Lihat ke Halaman Asli

Mimpi Itu...

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13914976771728036539

Perasaan ini... Hati ini terasa berdesir setiap kali membayangkannya. Entah sudah berapa kali, tapi otakku yang pelupa ini tidak asing dengan bayangan suasana itu.

Dinding dengan cat putih bersih, kusennya pun berwarna putih. Jendela-jendela dengan kaca yang tampak bersih walau sengaja diburamkan. Sayup-sayup ku dengar suara lantunan ayat-ayat suci. Suara yang tak asing bagiku, terasa syahdu dan menenangkan walau ada sendu. Aku cari asal suara itu. Tampak di pojok ruangan sedang duduk seseorang, laki-laki muda. Seragam putih-putihnya sehingga aku yakin, dia pastilah seorang petugas medis. Tampak terus menekuni bacaannya dan lantunannya.

Hhhh... Hhhh... Hhhh... Suara-suara desahan itu hampir tak ku gubris. Entah dari mana pula asal suara tadi. Ditambah lagi suara titt.. titt.. titt.. Suara-suara bising yang hanya membuatku serasa tertekan. Tapi lantunan merdu dari pojok ruangan itulah yang berhasil membuatku tenang.

Aku kelilingi lagi ruangan putih bersih itu dengan pandanganku hingga kembali berhenti di satu sisi ruangan. Terdapat foto-foto dipajang di atas lemari itu. Entah sudah berapa lama dipajang di sana, bersih dan tertata rapih. Aku amati satu peratu mulai dari yang terdekat denganku. Pose orang-orang dalam foto itu tampak tak asing sepengetahuanku. Aaaahhh... tentu saja! Aku kenal betul wajah-wajah itu. Wanita dengan kerudung lebar berwarna merah muda itu adalah istriku. Merah maron adalah warna kesukaannya. Tapi dia tampak lebih muda kalau mengenakan warna terang, yakinnya. Nyatanya dia memang tampak lebih cantik dengan warna itu. Dan yang di sebelahnya... siapa itu?? Ada perasaan khawatir kalau-kalau yang disebelah istriku itu adalah laki-laki lain. Ahhh... mata ini memang sudah terasa lelah tapi tetap aku coba fokus mengamati foto itu. Lagipula ini baru foto pertama, masih ada beberapa foto yang lain lagi. Sedikit rasa cemburuku bercampur ingin tahu, berhasil membangkitkan kembali penglihatanku terhadap foto itu. Hhhh... kembali sayup ku dengar suara desahan itu, entah dari mana. Tapi kemudian mampu mewakili perasaan legaku. Tentu saja itu aku yang sedang berfoto bersama istriku. Samar aku ingat saat-saat itu. Pada suatu hari yang cerah, kami tengah berfoto di halaman rumah kami yang penuh bunga beraneka macam, mengundang banyak kupu dan serangga juga burung-burung untuk datang, bersama menikmati suasana. Kejadian yang aku ingat betul, karena belum berselang lama sebelumnya, dia menyampaikan sebuah kabar gembira perihal kehamilannya. Dan foto itu diambil sebagai tanda bahagia kami. Titt.. Titt.. Titt.. kembali sayup-sayup suara itu terdengar, melelehlah air mata ini masih diiringi lantunan sendu dari pojok ruangan. Tenang dan berselimut bahagia yang menghangatkan perasaan.

Perlahan ku pindahkan pandangan ke foto dalam bingkai berikutnya. Itu aku, bersama istriku, dan ada si kecil yang masih bayi dalam buaiannya. Siapa pun yang melihat foto ini akan ikut bahagia. Keluarga kecil yang lengkap. Tuhan telah memberi anugerah terindah itu kepada sepasang insan manusia yang rupawan layaknya malaikat dan bidadari dalam kisah dongeng. Hhhh.. Hhhh.. Hhhh.. Sayup suara itu terdengar lagi seakan menyatakan pemikiran yang setuju.

Foto berikutnya. Dalam bingkai lonjong yang berbanding paling kecil di antara yang lain. Ku lihat wajah nyengir bocah laki-laki dengan topi toganya, sendirian. Di belakang bingkai lonjong itu tampak bingkai paling besar dari yang lain. Berisi kumpulan foto-foto si bocah berulang tahun dengan topi pesta dan kue tart serta lilin berbentuk angka 6 di atasnya. Lalu foto ia dengan sepedah roda duanya. Lihat di foto yang lain! Dia nyengir lagi menampakkan deretan giginya yang rapih, muncul di pinggir kolam renang, bahkan tanpa pelampung. Dan di sebelahnya foto yang tak kalah heboh! Dia dengan tali kail dan ikan besar di ujungnya. Sungguh bingkaian foto-foto yang membuat perasaan meluapkan kenangan, bahagia. Hhhh... Hhhh...Hhhh... Samar suara desahan itu ku dengar lagi, kali ini semakin rapat dari yang tadi. Suara titt.. titt.. titt.. itu pun juga lumayan kerap. Aku kehilangan suara syahdu. Sejurus kemudian terasa usapan lembut di lenganku, seketika aku sadar bahwa sang pelantun tengah berada di sampingku. Entah apa yang dilakukannya. Walau hanya sekilas, tapi aku sempat melihat jelas parasnya. Tidak asing, tapi lagi-lagi otak pelupaku ini tak ingat di mana pernah melihat atau bertemu dengannya. Laki-laki muda itu, sungguh siapapun yang melihatnya pasti akan terpesona. Beruntung sekali orang tuanya, fikirku pendek. Hingga kemudian aku arahkan kembali pandangan mataku ke deretan bingkai berisi foto-foto di lemari tadi itu. Memandang ke arah situ teramatlah menyenangkan, seperti kembali menjelajahi masa laluku. Entah bagaimanalah foto-foto itu bisa berada di sana, otakku pun bingung.

Aku pandangi foto berikutnya. Itu istriku bersama anak kami -yang tidak lagi terlalu kecil- dengan piala kemenangannya. Anak itu memang selalu membuat kami bangga dengan berbagai prestasinya. Sampai di foto itu ingatanku mengabur tanpa aku mengerti sebabnya. Suara desahan dan titt.. titt.. titt.. yang sudah sejak tadi tidak terdengar rapat-rapat. Ntah suara apa mereka itu tapi tetap tidak aku perdulikan. Aku hanya senang karena suara lantunan sendu itu juga sudah kembali ku dengar, indah.

Pandanganku lelah. Sejenak aku putarkan pandanganku lagi ke arah lain dan berhenti pada rangkaian bunga dan buah di atas meja. Tampak segar. Ada bunga mawar dengan beraneka  warna merah, seperti juga warna kesukaan istriku. Dan pada rangkaian buah, hampir pasti aku lihat ada buah-buah mangga –buah kesukaan kami- yang tampak ranum dan satu di antaranya tampak sudah dipotong. Mungkin untuk laki-laki muda di pojok ruangan itu. Dengan apa yang telah dilakukannya, dia memang patut mendapatkannya.

Lantunan yang terus menemaniku di ruangan putih bersih itu. Nada-nada yang mengalun sudah tak asing lagi bagiku. Dan ingatanku kembali ke masa lalu. Di mana pernah pada suatu saat di masa muda kehamilannya, istriku bertanya mengenai pelantun ayat-ayat kitab suci. Aku memberinya saran pada satu pelantun, Mishary Al-Afasi (*. Lantunannya yang menghanyutkan perasaan, dan istriku sungguh menyetujuinya.

Ku arahkan lagi pandanganku pada deretan foto tadi, hingga jatuh ke foto paling akhir. Tampak perempuan dengan kerudung lebar berwarna merah muda itu, yang walaupun wajahnya sudah tampak berkerut tetap saja cantik, terlebih dengan senyuman tipis itu, tidaklah asing. Dan siapa lagi laki-laki muda yang ada di sebelahnya? Walau mereka berfoto bersisihan tapi tampak dalam pose yang akrab dan saling berpegangan tangan. Hey! Apa yang tengah mereka lakukan di sana, ada hubungan apa dengan laki-laki muda di sandingannya itu? Perasaanku naik, cemburuku mengembang dan amarahku memuncak. Aku ingin berteriak, marah sejadi-jadinya tapi suaraku tercekat. Hanya kemudian tubuhku bergetar hebat tapi semakin sulit ku kendalikan. Suara-suara desahan dan bunyi-bunyian mengganggu itu kian kerap bahkan lebih rapat dari yang tadi. Ku rasakan tubuhku semakin melonjak-lonjak tak karuan tanpa bisa ku kendalikan, kaku. Aku bisa melihat kedua tanganku mengangkat kini, terasa kejang. Hingga dapat ku lihat selang-selang yang terpasang di punggung lenganku, belum lagi beberapa kabel yang diantaranya mengapit di ujung jari. Dan entah darimana lagi datangnya orang-orang berpakaian putih-putih itu di sekelilingku. Mereka tampak sangat sibuk, laki-laki muda yang tadi duduk di pojok ruangan itu pun sudah ikut juga. Mungkin ia yang memanggil kawan-kawannya itu. Mereka semua tengah menyerbuku kini. Memeriksa selang-selang yang terpasang masuk lewat mulutku. Mematahkan ampul dan menyuntikkannya ke selang yang menancap di lenganku. Memeriksa monitor dan entah alat-alat apa lagi yang mereka sibuk amati dan setel-setel. Ada yang membawa-bawa masuk alat-alat, entah apa. Dan.. ow, lihat itu! Alat yang sering tampak di film-film emergency, yang ditempelkan ke dada pasien lalu dikejut hingga pasiennya terhentak, yang pasti sakit rasanya. Dan kini mereka tengah menyiapkan alat itu. Untukku?? Oh.., tidak.. tidak..!! Jangan!! Itu akan sangat menyakitkan. Tapi sebelum hal itu terjadi, aku merasa tubuhku tanpa daya. Walau masih kaku terasa, tapi sudah tidak melonjak-lonjak seperti tadi. Hingga kemudian sudah terasa jauh lebih tenang dan rileks. Dan sebelum pandangan ku mengabur seiring orang-orang berpakaian putih-putih itu beranjak satu per satu, aku jatuhkan pandanganku lagi ke bingkai foto terakhir. Masih dapat jelas ku lihat laki-laki muda yang bersanding di sebelah istriku itu. Wajah yang sesungguhnya tidaklah asing. Hingga kemudian pelupuk mata ini terasa berat, masih dapat aku lihat sosok laki-laki muda tadi telah berada di hadapanku, berpakaian putih-putih. Diusapnya lenganku dengan lembut. Kemudian kelopak ini betul-betul tertutup rapat, lalu masih juga kurasakan kecupan hangat di tangan kananku sesudahnya.

Major Emergency/Intensive Care Unit (ilustrasi: doc. pribadi)

Entah sudah berselang berapa lama dari kejadian menegangkan itu. Saat-saat yang aku ingat setelahnya, yang ku rasakan adalah belaian lembut dari lengan yang berbeda. Dan wajahku, aku masih bisa merasakan dinginnya logam yang dikenakan di jemari tangannya. Lalu kecupan di kening itu, kecupan penuhcinta dan kasih yang biasanya dahulu menjelang tidur. Masih diiringi lantunan syahdu itu. (wsis)

*) Mishary Al-Afasi (Shaikh Mishary Rashid Ghareeb Mohammed Rashid Al-Afasy) adalah pelantun Al-Qur’an berkebangsaan Kuwait, kelahiran 5 Desember 1976. Contoh resitalnya ada di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline