Lihat ke Halaman Asli

WS Thok

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Reframing di Perjalanan

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1365243571925296516

[caption id="attachment_253078" align="aligncenter" width="638" caption="Dok Pribadi"][/caption]

Sering saya mengalami kejadian, sedang mengendarai motor atau mobil, tiba-tiba ada yang menyalip dengan “memotong” jalan dan bisa tiba-tiba berhenti atau melaju di depan mata tanpa merasa bersalah. Hati ini selain dongkol, juga berkeinginan untuk membalasnya, maka saya akan berusaha mengejar dan gantian “memotong” jalannya. Setelah keinginan saya tercapai, maka terasa puaslah hati ini, namun bila gagal hati ini makin dongkol dan penasaran saja.

Usaha yang saya lakukan untuk “mengejar” bisa cepat atau lambat tergantung pada situasi dan kondisi. Saat-saat pengejaran ini yang sebenarnya banyak mengandung risiko/bahaya baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Saya pun sadar, namun demi mengobati “hati yang luka”, maka tetap saja dilakukan.

Lama-lama saya berpikir hal ini kurang “menyehatkan” untuk suatu perjalanan. Apalagi kejadian-kejadian seperti ini tidak sekali dua kali, tetapi sering. Lihatlah kelakuan rata-rata pengemudi angkutan umum, saya harus melatih kesabaran. Kalau suasana hati sedang “cool” tentu saja bisa, tetapi kalau sedang “kemrungsung”, maka tidak bisa sabar lagi, peristiwa pengejaran terulang kembali .

Pernah saya baca di surat kabar, dua pengendara mobil saling tidak mau mengalah, saling kejar-kejaran, saling menantang dan berakhir dengan salah satu harus tertembak, sehingga urusan menjadi panjang, bisa ribuan kali lebih lama dibanding “efek mengalah” yang hanya butuh waktu kira-kira 10 detik saja.

Karena sesuatu hal, kadang saya pun memotong jalan orang, utamanyadi jalan yang tidak biasa saya lalui (kurang familiar) akibatnya saya akan dikejar dan dibalas dipotong jalan saya. Menghadapi kejadian ini kita harus sportif/ mengakui kesalahan dan memberi jalan kepada orang yang sedang dongkol tersebut.

Pada akhirnya, saya mendapatkan cara yang lebih membantu, yaitu “reframing”, yakni menyusun/ mengerangkai kembali pemikiran kita terhadap suatu kejadian, atau melihat sesuatu hal dengan sudut pandang yang lain (re-paradigm).

Andai kata terjadi kejadian di atas, reframing yang kita lakukan adalah :

“wah ...mungkin dia buru-buru karena mengantar istrinya yang akan melahirkan”, atau,

“mungkin dia terburu-buru karena mengejar pesawat yang waktunya sudah mepet”, atau,

“mungkin dia tidak ingin ketinggalan rapat yang penting sekali”, atau,

“mungkin dia seorang dokter yang harus cepat-cepat mengoperasi pasiennya yang kritis”, atau,

“mungkin dia teman kantor sendiri”, atau,

“mungkin sopir angkot tersebut dikejar setoran …kasihan!”, atau,

“mungkin (maaf) dia sedang kebelet mau cepet-cepet kekamar kecil” dll.

Setelah melakukan reframing, hati ini menjadi tenang dan bisa melupakan begitu saja peristiwa tersebut. Masalahnya adalah kadang belum sempat reframing pedal gas sudah diinjak, akhirnya terulang lagi peristiwa pengejaran tersebut.

Bila Anda mempunyai masalah seperti yang pernah saya alami, tidak ada salahnya mencoba reframing ini agar perjalanan menjadi lebih nyaman dan aman, atau mungkin Anda selama ini sudah menjalankannya, atau hanya istilahnya saja yang berbeda. (Depok, 06 April 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline