama dalam pembentukan hukum tersebut. Namun, positivisme di Indonesia juga mendapat kritik karena dalam beberapa kasus hukum yang diterapkan tidak mencerminkan keadilan substantif. Ketika hukum terlalu kaku dan mengabaikan kondisi sosial, rasa keadilan masyarakat bisa terganggu. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan moral dalam praktik hukum di Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline