"Ayo... kita berangkat makan...", kata Hamad. Perkataan dengan nada yang serupa telah dia ucapkan selama kira-kira dua tahun terakhir setiap mengajakku untuk bergegas santap siang.
Hamad memang rekan kerjaku di perusahaan konstruksi ini, kami sama-sama pekerja lapangan. Dua tahun sudah aku bekerja di sini. Hamad bahkan sudah bergabung beberapa tahun lebih lama dariku, dan statusnya masih juga karyawan kontrak. Entah bagaimana managemen perusahaan ini mengatur ini semua. Sungguh tidak menyenangkan terus-menerus bekerja tanpa kejelasan status, siapalah yang suka dengan status 'karyawan kontrak'. Hingga mungkin harapanku untuk bisa mendapat status sebagai karyawan permanen setelah tahun ke tiga tinggal mimpi.
Aku sebetulnya kurang berselera untuk makan siang, sepertihalnya perasaan yang kerap terjadi. Tapi Hamad tak akan pergi istirahat makan siang kalau aku tidak beranjak. Entah apalah dianggapnya aku ini. Bahkan lauk-pauk yang dibawanya dari rumah, bekal dari istrinya dibaginya pula denganku. Hak terakhir ini yang membuat semangat makanku kembali tumbuh. Ini baru namanya istirahat makan siang.
Perjalanan dari lapangan tempat workshop kami ke kantin bukannya dekat. Kalau kami telat bersiap di shelter bus, maka tak ada bus lagi yang akan kembali menjemput hingga terpaksa berjalan kaki di bawah terik. Ditambah lagi sepatu kerja yang harus tetap digunakan selama berada di dalam area pabrik ini sungguh bukan jenis sepatu yang nyaman. Kulit sepatu yang kaku, solnya pun tebal dan tak lentur, ditambah lagi bobotnya yang lumayan berat seringkali membuat kaki terasa pegal. Bahkan tak jarang kakiku malah lecet-lecet dibuatnya. Seperti yang beberapakali pernah terjadi, saat aku dan Hamad tertinggal bus contohnya. Kami berdua terpaksa harus berjalan kaki hingga bukan saja rasa lelah yang kami dapatkan, tetapi juga luka lecet di kaki kami. Dan Hamad sudah siap dengan plester luka. Buatku, dia ada saat dibutuhkan.
Tidak ada bus yang berjalan di luar jadwalnya (ilustrasi: doc. pribadi)
Aku hanyalah perantauan di sini. Bertahun-tahun memilih untuk bekerja jauh dari keluargaku. Kakak dan adikku sudah berkarir masing-masing dan tetap di ibu kota bersama ayah dan ibuku. Keluargaku terbilang biasa saja. Aku yang berkeras untuk mencoba berusaha sendiri selepas kuliah, menolak untuk tetap berada di kota. Pekerjaanku saat ini bukannya yang sejalur dengan latar belakang pendidikanku. Tak apa, lah! Bagiku inilah 'pembuktian diri' walau banyak orang menganggapku bodoh, terlalu menuruti ego. Orang-orang yang mengenalku tahu persis, dari mana itu semua menurun.
Hingga usiaku yang menginjak kepala tiga ini aku belum berfikir untuk berkeluarga. Entahlah! Jalanku masih panjang, fikirku. Masih banyak yang perlu aku buktikan. Berbeda dengan Hamad. Dia seperti kebanyakan penduduk setempat yang tidak bisa menikmati pendidikan tinggi. Saat aku baru mengenalnya dua tahun lalu, maka itu kalipertama aku diajak mampir ke rumah orang tuanya, kala itu dia masih bujang. Saat itu juga aku baru tahu betapa penderitaan hidupnya jauh lebih berat dibanding orang paling susah yang pernah aku kenal. Usianya memang lima tahun lebih muda dariku tapi dia bahkan sudah menikah tahun lalu. Pernikahan adat pulau seberang yang meriah walaupun sederhana. Dan kini ia dan istrinya tengah menantikan kelahiran putra pertama mereka.
Aku kadang malu dengan Hamad. Dia selalu bisa diandalkan saat dibutuhkan. Tugas-tugas dari atasan selalu kami kerjakan bersama, juga dengan teman-teman satu team. Kami pun tak jarang harus lembur demi mengejar target. Kini Hamad jarang sekali mengambil jam lemburnya di sore hari karena lebih memilih menemani istrinya di rumah, sekedar meringankan tugas-tugas rumahtangga. Iya, kami cukup mengerti keadaannya dan atasan pun tidak mengekang.
Jarang sekali Hamad minta bantuan kepadaku. Diantaranya, kira-kira empat bulan yang lalu, saat itu Hamad dan istrinya tengah pulang ke kampung istrinya, jauh ke balik pulau di seberang laut sana itu. Dia memintaku untuk datang ke rumah orang tuanya untuk melihat keadaan ibunya yang tengah sakit. Ayahnya memang sudah beberapa hari tidak di rumah karena tengah menangani pekerjaan borongan di seberang pulau yang lain. Tak ada orang lain lagi yang bisa dia mintakan bantuan. Andaikan aku tahu lebih awal, tak oerlu dimintanya pun aku akan berusaha menangani keadaan ini. Aku membawa ibunya berobat ke dokter di puskesmas kecamatan terdekat. Sakit yang cukup berat hingga aku tak tega mengabari Hamad. Bersyukur karena sakitnya pulih dengan cepat, menghapus kekhawatiranku. Hingga tiba waktunya Hamad pulang kembali.
Justru aku yang begitu sering minta pengertian kepadanya. Bagaimana tidak. Alat transportasi yang aku punya hanyalah sepedah. Itupun tak lagi berfungsi sempurna karena rodanya sudah melengkung akibat kena serempet motor anak sekolahan. Aku merasakan kekhawatiran Hamad terhadap kondisiku saat aku ceritakan perihal kecelakaan itu. Padahal saat itu sdh beberapa hari lewat dan Hamad tahu aku baik-baik saja. Sehingga aku jadi lebih sering berangkat dan pulang kerja nebeng dengan kawan. Untuk berangkat kerja, aku biasa nebeng dengan teman yang satu kost denganku. Tapi itu juga tidak bisa diandalkan karena kami beda bagian karena berpengaruh pada waktu masuk dan pulang kerja. Lagi-lagi untuk hal semacam ini hanya Hamad yang bisa aku andalkan.
Setiap kali nebeng pulang dengan Hamad dan aku lihat posisi bensin di motornya mendekati garis merah, aku mengajaknya untuk mampir ke SPBU, sekedar mengisi bensin motornya. Tapi dia selalu menolaknya. Aku tahu dia sedang tidak punya cukup uang, tapi biarlah aku yang membayar, memang itu maksudku. Tapi Hamad tidak mau menerima bantuanku. Tentu aku tetao harus mencari cara lain untuk bisa membantunya. Iya, aku memang harus!
Hingga tiba waktunya bagi istri Hamad untuk melahirkan. Di suatu sore yang tenang, Hamad mengabariku melalui pesan singkat bahwa istrinya telah mengalami tanda-tanda hendak bersalin. Secara keseluruhan, sungguh proses yang tidak terlalu sulit. Persalinannya normal dan dilakukan di tempat praktek bidan. Bayi laki-laki itupun telah lahir ke dunia. Aku menyempatkan diri untuk menemani Hamad dan keluarganya, sekedar memberi semangat. Dan satu malam setelahnya, mereka menggelar acara selamatan di rumahnya. Melihat wajah-wajah bahagia membuat keriangan tersendiri.
Kini, hari-hari terasa ada yang hilang. Teman-teman kerja satu team pun merasakannya. Hamad memutuskan untuk mengambil cuti untuk lebih berkonsentrasi dengan keluarganya di rumah. Kami semua tentu mengerti dengan keadaannya. Lalu bagaimana denganku, siapa yang kini mengajakku makan siang sama-sama? Dengan siapa aku berbagi? Dan siapalah lagi yang aku tebengi saat pulang dan berangkat kerja?
Yakinlah, semua ini sudah dalam pengaturan Yang Maha Kuasa. Minggu lalu ada seorang teman satu kost yang cuti untuk pulang kampung selama dua minggu, dia menitipkan motornya kepadaku. Kehilangan seseorang memang terasa lengkap. Walaupun satu hal dari orang tersebut sudah dapat digantikan, hal-hal lain tetap tak dapat terganti. Hari-hari kini tetap tidak seperti biasanya, ada yang kurang dan terasa berbeda. Hanya perasaan bahwa kelak kita pasti akan bertemu lagi, ini yang menjadi pembakar semangat. Hanya harapan yang iotimis dapat membawa kita hidup hingga esok hari.(wsis)
*)Saya dedikasikan tulisan ini untuk sahabat-sahabat di manapun kalian berada. Betapa kalian sangat berarti. Kalian 'menerangi malam dengan indah sinarmu', selalu dapat memberi harap, sehingga optimis menjalani hari berikutnya. Kalian mewarnai hidup dgn masing-masing warna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H