Lihat ke Halaman Asli

LDR, Hubungan ‘Interlokal’

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13851724111855879812

“Kita menikah, yuk…?!”

Dan tak lama berselang, masuk jawaban dari seberang, “Serius?? Ayuk…!”

Percakapan serius itu memang tidak dilakukan bertatap muka, itu pesan singkat antara dua orang di belahan bumi yang berbeda. Andre yang memulai pesan singkat itu, entah angin apa yang membawanya hingga keputusan itu menjadi sedemikian bulat dan ditanggapi Ghea di seberang sana.

-----

Sudah hampir lima tahun hubungannya dengan Ghea terjalin. Hubungan jarak jauh seperti kebanyakan LDR, sungguh tidak mudah bagi mereka walaupun belum ada ikatan pernikahan. Andre memang diberikan waktu untuk off dari pekerjaannya setiap beberapa minggu. Dua minggu libur kerja bukanlah waktu yang singkat, tapi untuk mereka tidaklah cukup lama untuk melepas rindu.

Bukan tanpa alasan hubungan mereka tergantung sekian lama, terlebih usia mereka terbilang telah lewat dari matang untuk menikah. Kelakuan Ghea yang sering berbicara tidak sesuai waktunya membuat Andre sering kali kesal dibuatnya. Dan bagi Ghea, teman-teman Andre mungkin alasan lain yang membuatnya ragu. Andre lebih akrab dengan teman-teman pria dibanding dengan wanita.

Pernah suatu hari Ghea datang ke tempat tinggal Andre, dan kecewa berat dengan kejadian hari itu. Andre tidak mau menerima kedatangannya. Pasalnya ia ingin memberi kejutan di hari ulang tahun Andre dan itu pertamakalinya Ghea datang ke rumah Andre. Kalau tidak atas bujuk permintaan orang tuanya, Andre tidak akan menemui Ghea saat itu. Bahkan kekecewaannya semakin menjadi karena Andre tetap tak mengacuhkannya. Hari itu Ghea pulang dengan wajah yang sembab karena di sepanjang jalan ia tak kuasa membendung air matanya, batinnya pun tak kalah kacau. Andre tahu Ghea pulang dengan perasaan itu, Ghea menolak untuk diantar. Ghea patut menerima ini semua karena ini adalah salah Ghea, tegas Andre dalam hati. Dasar laki-laki. Egois!

-----

"Lihatlah Andre, begitu dekat dengan teman laki-laki", ujar Rena.

"Apa kau masih yakin dengan pilihanmu?", sambung sahabat Ghea itu.

"Jangan-jangan kau cuma ingin sering dibonceng motor besarnya itu, ya...?!", celoteh teman yang lain.

"Aku juga mau kalau gitu, ah...", teman yang lain lagi menimpali.

"Senang juga punya pacar anak tunggal seperti dia. Poin plus..plus..!", sambung temannya lagi.

Ghea sadar, sungguh ada yang menarik pada diri Andre. Penilaian Ghea tidak akan berubah. Bukan karena apa yang dimiliki Andre, seperti yang hanya disukai banyak teman-teman wanita yang lain. Andre dengan penampilannya yang selalu santai. Terlebih ditambah sifat cuek Andre terhadap wanita termasuk pada dirinya. Ini semua sudah jadi pembicaraan umum di kantor mereka. Iya, dulu memang mereka satu kantor. Semua itu malah membuat Ghea semakin tertarik pada sosok Andre. Mungkin ini yang orang bilang ‘sudah klik’.

-----

"Tante…”, terdengar suara yang begitu bersemangat dari gagang telepon. “Andre tadi berkelahi dengan preman-preman yang mengganggu Ghea. Tampaknya tangan dan kakinya terkena hantaman preman-preman itu. Tapi mereka semua kabur, Tante... Lari terbirit-birit... Andre hebat, Tante!".

Sesaat perempuan paruh baya di ujung kabel sana menghela nafas. Bagaimana tidak. Sepanjang percakapan dengan Ghea tadi nafasnya terasa tercekat, debaran jantungnya pun seolah berkumandang kencang dan rapat. Aduan Ghea tadi menjelaskan kenapa Andre tidak kunjung keluar dari kamarnya semenjak kembali ke rumah. Biasanya anak itu hanya menghabiskan waktunya bersama ayah dan ibunya, bercerita, bercanda. Tak pernah ada kesedihan atau kesusahan yang dibagi kepada orang tuanya itu. Saat-saat seperti ini berarti Andre ingin sendiri, seperti biasanya walau jarang sekali. Tapi apa yang dikatakan Ghea barusan menggerakkan nalurinya untuk menemui anak satu-satunya itu. Sekedar mengetahui keadaannya andaikan Andre tak ingin membicarakannya. Anak itu memang begitu. Egois! Sudah mahfum, batin wanita setengah baya itu.

Hari selanjutnya, Andre begitu cuek terhadap Ghea. Jauh.. jauh.. jauh terasa lebih dari biasanya. Bahkan seperti orang yang bukan Ghea kenal selama ini. Tidak membalas sapaan Ghea, telepon dan pesan singkatnya juga tidak direspon. Waktu makan siang yang kerap dilewatkan bersama pun tidak. Bahkan Andre meninggalkan Ghea saat jam pulang kantor mereka tiba. Kejadian ini berulang hingga di hari ke tiga, Ghea tidak tahan lagi. Dia menghadang langkah Andre menuju elevator, memaksa. Andre yang tahu maksud Ghea menarik tangan Ghea dan membawanya ke tepi lobi gedung.

"Ka..", belum selesi satu kata dari mulut Ghea, tapi Andre telah memotongnya.

"Kau telah membuat Mama sedih! Dan Papa juga.."

Dan sekejap kemudian Andre pergi meninggalkannya sendirian menatap gerimis dari balik jendela gedung itu, seperti perasaannya yang sedang sulit dijelaskan. Tapi Ghea tidak kesulitan mencerna maksud Andre tadi. Maka dia pun menyadari satu pelajaran lagi.

Sudah tiga tahun mereka menjalin hubungan jarak jauh, sejak Andre mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan internasional. Sedangkan Ghea, dua tahun yang lalu dia mengikuti jejak Andre. Walau pun tidak pindah ke luar kota, Ghea tengah bekerja di perusahaan lain. Masing-masing kelihatan lebih baik, menikmati pekerjaannya. Bagi Ghea, jarang bertemu Andre memaksanya untuk dapat belajar sendiri. Kalau sebelumnya ada saja yang bisa ia dapati melalui kebersamaannya dengan Andre. Saat-saat jauh dari Andre malah kerap dilewatkan bersama orang tua Andre. Mereka sudah seperti orang tua juga baginya, sebagai pelampiasan rindu terhadap orang tuanya di kota seberang.

-----

"Tapi rumah orang tua Ghea di kampung, ada di tengah sawah. Harus melalui pematang yang kecil, melompati parit licin. Belum lagi terik matahari kalau siang selain kalau tidak basah kuyub karena hujan", Ghea berucap.

"Ribuan kilometer sudah aku jalani melewati daratan, lautan dan udara. Apakah kau masih sulit meyakiniku..?", sanggah Andre tak mau kalah. Alih-alih puitis, ucapan Andre lebih seperti 'menggombal'. Terlebih drama ini mereka lakukan di sebuah bangku taman kota dengan pohon-pohon rindang menaungi. Tapi sungguh mereka sedang tidak bersandiwara. Andre tengah meminta kesediaan Ghea. Sekali lagi meminta, berhadapan langsung. Dan lagi, bersaut anggukan.

Waktu cuti Andre yang singkat terasa padat agenda. Keluarga Andre menemui keluarga besar Ghea di kota seberang. Tentu bukan kampung seperti yang Ghea pernah katakan karena waktu itu ia memang sedang bercanda. Bercanda di saat serius memang bukan pada tempatnya, begitu pun Ghea masih sesekali melakukannya. Tipikal anak bungsu yang senang cari perhatian, itulah Ghea.

Kedua pihak keluarga mendukung keputusan anak-anak mereka. Maka persiapan pernikahan pun dilakukan bersama, sambil menunggu Andre off dari pekerjaannya lagi. Itu berati hanya berjarak beberapa minggu saja sebelum acara sakral itu dilaksanakan.

Pernikahan itu (dok. pribadi)

Hari yang dinanti itu pun tiba. Undangan telah disampaikan jauh-jauh hari untuk acara mereka. Upacara adat setempat yang sederhana, sesederhana langkah hidup kedua orang yang saling mencintai dan memahami. Sakral mengikat sepasang kekasih dalam ikatan suci. Walau jarak kerap membuat mereka tak dapat bertemu langsung, namun hati mereka tak lagi dapat terpisahkan.[*wsis]

*Cerita di atas adalah fiktif belaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline