Lihat ke Halaman Asli

Harian tentang Cinta

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Harian Tentang Cinta

Masih duduk di ruang yang sama bersama gelisah yang sama. Rasa yang sudah sepekan terakhir menggelayut dikepala. Menyita waktu yang seharusnya berlalu bahagia, hanya menjadi sibuk mengurusi perasaan semata. Hanya karena takut yang dikasihi yang berada jauh disana, sedang sibuk memikirkan hal lain. Memang lain ketika dia tak ada disisi.

Rasa percaya yang awalnya mengakar kuat, dipaksa untuk terus tumbuh. Berusaha menjadi lebih besar, agar penantian panjang ini bisa lebih menenangkan. Nyatanya tidak begitu bukan. Malah sehari harinya seluruh wajah dan tentangnya menjalar seperti belukar dalam diri. Melupakan diri sendiri, dan semakin pikirin itu mengiring, maka semakin kuat pula energi menyedot segala kendali. Yang ada hanya dia.

Terkadang nasihat orangtua pun terabaikan. Apa cinta ini sudah berubah gila? Apa sudah tak ada kebenaran lain selain kekasih? Apa sebenarnya yang sudah ia berikan? Apa dapat melebihi yang telah orangtua berikan? Pasti dengan tegas akan dijawab bahwa tentu orang tua yang lebih banyak berjasa, tapi hati menolak yang lain. Nyatanya bahkan seluruh tubuh sudah tanpa kain lagi kepada kekasih. Hanya kekasih, katanya bukti cinta.

Apa mungkin Tuhan jua digadaikannya? Astagaa... ini sudah benar-benar gila. Sudah tidak waras. Cinta macam apa ini? Tidak ingatkah nikmat cinta itu datang dari siapa? kenapa malah menuhankan yang lain? Yang dicinta adalah segalanya, katanya. Jika ia, mungkin akan ada terobosan baru menjadi agama ke-enam di Indonesia, agama Pacar. Agama dimana pacar adalah tuhan dan segalanya. Pacar yang mematikan dan menghidupkan manusia. Pacar yang membangkitkan manusia yang telah mati dan berkehendak atas hari kebangkitan dimana seluruh manusia akan ditimbang amal yang telah dilakukannya untuk pacar. Yang paling banyak berkorban, ia boleh masuk surga. Sinting!

Bayangkan kalau hal itu benar terjadi, setiap hari manusia-manusia disibukkan dengan mencari pacar. Yang sudah menjomblo selama bertahun-tahun, mungkin akan memulai langkah dengan mendatangi dukun terdekat. Atau yang berpenampilan buruk mulai kedokter hewan untuk operasi plastik. Yang tidak punya cukup uang, dapat menggunakan jasa penjual baskom keliling yang juga sedang mencari pasangan. Akhirnya penjual baskom itu yang mengoperasi plastik, dan memacari perempuan yang wajahnya sudah berubah itu. Berubah mengerikan!

Yang sudah menjalin hubungan selama bertahun-tahun mungkin akan memulai ritual penyembahan. Meminta pengampunan apabila selama berhubungan, ada hati yang terluka. Ada sikap yang tak berkenan. Mungkin ada hutang pengorbanan yang masih belum ditebus. Keduanya lalu saling berpelukan dan saling melepas kain sebagai penyucian dari dosa-dosa terhadap pacar.

Yang sudah menjadi janda tua dengan empat anak, sibuk merias diri didepan cermin setelah melepas keempat anaknya yang belum akil balik untuk mencari pasangan. “Pergilah, nak. Segera temukan tuhanmu.” Begitu katanya sebelum anak-anaknya melangkah keluar pintu. Anak-anak itu mungkin sedang mencari tuhannya ditoko mainan. Lalu, selesai ia berdandan dengan kecantikan yang malah pudar, ia bergegas pergi mengendarai sedan biru dengan plat kuning. Melaju menelisik kerumunan manusia dengan hingar-bingar yang sama, saling mencari tuhan masing-masing. Dengan kecepatan tinggi, hanya 10 menit saja, janda beranak empat tadi tiba di sebuah hotel. Ia bergegas turun, melangkah cepat menelusuri lobi. Menuju kamar nomor 1200 di lantai 12. Kecewa diwajahnya begitu tahu yang hendak ditemuinya sedang bersama lima perempuan lain. Dalam hati ia berucap, “tuhanku diambil orang” dengan irama yang biasa dinyanyikan radio dangdut tiap sore.

Setiap waktu di sosial media, manusia-manusia sibuk mengumbar kata-kata cinta. Bahkan dengan murahnya menjajakan cinta dengan iming-iming akan mendapatkan cinta yang tulus dan sejati. Bukan cinta hakiki, hanya perasaan cengeng yang tidak masuk akal yang disebut-sebut sebagai cinta. Menggambarkan kesedihan, rasa sakit, patah hati, dan semua hal-hal banci yang memuakkan. Ada yang lain hendak menasehati, katanya terlalu munafik dan tidak gaul. Mereka yang harusnya bekerja memenuhi harapan dan cita-cita keluarga, malah sibuk dengan kegalauan yang mereka ciptakan sendiri. Seperti akalnya sudah mati, mereka hidup sebagai manusia yang tidak rasional. Pacar memang sudah jadi tuhan di negeri ini

Ah, bosan mengutak-utik, gelisah ini tak jua meleleh. Padahal berisik matahari diluar sedang membakar kepala. Segelas kopi dingin sudah tak beraroma lagi, sudah basi. Tiba-tiba dunia layu dan mati.

Bulungan, 8 Februari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline