Lihat ke Halaman Asli

Putri Zahra

Mahasiswi Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga

FOMO: Dilema Generasi Z di Era Digital

Diperbarui: 18 Juni 2024   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernahkah kamu merasa muak karena terjebak dalam rutinitas? Di tengah hiruk-pikuk, di antara deadline tugas yang menumpuk, kegelisahan menghantui pikiran setiap kali kamu menatap layar ponsel. Beragam kegiatan menyenangkan di luar kampus, lingkaran pertemanan, gaya hidup mewah, dan prestasi yang diunggah oleh teman-teman tampak membanggakan. Sementara, kamu yang berusaha menyelesaikan sebuah laporan, hanya mampu menelan kekecewaan. Denting notifikasi dari media sosial seakan menjadi pengingat bahwa kamu telah melewatkan begitu banyak kesempatan. Tenang, kamu tidak menghadapi dilema ini sendirian, kok. Sebagian besar remaja rentan mengalami FOMO atau ‘Fear of Missing Out’, istilah yang populer di kalangan Generasi Z untuk menggambarkan ketakutan mereka akan ketertinggalan.

Media sosial merupakan bagian integral dari kehidupan ‘digital native’, sebuah titel unik yang melekat pada generasi yang lahir dan tumbuh di era digital sehingga mereka terbiasa mengonsumsi produk digital sejak dini. Selain memberikan ruang yang tidak terbatas untuk mengekspresikan diri dan berinteraksi dengan komunitas yang lebih luas, platform digital tersebut mewadahi mahasiswa dalam membangun citra diri (personal branding). Ironisnya, tekanan sosial yang dialami oleh Generasi Z bermula dari representasi kehidupan yang ideal di jagat maya. Mereka merasa tidak puas terhadap pencapaian yang berhasil diraih dan cenderung menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri sendiri. Mereka haus akan perhatian dan validasi, kehilangan rasa percaya diri, bahkan merasa takut dihakimi karena mengukur self-esteem berdasarkan jumlah pengikut, ‘likes’, dan ‘views’, yang dianggap mewakili status sosial.

Ketika beauty influencer yang memiliki jutaan views di TikTok membagikan review alias nge-spill racun skincare yang menjadi kunci rahasia paras cantik jelita, para gadis langsung tertarik untuk membeli produk serupa tanpa melakukan riset terlebih dahulu. Mereka membeli skincare yang direkomendasikan hanya karena ingin mengikuti tren terkini, padahal produk tersebut mungkin tidak sesuai dengan jenis kulit atau kebutuhan wajah. Nah, ilustrasi tersebut menggambarkan perilaku konsumtif, salah satu dampak negatif FOMO yang patut diwaspadai.

Selain menjadi faktor utama ‘kanker’ alias ‘kantong kering’, FOMO berisiko merenggut kebebasan finansial Generasi Z. FOMO mendorong mereka untuk mengambil keputusan keuangan yang impulsif, misalnya melakukan self-reward secara berlebihan akibat prinsip YOLO atau ‘you only live once’ (kamu hanya hidup sekali) tanpa mempertimbangkan anggaran biaya bulanan, memulai bisnis tanpa perencanaan yang matang, serta berinvestasi tanpa mempelajari bagaimana pasar keuangan beroperasi. Dalam jangka panjang, FOMO menyebabkan Generasi Z kesulitan untuk menabung dan terlilit utang pinjol (pinjaman online). Mereka tergelincir ke dalam jurang penyesalan sebab tidak mampu mengatur pengeluaran secara bijaksana.

FOMO merupakan ancaman yang serius terhadap kesejahteraan emosional dan finansial Generasi Z. Fenomena tersebut memicu kecemasan dan stres. Lantas, bagaimana strategi yang efektif untuk mengatasi FOMO? Simak beberapa tips berikut!

Pertama, mengontrol batasan waktu penggunaan gawai dan detoks media sosial dengan menonaktifkan notifikasi atau menghapus aplikasi selama periode tertentu. Kita dapat mengisi waktu luang dengan melakukan aktivitas yang produktif dan tidak melibatkan penggunaan gawai, seperti membaca buku, berolahraga, meditasi, dan merefleksikan pikiran dan perasaan yang kalut dalam bentuk tulisan (journaling) untuk mengelola emosi.

Kedua, menentukan tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang jelas dan relevan dengan nilai-nilai pribadi. Kita dapat menyusun skala prioritas dan jadwal yang terstruktur supaya berkomitmen dan merasa termotivasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jangan sampai kita mengorbankan impian karena terburu-buru berlari mengejar usia tertentu untuk memenuhi ekspektasi orang lain dan standar masyarakat yang tidak realistis.

Ketiga, membaca buku, menonton berita terkini ekonomi global, dan berkonsultasi dengan ahli di bidang keuangan untuk meningkatkan literasi finansial.

Selanjutnya, mencatat pendapatan dan pengeluaran setiap bulan, menyusun budget atau rencana anggaran biaya, serta disiplin dalam mengalokasikan pendapatan secara proporsional untuk membiayai kebutuhan, tabungan, dan investasi.

Terakhir, fokus pada kemajuan diri sendiri dan menikmati JOMO atau ‘Joy of Missing Out’. Kita sebenarnya memiliki banyak pencapaian yang patut dirayakan. Jadi, kita harus berhenti membandingkan langkah diri sendiri yang lebih lambat dari orang lain dan mulai menerapkan growth mindset dengan menghargai usaha lebih dari sekadar hasil akhir yang instan, siap menerima kritik dan kegagalan sebagai proses pembelajaran dan kesempatan untuk berkembang, pantang menyerah dalam menghadapi setiap tantangan, serta meyakini bahwa setiap orang melalui jalan yang berbeda untuk meraih keberhasilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline