Lihat ke Halaman Asli

Kupang, Sebuah Perjalanan Sejauh Dua Setengah Tahun

Diperbarui: 24 Juli 2016   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja di pantai Lasiana (hdw)

“Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku”
- Immanuel Kant

Terbang ke Kupang di bulan Oktober 2013, saya tiba di El Tari tanpa sedikit pun referensi. Tiga menit keluar dari bandara hawa panas segera menyengat, karang dan rumput kering merajai indra.

Apakah ini adalah seluruhnya tentang Kupang? Pertanyaan filosofis ini membawaku mengembara selama dua setengah tahun hidup di kota ini. Apakah ada yang bisa disebut sebagai sejatinya Kota Kupang? Kota Kupang yang adalah sebenarnya Kota Kupang ataukah Kota Kupang hanyalah sebatas apa yang mampu dialami oleh indraku?

Pertanyaan yang kurang lebih sama pernah merajai Eropa pada abad ke-18, yaitu: Adakah sesuatu yang ada dalam pikiran kecuali yang sebelumnya telah dicerap oleh indra?

Sekitar waktu yang sama, di Kupang sedang terjadi peristiwa bersejarah. Dua kekuatan Eropa juga sedang adu kuat berebut monopoli cendana di Pulau Timor. Setelah kurang lebih seabad lamanya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie, sebuah kongsi dagang Belanda) berusaha mengambil alih monopoli dari tangan Portugis. Akhirnya pada 9 November 1749 dalam sebuah perang penentuan di daerah Penfui sekarang, Pasukan VOC, yang terdiri dari orang eropa dan pasukan Mardijkers dengan sekutunya orang Sabu, Rote, Solor dan beberapa wilayah sekitar Kupang mengalahkan pasukan Topasses Portugis. Perang yang kesudahannya akhirnya membagi area pengaruh VOC/Belanda dan Portugis, membelah Pulau Timor, Barat dan Timur.

Karang, pohon lontar dan laut (hdw)

Di Eropa sendiri pada tahun 1748, David Hume (Filsuf Skotlandia/Inggris, 1711-1776) menerbitkan karyanya yang paling menghujam: An Enquiry Concerning Human Understanding, menetapkan indra sebagai satu-satunya alat pembeda keberadaan dan kenyataan dari segala khayalan akal.

Bagi Hume, Kota Kupang adalah apa yang saya alami sehari-hari melalui mata, hidung, telinga, lidah dan kulit, apapun di luar itu hanyalah omong kosong. Mengalami kota ini lewat Hume, hamparan karang dengan rumput-rumput kering, bangunan-bangunan baru dan lama berdiri berdampingan, “Bahasa” Kupang yang cepat dengan kata-kata khas dan singkatan-singkatan digabungkan dengan kata-kata Bahasa Indonesia, bahasa-bahasa ibu dari beragam suku, rasa daging se’i dan suhu rata-rata udara yang tinggi.

Karang dan laut (hdw)

Untunglah rasionalitas bisa diselamatkan. Saat kaum rasionalis percaya bahwa dasar dari seluruh pengetahuan manusia ada di dalam pikiran dan ketika kaum empiris percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indra, datanglah Kant (Immanuel Kant, filsuf Prussia/Jerman, 1724-1804).

Apakah Kota Kupang ini persis seperti yang saya lihat, atau sesungguhnya yang tampak dalam pikiranku?

Sebuah sudut kota (hdw)

Seperti Hume dan para empiris, Kant setuju bahwa seluruh pengetahuan kita berasal dari indra. Tapi dalam akal juga terdapat faktor-faktor yang menentukan bagaimana memandang Kota Kupang seperti Descartes dan para rasionalis percaya.

Kota Kupang tidak lagi sebatas bagaimana dia terlihat, terdengar, tercium, dan terasa karena kondisi-kondisi tertentu dalam pikiran juga ikut memengaruhi konsepsiku. Sebagai pendatang, latar belakang suku, religius, pendidikan dan pengalaman sebelumnya, dan semua referensi yang membentuk diriku turut berperan sebagai penyaring atau penguat semua hal yang saya lihat, dengar, rasa dan alami di kota ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline