Lihat ke Halaman Asli

Riris Nurbintari

Traveller, Writer, Editor

Ngalaksa di Rancakalong, Sumedang

Diperbarui: 14 Januari 2020   16:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: YogiYY via wikipedia.org

Suasana hari itu sangat meriah. Hari itu adalah hari pembukaan acara adat Ngalaksa, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten, Sumedang, Jawa Barat, di tahun 2019. Acara dimulai dengan iring-iringan pawai. Ada kuda berhias, para penggiat seni, juga masyarakat membawa benih padi. Bermulai dari depan Polsek Rancakalong, konvoi ini berakhir di panggung utama acara yang terletak di Terminal Rancakalong dengan jarak tempuh sekitar 500 meter.

Rombongan pawai ini juga berisi dengan tampilan mahkluk buruk rupa yang menari-menari dengan aura mistis yang kental. Tak ayal, sepanjang perjalanan, ada saja masyarakat yang jatuh pingsan karena kerasukan aura mistis yang menyeruak di tengah-tengah penari bertopeng.

Pawai berakhir dengan tari-tarian yang menyambut kedatangan kedatangan Pejabat Daerah yang turut serta dalam konvoi pawai tadi. Dibawakan oleh tujuh orang penari cantik yang berdandan layaknya dewi-dewi dari kayangan. Tarian ini diiringi narasi tentang sejarah masa lampau yang dibawakan dalam bahasa Sunda. Tarian pun berakhir tatkala tiga pria hadir ke panggung dan menjemput para penari untuk pergi meninggalkan panggung.

Ngalaksa merupakan kesenian tradisional yang berakar di wilayah Sumedang dan dilestarikan dengan baik, hingga saat ini. Inti dari Ngalaksa adalah membawa padi ke lumbung dan membuat Laksa sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat setempat atas segala karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Alkisah, kisaran tahun 1620, pada masa pemerintahan Suryadiwangsa, Sumedang sudah menjadi bagian dari Kerajaan Mataram. Saat itu semua daerah di Jawa Barat diperintahkan untuk mendukung pusat perbekalan Kerjaan Mataram dalam persiapan menyerang VOC di Batavia.

Akibatnya, Sumedang kehabisan bahan pangan sehingga mengalami paceklik. Hal itu membuatSumedang mengirimkan tiga belas orang utusan ke Cirebon untuk meminta dan membawa bibit padi kembali ke Sumedang. Untuk mengelabuhi penjagaan yang ketat, para utusan menyamar menjadi pengamen Tarawangsa.

Tarawangsa adalah instrumen gesek yang berdawai dua yang terbuat dari kayu (Rebab). Umumnya Tarawangsa diiringi sebuah kacapi. Di Rancakalong, Tarawangsa lazim disebut sebagai Jentreng. 

Pada acara syukuran menyambut panen (Rubuh Jarami Entep Pare), kesenian Tarawangsa ini digunakan untuk melengkapi acara panen, sebagai pengiring upacara ritual untuk mendatangkan  Dewi Sri (disebut juga Nyi Pohaci) dan juga untuk memanggil arwah-arwah leluhur, karuhun. Pada saat acara ritual berlangsung, Tarawangsa harus diasapi dengan kemenyan yang mengepul dari Parakuyan, tempat pembakaran kemenyan.

Ternyata benih padi yang berasal dari Cirebon dan kemudian ditanam di Sumedang, berhasil tumbuh dengan baik dan melimpah. Semenjak itu diputuskan bahwa Sumedang mengirimkan makanan yang sudah matang sebagai bekal perang. Masyarakat setempat pun membuat Laksa. Kebiasaan membuat Laksa setelah panen ini yang menjadi warisan leluhur dan dilestarikan hingga sekarang dalam upacara adat Ngalaksa.

Proses pembuatan Laksa untuk upacara adat Ngalaksa ini cukup rumit prosesnya. Tidak hanya sekedar membuat makanan, tetapi mengedepankan proses ritual yang kenal dengan makna dalam setiap prosesnya. Berikut ini proses pembuatan Laksa:

  • Ngadonan Nyai. Membuat adonan Laksa dengan melakukan penumbukan pertama dimulai dari tepung pada padi cikal (pertama), panengah dan bungsu (terakhir).
  • Nyinjangan Nyai. Adonan yang sudah selesai dibungkus dalam sinjang.
  • Ngagodod Nyai. Adonan laksa yang dibungkus dalam sinjang, kemudian dibawa Sesepuh untuk diantar ke tempat merebus. Adonan laksa direbus dalam air rebusan paparan combrang.
  • Turun Jimat. Laksa yang diangkat dari perebusan (Laksa Bongkok), ditiriskan. Nah ini disebut turun jimat karena Laksa tadi dibagikan kembali sebagai pamulang sambung kepada para Ketua Rurukan, aparat desa, dan semua masyarakat khususnya yang terlibat aktif dalam proses persiapan upacara adat Ngalaksa ini. Ada kepercayaan bahwa jika Laksa dikeringkan dan disimpan di lumbung, maka Nyai Pohaci akan senang sehingga hasil pertanian akan bagus hasilnya. Adapun Laksa yang dimakan bisa jadi penangkal dari berbagai musibah. Air bekas mencuci peralatan pembuat Laksa, akan mengakibatkan wajah awet muda apabila dipakai untuk mencuci wajah. Bila disiramkan ke sawah atau ladang, akan menyebabkan tanaman subur. Kalau diminumkan ke binatang ternak, akan beranak pinak dengan baik.
  • Numbuk cikal. Semua Laksa Bongkok yang sudah matang dari padi cikal dibuka dari daun pembungkusnya, lalu disatukan. Setelah itu ditumbuk sampai merata di dalam dulang.
  • Ngaleer. Setelah ditumbuk dan lumat, adonan di letakkan di atas papan yang beralas daun pisang yang sudah diolesi minyak kelapa. Setelah adonan lembut, dibentuk lonjong dan dipotong jadi enam bagian.
  • Membuat orok. Lima potong bagian dibentuk jadi orok, satu bagian disisihkan menjadi saksi. Potongan ulenan dibuat menyerupaio bayi. Banyak ibu-ibu yang mengerjakan bagian ini dengan penuh keharuan.
  • Nyepitan Nyai atau mengkhitan Nyai. Jambangan yang terdiri dari titihan dan cacadan, digunakan sebagai alat khitan Nyai. Sebelum dimulai, juru ijab mengucapkan ijab Kabul untuk meminta ijin kepada Dewi Sri karena tubuhnya akan ditekan atau disepitan. Setelah ijab, orok dimasukkan ke dalam titihan berlubang, kemudian keluar lembaran-lembaran Laksa yang menyerupai mie.
  • Membuat Laksa. Lembaran-lembaran laksa mentah yang menyerupai mie, ditampung dengan ayakan dan direbus di dalam tungku panas. Saat matang, Laksa akan menyembul dari dalam air yang mendidih. Sontak semua orang berteriak bahagia dan berkata, " Geulis, geulis, geulis!" Lembaran-lembaran laksa yang telah matang diambil untuk dihurip. Sisa laksa yang masih dalam dandang, akan disimpan.
  • Ngahurip. Merupakan proses terakhir dalam membuat Laksa. Lembaran-lembaran Laksa diangkat dari air rebusan. Yang istimewa, Laksa ini diperlakukan seperti ngahurip bayi. Seseorang sesepuh laki-laki meminang dan medoakan Laksa yang dialasi selembar daun yang lebar, lalu diserahkan kepada sesepuh perempuan yang bertindak sebagai dukun beranak dan ikut mendoakan selayaknya bayi yang bari terlahir dari kandungan. Kemudian prosesi Ngalaksa ini berakhir dengan pidato dengan bahasa lokal yang intinya berupa nasihat-nasihat agar kita senantiasa meneruskan tradisi turun-temurun ini dengan kearifan.

Dahulu Ngalaksa diadakan tiap keluarga yang jadwalnya sesuai dengan jadwal bersawah. Saat ini Ngalaksa dilaksanakan setahun sekali di awal bulan Juli. Apabila bulan Juli berbarengan dengan bulan puasa, maka perayaannya dilaksanakan diundur ke satu bulan berikutnya, sesuai dengan musyawarah adat setempat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline