Lihat ke Halaman Asli

Cita-cinta

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cita-cinta

“Sudah dari dulu kukatakan, aku ini penderita Skoliosis. Aku punya bentuk tubuh yang tidak normal. Tapi kamu ngotot mau menikah denganku. Padahal banyak wanita lain diluar yang menunggumu.”

Seperti biasa, mas Ibnu hanya menjawabnya dengan diam. Dan memang begitu selalu semenjak dua tahun terakhir. Semenjak dokter mengatakan, kelainan ini harus dioperasi. Dengan menggunakan brace juga tidak cukup. Tapi aku menolak, dan dokter hanya memberi beberapa resep sia-sia. Karena memang sudah tidak ada gunanya. Aku tidak sedih, tidak menyesal kenapa tidak sedini mungkin kuperiksakan. Dunia ini terlalu menyita kendali hanya untuk sekedar mengurusi tulang belakang. Karena aku tahu biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, lagipula aku punya Ayah dan Ibu yang tak ingin kubebani. Aku sudah terlahir dengan beban di pundak. Tapi mas Ibnu mereaksinya dengan cara yang tidak biasa. Dengan cara diam.

Padahal dulu ia yang paling banyak bicara. Apa saja. Waktu kuliah dulu, dia menjadi idola di kampus, menjadi sosok yang disegani. Bukan hanya karena bicaranya. Lebih dari itu ia punya wibawa dan kharisma. Dan apa yang ada dikepalanya selalu membuat orang lain berpikir ribuan kali untuk berurusan dengannya. Ia benar-benar banyak menyita perhatian dan menjadi sosok yang dibicarakan media kampus maupun lokal. Aku salah satu pengagumnya saat itu. Ah, betapa manis masa lalu itu masih sering mengecap. Membuat situasi lima tahun setelahnya menjadi benar-benar berbeda.

“Sayang, kita harus sukses. Kesuksesan itu kita rancang mulai sekarang. Kita harus jadi orang tua yang cerdas, melahirkan anak yang membanggakan. Punya uang banyak, jadi anak-anak kita nanti tidak perlu hidup susah seperti kita sekarang. Kemudian mereka juga akan melahirkan generasi yang hebat dan kita akan menjalani masa tua dengan tenang lalu mati dengan bahagia.” Ucapnya jelang sidang skripsi waktu itu.

“Tapi mas... lihatlah, aku punya kelainan ditulang belakangku. Skoliosis ini makin lama sudut kelengkungannya akan semakin besar. Aku takut, mas. Takut tidak bisa memenuhi kebutuhanmu nantinya. Takut hanya membuatmu malu.” Sahutku menutup wajah.

“Ya ampun sayang. Kamu pikir aku mencintai wanita hanya karena fisiknya saja? Kalau iya, banyak perempuan yang lebih cantik dari kamu yang bisa kugunakan tubuhnya lalu kutinggalkan. Tapi nyatanya tidak, bukan? Sudahlah berpikir tentang hal itu, aku yakin kamu punya sesuatu yang hebat di dalam dirimu.”

“Tapi mas, bagaimana kalau aku ternyata tidak bisa punya anak?”

“Kita bisa adobsi. Banyak orang yang tidak bisa punya anak selama bertahun-tahun, tapi ketika mereka mengadopsi anak, beberapa bulan kemudian istrinya bisa hamil. Tenang sayang, Tuhan Mahaberkehendak. Semua tergantung ikhtiarnya saja.”

Ucapan mas Ibnu waktu itu masih lekat ditelingaku. Masih terdengar membara dan penuh ambisi. Aku tahu benar ia bukan laki-laki yang hanya ingin membahagiakan perempuan dengan omongan. Karena dia benar-benar membuktikan ucapannya. Ia benar bekerja keras dan akhirnya mampu hidup berkecukupan. Maka, apalagi yang dapat menunda kebahagiaanku saat ia datang melamarku.

“Nanti kita beli rumah dan perkebunan. Kalau bisa di daerah pegunungan yang tenang. Mas sudah rancang semuanya. Nanti kita akan buat perpustakaan mini dan ruang baca, agar anak-anak kita kelak tidak buta terhadap dunia. Lalu di halaman belakang rumah, kita bentuk taman tempat nanti mas melukis dan ladang inspirasimu untuk menulis. Kalau perlu kita beli binatang peliharaan, biar kamu nggak kesepian kalau mas pergi kerja. Bagaimana?” Jelas mas Ibnu sehari setelah resepsi pernikahan usai.

“Terus perkebunannya kita apakan, mas?”

“Ya digarap dong, sayang. Kita bisa ngasih lapangan pekerjaan buat orang lain. Biar nanti sayang saja yang jadi kepalanya.”

Aku tersenyum saja, karena memang tidak ada yang perlu kukatakan. Lagipula mas Ibnu juga tersenyum sama manisnya, dan kupikir kami merasakan hal yang sama.

Namun, ketika segala keinginan terwujud, seolah harapan itu hanya menjadi benang yang hampir putus sebelum selesai menjadi kain.

“Kenapa hanya diam, mas? Kamu sudah begini selama dua tahun terakhir. Kamu tidak bosan hidup bersama perempuan cacat seperti aku. Dengan perempuan yang hanya membuatmu malu ketika kau kenalkan ke teman-teman sekantormu. Aku melihat bagaimana cara mereka melihatku. Seperti jijik sekaligus iri. Karena laki-laki setampan dan sehebat dirimu masih sanggup dan sabar hidup dengan perempuan seperti aku.” Aku menangis.

“Bahkan rahimku pun cacat! Sampai sekarang aku tidak bisa memberimu keturunan, mas. Aib apalagi yang kau mau dari aku? Kenapa kau menyiksa dirimu sendiri, mas? Kenapa!”

Mas Ibnu seperti batu tanpa rasa. Seperti sengaja membisukan mulut dan menulikan telinga. Hanya tatapan kosong dan raut wajah kurus yang sedikitpun juga tak bicara mengenai apa yang terjadi. Ku pikir ini adalah salah satu caranya membenciku, ia terlalu kasihan padaku untuk mengatakannya. Makanya memilih diam!

“Bicaralah mas! Mau sampai kapan kau begini terus.”

Percuma! Segala jawaban masih bungkam.

Aku beranjak pergi ke halaman belakang. Terbata-bata melangkah dengan punggung bengkok. Sembari menguras airmata dalam sungai yang entah kapan akan kering.

Aku duduk disana, di kursi favoritku. Menatap hamparan alam telanjang, seperti ditinggal lama pemiliknya. Mengamati ruas perkebunan yang sudah mati karena sudah setahun terakhir tidak dirawat. Semua pekerjanya secara massal mengundurkan diri dengan beragam alasan. Menambah malapetaka dalam rumah. Dan kini hanya sunyi yang tertanam, apalagi setelah mas Ibnu memutuskan untuk menjahit mulutnya sendiri dengan benang yang tak kutahu terbuat dari apa. Ia begitu menikmati jahitannya.

Kupaksakan menghembus napas panjang menarik lelah dari dalam diri. Berharap udara yang masuk berikutnya dapat ciptakan sejuk dalam dada. Tapi percuma, alam sekitar sudah ternoda. Sudah terlalu banyak lelah yang beterbangan. Sudah tidak sehat untuk dikonsumsi, malah mungkin dapat membunuh.

Beberapa saat senyap berlalu, kudengar deru mobil terparkir di depan rumah. Ada tamu. Tak perlu kusambut, karena bukan aku yang ingin ditemuinya. Aku yang memintanya datang beberapa waktu lalu ketika kami bertemu di supermarket. Pertemuan itu tidak berlangsung manis layaknya dua orang yang pernah saling bersahabat. Ah, tidak penting pertemuan itu. Yang jelas ia dengan girang akan memenuhi permintaanku. Dan aku sudah tahu hal itu yang sedari dulu ia inginkan. Semoga aku tidak salah memilih.

Maka, ia benar-benar datang hari ini. Samar-samar terdengar suaranya berbicara pada mas Ibnu yang hanya dijawab bisu. Tapi, selang beberapa saat deru mobil kembali mengudara, melesat meninggalkan halaman depan dengan cepat.

Airmataku tumpah. Tubuhku berdebam, luruh kelantai.

“Maafkan aku mas. Maaf sudah menjadi istri durhaka. Semoga aku tidak salah memilih, semoga perempuan itu yang tepat, mas.” Tangisku memenuhi ruang dibawah langit.

“Semo..ga.. ka..mu.. baha..gi..a, mas.”

Kurasakan sesuatu hangat mendekapku dari belakang. Aku tersentak menoleh cepat.

“Mas. Kenapa..kenapa kamu masih ada disini? Kenapa kamu tidak pergi, mas?”

Masih terjahit rupanya, mas Ibnu masih tak buka bicara. Ia hanya mendekapku lebih erat dan meletakkan dagunya dipundakku. Menumpahkan airmata disana.

Aku berbalik. Kini kami saling berhadapan.

Tapi tak ada yang mampu kukatakan ketika matanya yang basah menatapku dengan tatapan lama yang dulu menyejukkan. Lama kurindukan mata itu, dan kini aku harus melihatnya dengan cara yang menyakitkan. Ku raba kedua pipinya, merasakan hangat wajahnya yang lama kaku. Mengecup bibirnya yang lama bisu. Aku tersadar kembali betapa berharganya dia. Menyesal, aku hampir saja kehilangannya dengan melakukan hal paling tolol.

“Ma..maafkan aku. Selama ini, aku sudah cukup menghukum diriku sendiri. Aku menyesal, kenapa dulu aku tidak belajar memahami. Kenapa dulu aku tidak belajar cara melindungi. Sekarang aku merasa gagal. Aku gagal melindungimu, sayang. Aku gagal membuatmu untuk tetap sehat. Malah sekarang kau yang menderita dengan tulang belakang begitu. Harusnya dulu aku lebih peka, sayang. Aku benar-benar tidak berguna.” Mas Ibnu memutus bisunya selama dua tahun ini.

“Dan aku harus tetap disini, bersamamu. Untuk menebus segala waktu berlalu yang kubiarkan sia-sia. Aku mencintaimu, sayang..” Aku menutup mataku dalam-dalam ketika sebuah kecupan membekas dikeningku. Rasanya tulus, seperti diwaktu lalu. Masih sama.

Selanjutnya, kami saling diam. Menatap lekat mata yang satu dengan yang lain. Rasakan ledakan bahagia dihati masing-masing. Karena memang tak ada kata-kata yang mampu mengucapkannya. Segalanya menjadi tak berbahasa dan bisu dengan makna masing-masing. Cita-cita dan cinta ini akan terus hidup.

Terimakasih, Tuhan.

S E L E S A I




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline