Hampir semua suku-bangsa yang berada dalam lingkup bahasa Austric tidak memiliki aksara, termasuk juga dalam superstock Celebic, bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi, yang didalamnya terdapat keluarga bahasa Mori. Ketiadaan aksara, menghilangkan juga banyak memori dimasa lalu seperti silsilah, sistem adat dari waktu ke waktu, sistem religi, kesenian, cerita-cerita rakyat, perayaan-perayaan, dan terutama sekali sejarah bangsa.
Kehilangan banyak hal tersebut menghasilkan krisis identitas pada generasi-generasi yang lebih baru. Kebiasaan penggunaan bahasa Indonesia oleh orang-orang tua kepada anak-anaknya menyebabkan hilangnya salah satu bentuk identitas yang mudah dikenali selain kerugian dari segi kelangsungan salah satu bahasa dan kemungkinan pengembangannya. Sistem religi yang dianut oleh masyarakat yang dalam prosesnya menghilangkan jejak kepercayaan masa lalu serta semua ritualnya ke dalam samudera takhayul tanpa pernah dibuatkan catatan tertulis sebagai inventaris kebudayaan dan sejarah bangsa ikut memperparah proses tersebut.
Pergulatan ide seperti ini berlaku pada generasi-generasi yang lebih baru, yang membutuhkan identitas lengkap ketika bergaul dengan aneka identitas yang lain, termasuk juga memuaskan semua pertanyaan sejarah dan asal-usul mereka. Bangsa yang hanya mengandalkan memori ‘lisan’ selalu terbentur pada minimnya catatan yang bisa didapatkan sekadar untuk memuaskan sejenak dahaga identitas.
Pencarian akan kepingan-kepingan sejarah masa lalu seperti yang terjadi dalam masyarakat asli di Kabupaten Luwu Timur, yang berdiam di tiga kecamatan yaitu Wasuponda, Nuha, dan Towuti. Suku-suku bangsa tersebut adalah To Padoe, To Karunsi’e,To Tambe’e,danTo Soroako di tengah kepungan modernitas yang membuat lena akan sejarah, yang mutlak untuk membentuk identitas yang lebih lengkap.
Salah satu alat untuk memahami kepingan yang berserakan tersebut adalah bahasa.
Pencarian Identitas Kebahasaan di Sulawesi Bagian Timur-Tenggara
Pada tahun 1831, J.N. Vosmaer mengitari bagian tenggara sulawesi dan menjadi yang pertama menyediakan informasi soal penduduk dan bahasanya; sembilan tahun kemudian seorang berkebangsaan Inggris, James Brooke memimpin sebuah ekspedisi yang menyelidiki area seputaran teluk Bone; dan pada tahun 1950 Capt. Van Der Hart mengunjungi beberapa lokasi di pantai sebelah timur sulawesi timur-tenggara dalam perjalanannya dari Makassar ke Ternate.
Pada tahun 1852 dan 1856 Gubernur Goldman di Maluku menyetujui ekspedisi untuk mengeksplore bagian timur Sulawesi tengah. Ekspedisi yang kedua pada 1856 inilah yang pertama memasuki sampai kebagian dalam hingga dipaksa mundur oleh orang Mori di Pertahanan Ngusumbatu sekitar 40 km dari mulut sungai Laa.
Pada tahun 1874 seorang naturalis berkebangsaan Italia Odoardo Beccari menghabiskan sekitar setengah tahun menjelajah peninsula Sulawesi tengah-tenggara. Akan tetapi bahkan setelah semua itu, bagian terdalam di sekitar danau Matano dan Towuti, di jantung masyarakat berbahasa Mori, belum “ditemukan” oleh orang Eropa hingga 1896 ekspedisi oleh Fritz dan Paul Sarasin.
Penelitian bahasa dan etnologi pertama di daerah Sulawesi bagian timur tenggara dilakukan oleh missionaris dan ahli bahasa Adriani (1900) mengenai bahasa Bungku dan Mori, dan seterusnya setelah itu bahasa Mori terus mendapat perhatian oleh Van Ellen & Ritsema (1918-1919), J. Kruyt (1919), dan Esser (1927-1933). Di bagian lebih tenggara, missionaris H. van der Klift mulai menganalisis bahasa Mekongga pada 1915.
Setelah kemerdekaan, beberapa peneliti bahasa dan etnis kemudian meneruskan penelitian mengenai bahasa-bahasa dan bangsa di area sulawesi timur-tenggara. Diantaranya Salzner (1960), Anceaux (1978), Barr & Barr (1979), Sneddon (1983), Grimes & Grimes (1987), Karhunen & Vuorinen (1991) dan Mead (1999).
Beberapa diantara mereka kemudian memberikan klasifikasinya untuk bahasa-bahasa di daerah ini.
(1) Adriani dan Kruyt (1914)
Adriani dan Kruyt meletakkan dasar klasifikasinya pada penyebaran perubahan bunyi secara historis dan kesamaan morfologi. Untuk dialek, mereka mengikuti kebiasaan pada saat itu dan menentukan kekerabatan berdasarkan kata negatif yang digunakan dalam bahasa tersebut.
Berdasarkan pertimbangan itu, Adriani membagi bahasa-bahasa diarea sulawesi timur-tenggara kedalam kelompok bahasa mori-bungku menjadi empat bahasa yaitu:
1) Bungku
2) Mori
3) Lalaki (atau Laiwui)
4) Mekongka
Didalam kelurga bahasa Morisendiriterdapat empat dialek menurut Adriani yaitu:
1) Mori Timur
2) Mori selatan (Termasuk Tambe’e)
3) Soroako-Karunsi’e-Sinongko
4) Padoe
(2) Salzner (1960)
Salzner menggunakan istilah yang digunakan oleh Adriani, kelompok bahasa Bungku-Mori dengan empat bahasa, yaitu:
1) Mori
2) Bungku
3) Laki
4) Mekongka
[caption id="attachment_185664" align="aligncenter" width="365" caption="Peta bahasa Bungku-Mori Group menurut Salzner (Mead, 1999)"][/caption] Untuk bahasa Mori, Salzner membagi menjadi lima dialek, yaitu:
1) Mori barat
2) Mori Timur
3) Mori Selatan (Termasuk Tambe’e)
4) Soroako-Karunsi’e-Sinongko
5) Padoe
(3) Sneddon (1983)
Sneddon menggunakan istilah yang digunakan oleh Adriani, kelompok bahasa Bungku-Mori dengan empat bahasa, yaitu:
1) Mori
2) Bungku
3) Lalaki/ Laiwui
4) Mekongka
[caption id="attachment_185670" align="aligncenter" width="384" caption="Peta bahasa Bungku-Mori Subgroup menurut Sneddon (Mead, 1999)"]
[/caption]
(4) Karhunen dan Vuorinen (1991)
Marjo Karhunen dan Paula Vuorinen pada tahun 1988 memulai penyelidikannya di Sulawesi Tengah dan Selatan untuk menentukan lebih teliti dialek-dialek dalam bahasa Mori. Setelah membandingkan bukti leksikostatistik dari daftar 24 kata, mereka mengemukakan tiga bahasa ada di daerah Mori yaitu Padoe, Mori Atas (termasuk Tambe’e) dan Mori Bawah (Termasuk Soroako dan Karunsi’e).
(5) Mead (1999)
Penelitian David E. Mead dilakukan pada seluruh bahasa dan dialek yang termasuk dalam stock Bungku-Laki, yaitu bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan erat yang tersebar dari Luwuk sampai Kendari, Sulawesi bagian timur-tenggara, yaitu keluarga bahasa Mori, Bungku dan Tolaki.
Hasilnya kemudian dipresentasikan dalam bukunya The Bungku-Tolaki Languages of South-Eastern Sulawesi, Indonesia; Pacific Linguistics; 1999,dan digunakan sebagai acuan dan sumber data dalam tulisan ini.
Metode Leksikostatistik dan Glotokronologi
Metode leksikostatistik adalah bagian dari sebuah cabang linguistik yang mempersoalkan bahasa-bahasa sekerabat dengan mencari persentase kekerabatan bahasa dengan membandingkan kata-kata (leksikon) dan kekerabatan yang ada. Teori mengenai metode ini mula-mula dikembangkan oleh Morris Swadesh dan Robert Less pada 1950an.
Metode yang digunakan adalah pertama menentukan kosa kata pokok yaitu kata-kata yang secara umum pasti dimiliki oleh sebuah komunitas meski sebelumnya komunitas tersebut tidak memiliki bahasa karena dalam komunikasi dalam komunitas kata-kata ini dibutuhkan dan yang sulit sekali berubah. Dengan membandingkan semua kosakata pokok yang ada dapat ditentukan persentase kosakata yang sama antar dua bahasa atau lebih sehingga didapatkan pola kekerabatan antara kedua bahasa.
Lebih jauh dengan metode glotokronologi sebuah pendekatan dibuat untuk menghitung jumlah waktu dalam tahun, pemisahan antara dua bahasa yang telah diketahui persentase kekerabatannya.
Klasifikasi Bahasa-Bahasa Sulawesi Timur-Tenggara
Klasifikasi bahasa yang diterima oleh kalangan akademisi di daerah Sulawesi timur-tenggara adalah sebagai berikut:
No Bahasa Dialek
1 Moronene Moronene
2 Moronene Tokotua
3 Taloki Taloki
4 Kulisusu Kulisusu
5 Koroni Koroni
6 Wawonii Wawonii
7 Wawonii Menui
8 Bungku Landawe
9 Bungku Tulambatu
10 Bungku Waia
11 Bungku Torete
12 Bungku Bungku
13 Bungku Routa
14 Bahonsuai Bahonsuai
15 Mori Bawah Watu
16 Mori Bawah Bahano
17 Mori Bawah Mo’iki
18 Mori Bawah Ngusumbatu
19 Mori bawah Roda
20 Mori Bawah Petasia
21 Mori Bawah Kangua
22 Mori Bawah Soroako
23 Mori Bawah Karunsi’e
24 Padoe Padoe, Lasulawai
25 Padoe Padoe, Kawata
26 Padoe Padoe, Taliwan
27 Mori Atas Tambe’e
28 Mori Atas Ulu’uwoi
29 Mori Atas Impo
30 Mori Atas Molongkuni
31 Mori Atas Kolokolo
32 Mori Atas Olota
33 Mori Atas Lolonggoio
34 Mori Atas Wulanderi
35 Mori Atas Doule
36 Mori Atas Molio’a
37 Mori Atas Molio’a
38 Tomadino Tomadino
39 Waru Waru
40 Waru Lalomerui
41 Tolaki Wiwirano
42 Tolaki Asera
43 Tolaki Konawe
44 Tolaki Mekongga
45 Tolaki Laiwui
46 Rahambuu Rahambuu
47 Kodeoha Kodeoha
Untuk pengelompokan bahasa digunakan batasan oleh Grimes dan Grimes (1987) yaitu:
- Persamaan leksikon sebesar <15% berarti kedua bahasa berbeda phyla
- Persamaan leksikon antara 15% dan 25% berarti kedua bahasa sama phyla
- Persamaan leksikon antara 25% dan 45% berarti kedua bahasa sama superstock
- Persamaan leksikon antara 45% dan 60% berarti kedua bahasasama stock
- Persamaan leksikon antara 60% dan 75% berarti kedua bahasasama family
- Persamaan leksikon antara 75% dan 80% berarti kedua bahasasama subfamily
- Persamaan leksikon antara 80% dan 90% berarti kedua bahasasama language
- Persamaan leksikon sebesar >90% berarti keduabahasa sama dialect
Setiap dialek dan bahasa kemudian disurvei dengan meminta responden masing-masingmemberikan kata-kata padanan terhadap 226 kata pokok tersebut dan dibandingkan. Kekerabatan leksikon sebesar 50% berarti bahwa dari 226 kata yang digunakan sebagai acuan tersebut, ada 113 kata yang sama antara kedua bahasaatau dialek yang dibandingkan.
Matriks hasil leksikostatistik dari survey yang dilakukan oleh Mead untuk bahasa-bahasa dalam stock Bungku-Tolaki sebagai berikut:
[caption id="attachment_185673" align="aligncenter" width="532" caption="Maktriks kesamaan leksikal bahasa dan dialek Bungku-Tolaki (mead, 1999)"]
[/caption]
Sementara lebih dalam terhadap keluarga bahasa Mori sebagai berikut:
[caption id="attachment_185674" align="aligncenter" width="612" caption="Matriks kesamaan leksikal bahasa dan dialek Mori (Mead, 1999)"]
[/caption]
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa untuk bahasa Soroako, Tambe'e, Karunsi'e dan Padoe sebagai berikut:
1) Bahasa Soroako, terhadap Bahasa-Bahasa Mori Bawah sebesar 82%,Terhadap Bahasa Padoe 81%, dan terhadap Bahasa-Bahasa Mori Atas sebesar 70%.
2) Bahasa Karunsi’e, terhadap Bahasa-Bahasa Mori Bawah sebesar 81%,TerhadapBahasa Padoe 80%, dan terhadap Bahasa-Bahasa Mori Atas sebesar 73%.
3) Bahasa Tambe’e, terhadap Bahasa-Bahasa Mori Bawah sebesar 74%,terhadapBahasa Padoe 77%, dan terhadap Bahasa-Bahasa Mori Atas sebesar 81%.
4) Bahasa Padoe, terhadap Bahasa-Bahasa Mori Bawah sebesar 75% danterhadap Bahasa-Bahasa Mori Atas 74%.
Dari hasil perbandingan kekerabatan dengan metode leksikostatistik tersebut, dapat dilihat bahwa Bahasa Soroako (To Taipa, To Rahampu’u dan To Nuha) lebih dekat dengan bahasa Mori Bawah dengan tingkat kekerabatan leksikon sebesar rata-rata 82%. Dengan tingkat persamaan leksikon sebesar 80%-90% demikian Bahasa Soroako digolongkan sebagai salah satu dialek dalam Bahasa Mori Bawah.
Bahasa Karunsi’e secara leksikostatistik juga lebih dekat dengan Bahasa Mori Bawah dibanding Padoe dan Mori Atas dengan rata-rata sebesar 81%. Dengan tingkat persamaan leksikon sebesar 80%-90% demikian Bahasa Karunsi’e digolongkan sebagai salah satu dialek dalam Bahasa Mori Bawah.
Bahasa Tambe’e secara leksikostatistik lebih dekat dengan Bahasa Mori Atas dengan kekerabatan Leksikostatistik sebesar 81%. Dengan tingkat persamaan leksikon sebesar 80%-90% demikian Bahasa Tambe’e digolongkan sebagai salah satu dialek dalam Bahasa Mori Atas.
Bahasa Padoe secara leksikostatistik dari tiga desa narasumber (Lasulawai, Kawata dan Taliwan), memiliki rata-rata kesamaan leksikon sebesar 75% dengan Bahasa Mori Bawah dan 74% dengan Mori Atas. Berdasarkan bukti tersebut dan dengan perbedaan struktur/pola bahasa yang jelas, David Mead mengikuti Karhunen dan Vuorinen (1991) menggolongkan Bahasa Padoe sebagai Bahasa tersendiri dan menggolongkannya sebagai Sub-family Mori.
Berdasarkan uraian diatas maka David Mead (1999) berkesimpulan bahwa untuk garis keturunan bahasa-bahasa bangsa Padoe, Karunsi’e, Soroako dan Tambe’e sebagai berikut:
Phyla: Austric
Sub-Phyla: Austronesia
Superstock: Celebic
Stock: Bungku-Tolaki
Family: Mori
Language:
1) Bahonsuai
2) Tomandino
3) A. Padoe,
B. Mori Atas (termasuk Bahasa Tambe’e),
C. Mori Bawah (Termasuk Bahasa Karunsi’e dan Soroako)
Waktu Pisah Bahasa (Waktu Pisah Bangsa?)
Metode Glotokronologi menjadi alat yang sangat berguna untuk merekonstruksi kembali waktu pisah bahasa pertama kali terjadi. Mengetahui kekerabatan bahasa dalam bentuk banyaknya persamaan kata dasar, membantu menentukan kapan pemisahan kedua bahasa terjadi.
Lebih lanjut dengan data-data ini dan memori lisan bangsa, dapat dilihat juga pola migrasi bangsa-bangsa yang terkait dengan pemisahan tersebut.
Dengan tingkat kesamaan leksikon sebesar 88% dapat disimpulkan bahwa To Soroako berasal dari kerabat yang sama dengan To Ngusumbatu dan To Roda di Sulawesi Tengah dan kemungkinan besar berasal dari daerah tersebut di utara danau Matano sebelum bermigrasi ke arah Danau Matano.
Hasil leksikostatistik untuk To Karunsi’e memperlihatkan ada satu suku yang dekat di daerah Mori Bawah yaitu To Bahono di Uluanso, Sulawesi Tengah, dengan tingkat kekerabatan leksikon sebesar 84%. Dengan tingkat kesamaan leksikon sebesar 84% dapat dilihat bahwa kemungkinan To Karunsi’e berasal dari kerabat yang sama dengan To Bahono dan kemungkinan besar berasal dari daerah tersebut sebelum bermigrasi ke arah selatan Danau Matano.
To Tambe’emenunjukkan kekerabatan yang lebih kental dengan suku-suku bangsa di Mori Atas terutama dengan To Ulu’uwoi di Sulawesi Tengah, dengan kekerabatan leksikostastistik sebesar 91%. Dengan tingkat kesamaan leksikon sebesar 91%, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan To Tambe’e berasal dari kerabat yang sama dengan To Ulu’uwoi dan kemungkinan besar berasal dari daerah tersebut sebelum bermigrasi ke barat danau Matano.
Secara tradisi lisan, dikatakan bahwa To Padoe berasal dari daerah Kanta dekat Tomata dimana orang To Molio’a berdiam kemudian bermigrasi ke Lakarai. Jika menilik tradisi ini, maka kekerabatan leksikon antara To Padoe dengan To Molio’a yang sebesar 72% perlu ditinjau agar dapat diperkirakan sekian tahun perpisahan tersebut berdasarkan kekerabatan leksikon dengan metode glotokronologi.
Berdasarkan tinjauan leksikostatistik, didapatkan bahwa kesamaan suku kata antara:
- Soroako dan Ngusumbatu = 88%
- Tambe’e dan Ulu’uwoi = 91%
- Karunsi’e dan Bahono = 84%
- Padoe dan Molio’a = 72%
Dengan metode Glotokronologi dapat dikirakan waktu pisah antara dua bahasa yang diketahui persamaan kosakatanya, yaitu antara dua bangsa dengan tingkat persentase kekerabatan kosakata terbesar atau dalam kasus Padoe berdasarkan tradisi tutur lisan.
Rumus yang digunakan yaitu:
W =logC/2 log r, dimana:
W = waktu pisah dalam ribuan tahun.
r = kadar ketahanan dalam 1000 tahun atau indeks (80,5%: Swadesh).
C = persentase kekerabatan.
Sementara waktu ralat karena kemungkinan variasi kosakata kunci untuk perkiraan periode pisah, diberikan dengan rumus:
S =SQRT [C (1-C)/n], dimana:
S = kesalahan standard dalam peratusan kata kerabat
C = peratusan kata kerabat
n = jumlah kata yang dibandingkan
SQRT = Square root; Akar pangkat dua.
Maka untuk waktu pisah antara:
1) To Soroako dan To Ngusumbatu
W= log0,88/ 2*log0.805 = 0.295*1000 = 295 Tahun
S = SQRT [0.88*(1-0.88)/226] = 0.022
C ralat= C+S = 0.88+0.022 = 0.902
W ralat= log0.902/ 2*log0.805 = 0.238*1000= 238 Tahun
Variasi periode= 295-238= 57 Tahun
Maka waktu pisah kedua bahasa adalah antara 238 sampai 352 Tahun yang lalu, dihitung dari tahun dilakukannya studi tersebut, yang berarti diantara tahun 1647 – 1761 Masehi.
2) To Tambe’e dan To Ulu’uwoi
W= log0,91/ 2*log0.805 = 0.217*1000 = 217 Tahun
S = SQRT [0.91*(1-0.91)/226] = 0.019
C ralat= C+S = 0.91+0.019 = 0.929
W ralat= log0.929/ 2*log0.805 = 0.170*1000= 170 Tahun
Variasi periode= 217-170= 47 Tahun
Maka waktu pisah kedua bahasa adalah antara 170 sampai 264 Tahun yang lalu, dihitung dari tahun dilakukannya studi tersebut,yang berarti diantara tahun 1735 – 1829 Masehi.
3) To Karunsi’e dan ToBahono
W= log0,84/ 2*log0.805 = 0.402*1000 = 402 Tahun
S = SQRT [0.84*(1-0.84)/226] = 0.024
C ralat= C+S = 0.84+0.024 = 0.868
W ralat= log0.868/ 2*log0.805 = 0.326*1000= 326 Tahun
Variasi periode= 402-326= 76 Tahun
Maka waktu pisah kedua bahasa adalah antara 326 sampai 478 Tahun yang lalu, dihitung dari tahun dilakukannya studi tersebut,yang berarti diantara tahun 1521 – 1673 Masehi.
4) To Padoe dan To Molio’a
W= log0,72/ 2*log0.805 = 0.757*1000 = 757 Tahun
S = SQRT [0.72*(1-0.72)/226] = 0.03
C ralat= C+S = 0.72+0.03= 0.75
W ralat= log0.75/ 2*log0.805 = 0.663*1000= 663Tahun
Variasi periode= 757-663=94Tahun
Maka waktu pisah kedua bahasa adalah antara 663 sampai 851 Tahun yang lalu, dihitung dari tahun dilakukannya studi tersebut,yang berarti diantara tahun 1148 – 1336 Masehi.
Mengaitkan sejarah dengan analisis bahasa, orang-orang suku Tolaki di Sulawesi Tenggara (+-230.000 orang), orang-orang Mori di Sulawesi Tengah dan Selatan (+-40.000 orang), orang-orang Bungku dan Moronene di Sulawesi Tengah dan Tenggara (+-100.000 orang), kemungkinan berasal dari sebuah bangsa proto yang sama yang diperlihatkan dengan kekerabatan rata-rata bahasanya diatas 50%. Artinya dulu sekali ada sebuah bangsa yang adalah proto, kemudian memecah jadi dua bangsa yaitu Tolaki dan Proto Mori-Bungku. Kemudian Proto Mori-Bungku memecah lagi menjadi bangsa Mori dan Bungku. Setelah itu memecah lagi menjadi lebih banyak anak suku-anak suku yang tersebar di jazirah Sulawesi timur-tenggara hingga hari ini.
Kehadiran suku-suku bangsa keluarga bahasa Mori: Padoe, Karunsi’e, Tambe’e dan Soroakodi daerah sekitar gugusan danau Matano-Towuti dan di Malili kemungkinan besar terjadi dimulai pada akhir abad ke-12, sesuai dengan hasil leksikostatistik David E. Mead (1999) dan analisis glotokronologi diatas.
{Untuk pendidikan sejarah dan kebenarannya!}
Sumber:
- Sejarah dan data leksikostatistik dari: Mead, David E.; The Bungku-Tolaki Languages of South-Eastern Sulawesi, Indonesia; Pacific Linguistic; 1999.
- Metode Glotokronologi: dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H