Lihat ke Halaman Asli

WS Thok

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

(Gugontuhon) Larangan Menepuk Pantat Perempuan

Diperbarui: 13 Mei 2017   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


“Aja sok nyeblek bokonge wong wadon, mundhak ingkang dipun ceblek cemplang olah-olahane”. (Jangan suka menepuk pantatnya perempuan, bisa mengakibatkan yang ditepuk masakannya hambar)


Kalimat di atas adalah salah satu contoh gugontuhon, sebagai nasihat orang tua kepada anak (muda) di suku Jawa. Nasihat berupa larangan menepuk pantat perempuan, karena bisa menyebabkan masakan yang dimasak perempuan itu menjadi kurang enak atau hambar.


Boleh jadi yang mendengar nasihat tak tahu hubungannya antara menepuk pantat dan masakan hambar. Tapi itulah namanya gugontuhon yang sebaiknya dipatuhi tanpa banyak bertanya.


Terhadap nasihat orangtua, diwaktu lalu (beda dengan sekarang) seorang anak tidak sopan untuk terlalu banyak bertanya. Tujuan utama adalah larangan menepuk pantat perempuan, titik.


Selain tujuan utama yang harus dipatuhi, sering nasihat itu memang ada kaitannya. Jika dianalisa secara rasional ada kaitan antara larangan dan akibatnya. Namun ada gugontuhon lainnya yang sulit ditemukan kaitannya meski sudah memeras otak, alias tidak rasional/masuk akal, misalnya:


• Aja sok lungguh ing bantal, mundhak lara wudunên. (Jangan suka duduk di atas bantal, bisa berakibat terkena bisul)

• Yèn madhang aja sok nisa, mundhak mati pitike. (Jika makan jangan tersisa, berakibat ayam peliharaannya mati)

Aja sok sarapan sêga wadhang, mundhak pêtêng atine. (Jangan suka sarapan dengan nasi wadang – nasi yang sudah lama dan dingin – berakibat pikiran menjadi gelap).


Gugontuhon sebagai ajaran orangtua sekarang ini kelihatannya sudah jarang dipakai. Saya menengarai nasihat itu jika dilanggar atau tidak dipatuhi memang tidak menyebabkan risiko yang besar/fatal, sehingga tidak dianggap penting dan mudah ditinggalkan.


Boleh jadi orangtua yang menggunakan gugontuhon itu kawatir dianggap kurang rasional atau mengajarkan sesuatu yang tak rasional, sehingga dirasa membodohi, tak sejalan dengan metoda pendidikan yang cenderung ilmiah.

Jika toh merasa nasihat/larangan itu penting, maka kalimat yang sering digunakan dalam gugontuhon dipenggal, kalimat akhir terutama yang tampak tidak rasional sebagai penyebabnya dihilangkan. Selanjutnya hanya berupa kalimat larangan dengan menjelaskan maksud larangan itu secara rasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline