Lihat ke Halaman Asli

Salah Demokrasi, Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat!

Diperbarui: 18 Juni 2016   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Masyarakat sudah mendegradasi pemahaman kemanusiaannya hanya sebatas identitas-identitas saja. Ketika ditanyakan siapa orang tertentu itu, maka jawabannya: Dia jabatannya ini, sekolah disini, profesinya ini, bekerja di perusahaan ini, agamanya ini, suku-bangsanya ini, kekayaannya begini, dst. Dengan informasi itu seakan-akan semua orang sudah tahu orang tersebut seperti apa!"

Semua Konflik adalah Konflik Identitas

“Semua konflik adalah konflik antar-identitas” begitu John Paul Lederach berujar (Conflict Transformation Class, 2005).

Tawuran antar pelajar SMP, SMU, yang sering terjadi, merupakan bentuk konflik antar-identitas SMU atau SMP yang diwakilinya (dimana dia bersekolah). Perkelahian massal mahasiswa antar-jurusan pada perguruan-perguruan tinggi tertentu merupakan konflik antar-identitas jurusan. Dalam lingkup yang lebih besar terjadi konflik-konflik antar-identitas agama, serta konflik antar-identitas etnis/bangsa di berbagai daerah.

Konflik yang terjadi bisa berupa pelecehan verbal hingga kekerasan dengan korban jiwa dan perasaan dendam yang diwariskan terus-menerus, mewariskan segregasi dan hilangnya saling percaya dan penghargaan dalam masyarakat, serta timbulnya kebencian yang mendalam atas nama identitas, meskipun identitas itu sendiri bukanlah sebuah pilihan tetapi merupakan ketentuan yang harus diterima setiap orang sejak kelahirannya.

Secara tiba-tiba saja, kita (manusia) dilahirkan kedunia, oleh orangtua tertentu, dengan ras, suku-bangsa, agama, gender, dan preferensi-preferensi tertentu yang menyertai budaya dan lokasi sesuai orang tua dan daerah kita dilahirkan. Dan itulah identitas kita.

Karena identitas-identitas, bukanlah sebuah hak untuk bisa dipilih dan dialihkan (kecuali agama, tetapi dengan dilahirkan dari keluarga dengan agama tertentu, maka sejak kecil, hingga besar, referensi kita selalu dengan sengaja ditumbuhkan semakin besar pada agama orang tua kita), maka ketika akhirnya, karena identitas tersebut kita menjadi tertindas, atau menindas, disakiti atau menyakiti, maka ketidaktentuan yang Ilahi tersebut telah ternodai.

Politik Dalam Masyarakat Multi-Identitas

Dalam masyarakat multi-identitas yang selalu memakai bahasa identitas, begitu sulit untuk menemukan kesamaan karena bahasa identitas selalu mengedepankan perbedaan dimanapun dan dalam kondisi apapun, mendegradasi hubungan antar manusia, karena kemudian manusia dan makna kemanusiaannya dipersempit menjadi sekedar identitas dan simbol-simbolnya.

“Karena orang mencari identitas dan menemukan kembali etnisitas, permusuhan-permusuhan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan, dan permusuhan-permusuhan yang paling berbahaya adalah berbagai benturan yang terjadi di antara peradaban-peradaban besar dunia.” Demikian Samuel Huntington berujar.

Sistem demokrasi yang diterima sebagai bagian kehidupan bernegara dan berbangsa di Indonesia dalam beberapa hal juga turut menyumbang kepada degradasi tersebut. Demokrasi yang lahir, berkembang dan mencapai puncak di barat karena sesuai dengan masyarakatnya yang merdeka-individual karena setiap individu adalah bagian tersendiri yang merdeka dalam menentukan pilihannya dan kekuatannya sebagai individu tersebut diakui dan diakomodasi dalam kehidupan bernegara.

Sementara pada  masyarakat yang bersifat komunal, demokrasi barat tersebut beradaptasi menjadi demokrasi elitis. Konsep demokrasi dan kekuasaan elitis berkawin dengan pas. Kekuasaan dan kekuatan pada jumlah diakomodasi dengan keterwakilaan oleh elit-elit komunal dan kelompok untuk menarik dan mengumpulkan suara dan dukungan dari komunal dan kelompoknya.

Dalam kondisi seperti itu, masyarakat yang setiap anggotanya merdeka-individual cenderung  dihindari untuk dibicarakan di ranah publik, bahkan retorika yang berkembang bertendensi merendahkan kekuatan individual dan mereduksinya selalu sebagai bagian dari kelompok semata. Kepentingan-kepentingan yang dijaga seperti itu, selalu dibahasakan dengan pemujaan kepada identitas, mengedepankan loyalitas, pengultusan tokoh dan sejarah.

Sementara ikatan antar-identitas menjadi semakin kuat, hal tersebut berdampak sebaliknya pada rasa bersatu dalam masyarakat yang multi-identitas. Segregasi antar-identitas menjadi semakin jelas atau disembunyikan dengan baik dibawah sadar dalam bungkusan jargon-jargon penentram rasa seperti Bhineka Tunggal Ika.

Penguatan terhadap perbedaan-perbedaan tersebut kemudian menjadi bahasa sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam perbedaan terdapat potensi yang sangat besar sekaligus jalan pintas untuk memperkuat rasa keidentitasan. Karena itulah bahasa identitas dalam bentuk penyampaian lawan-kawan menjadi bentuk retorika paling popular. Perbedaan dibahasakan dengan semata anti dan permusuhan, otokritis dilarang dan dikecam sebagai anti identitas dan merupakan pemihakan pada identitas musuh.

Identitas bisa menjadi penentu kebenaran serta kadang-kadang menjadi penentu hidup-mati, sementara kebijaksanaan dan kemuliaan, yang ada di dalam identitas tersebut, hilang ditelan kebencian demi kebersamaan dan kesamaan (identitas), dan nilai manusia hanya semata identitasnya.

Dialog dan keselarasan

Degradasi dalam pemahaman kemanusiaan seperti tersebut nampaknya dimulai ketika komunitas-komunitas yang berperan dalam kehidupan seorang individu melarang/menghindari adanya dialog ktitis, termasuk juga di sekolah-sekolah dan lingkungan keluarga.

Mengemukakan pendapat sebagai bentuk ekspresi diri, jika dimulai dari kecil, di semua lingkungan: keluarga, masyarakat, sekolah, akan membantu ego untuk memahami apa itu berbeda pendapat, apa itu pendapat, dan yang terpenting untuk memahami apakah karena orang-orang berbeda (pendapat) itu sama artinya orang itu adalah musuh, ataukah berbeda itu adalah bagian dari menjadi manusia, sesuatu yang alamiah. Pengalaman mengalami perbedaan yang dibiasakan dan disengaja dalam suasana positif diharapkan akan menciptakan ego yang seimbang dalam memahami orang lain. Dengan begitu kecenderungan ego, yang biasanya berintikan identitas sebagai komponen utamanya, untuk memahami perbedaan-perbedaan identitas dan dengan begitu mengakui ego orang lain, lebih niscaya.

Sebaliknya, ego yang anti perbedaan lebih mudah dibentuk karena ego memiliki kecenderungan untuk berkumpul dengan ego yang mirip, dengan begitu ego menjadi semakin kuat memahami bahwa identitasnya adalah segala-galanya dan yang berbeda dengan itu harus menjadi sama dengannya.Lingkungan-lingkungan untuk menciptakannya adalah lingkungandimana diskusi dan dialog positif mengenai perbedaan cenderung dihindari atas nama keselarasan dan kesopanan laku, sementara pemompaan rasa cinta kepada identitas dilakukan terus-menerus dengan cara mempertebal dinding-dinding perbedaan, permusuhan serta ketakutan, lewat kisah-kisah permusuhan, kisah-kisah pertentangan. Sementara kisah-kisah kebaikan, hukum-hukum yang indah, serta kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menjadi akar dan dasar identitas menjadi hilang dan tenggelam dalam kebencian dan permusuhan.

Lingkungan seperti itutidak akan menghasilkan individu-individu seperti Rachel Corrie (10 April 1979 – 16 Maret 2003) dan kawan-kawannya, yang meskipun mewarisi semua kebetulan-kebetulanidentitasnya, Rachel Corrie mampu melihat manusia lain dengan kacamata yang bening tanpa bingkai prasangka, nilai-nilai dan identitas-identitas yang melekat padanya: ras, agama, suku-bangsa, status sosial/ ekonomi, warna kulit, dan lain-lain, bahwa manusia dalam bentuknya yang paling murni selalu lepas dari simbol-simbol dan identitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline