"Sis, wud u accomp Chhimie to MMC 3 pm? need 2 c Prof Benj dis ev", sms dari Len masuk ke ponsel saya siang itu. "Sure", langsung saya ketikkan balasan itu. Jadilah sore itu saya mengantar Chhimie, menggantikan Len yang tiba-tiba harus menemui salah satu dosen kami. Menemani ke dokter, memotong rambut hingga mengajarkan pelajaran yang sulit, merupakan hal-hal yang tak segan kami lakukan bagi rekan lain. Jika sore itu saya menolong Chhimie, rekan dari Bhutan, mungkin di saat lain saya atau ada teman lain yang memerlukan uluran tangan Chhimie. Tinggal di asrama menjadikan kami terbiasa hidup tolong menolong.
Saat itu saya, bersama 40 rekan lain dari 17 negara Asia, tengah mengikuti program Master in Development Management di Asian Institute of Management, Manila, selama 11 bulan. Masa yang tidak terlalu panjang, untuk menuntaskan program strata-2, namun juga bukan masa yang pendek untuk berada jauh dari keluarga. Di sekolah ini, kami seperti satu keluarga baru, berinteraksi setiap hari, berbagi cerita tawa, atau kadang juga marah dan air mata...
Ya, air mata, karena program yang kami ikuti lumayan padat -untuk tidak menyebutnya 'berat'. Terbagi dalam 3 modul @ 12 minggu, ada 4 kelas setiap harinya mulai pukul 8 pagi sd 17 sore. Kuliah setiap hari, kecuali Minggu. Hari Sabtu seringkali diisi tes atau WAC -'written analysis case'. Jadi, terbayang hari-hari kami yang hanya berada di seputar kelas, perpustakaan, kamar dan dapur asrama atau kantin.
Menggunakan metode kasus, setiap hari di kelas dosen hanya akan membuka dengan pertanyaaan, "Who wants to open the case?", disambutlah pertanyaan itu dengan acungan telunjuk kami, meminta giliran berbicara. Setiap selesai satu komentar, akan diteruskan dengan tanggapan mahasiswa lain. Dosen berfungsi sebagai fasilitator yang menyimpulkan, mencatat hal-hal penting di papan tulis, juga menghubungkan dengan beberapa kasus sebelumnya. Konsekuensi metode ini, kami harus siap dengan membaca kasus yang akan dibahas, paling tidak semalam sebelumnya. Karena hanya peserta asal Filipina, India dan Australia yang sudah terbiasa menggunakan bahasa Inggris, sebagian besar kami perlu 'berjuang' untuk mengerti 20 halaman per kasus - dikalikan 2 sampai 4 mata pelajaran per harinya. Tidur lebih dari 4 jam adalah satu kemewahan yang hanya bisa dinikmati di hari Sabtu. Perjuangan membaca masih dilanjutkan di kelas, karena untuk berbicara, juga perlu keberanian dan kemampuan untuk segera menangkap komentar rekan sebelumnya.
Ada satu teman dari Yogyakarta, peserta tahun sebelumnya yang mengatakan, "Saya pikir AIM itu sekolah, ga tahunya... neraka! But I miss my time there... " katanya buru-buru menambahkan. Kebetulan, cerita 'heboh' tadi tak terlalu asing bagi saya, karena adik dan suami saya pernah bersekolah disana. Berbeda dengan program manajemen pembangunan yang saya ikuti, keduanya mengikuti program manajemen bisnis. Tentunya nuansa 'persaingan' di antara mahasiswa program bisnis lebih terasa dibanding dengan program saya dengan peserta yang berasal dari lembaga swadaya masyarakat, pegawai pemerintah, juga angkatan bersenjata. Salah satu teman saya, kolonel marinir Filipina. Teman lain, kepala dinas di Gujarat ...betul sekali, itu salah satu provinsi di India, tempat asal pedagang yang membawa Islam masuk ke Indonesia, dahulu kala. lalu ada rekan dari Nepal, Mongolia, Vietnam, Laos, Kamboja, Pakistan , Thailand, Myanmar, Bangladesh, Srilanka, Cina, juga.... Australia dan Timor Leste.
Di program inilah teman India dan Pakistan bisa berbagi tawa - sesuatu yang akan sulit mereka lakukan bila bertemu di negara masing-masing. Juga tawa canda mantan aktivis 'people power' yang berperan menurunkan Marcos, dengan polisi yang dulu sempat membubarkan demonya. Atau Kamboja yang memendam rasa tidak puas kepada Vietnam karena alasan perbatasan, untuk hal yang sama antara Vietnam dengan Cina. Lalu bagaimana dengan Timor Leste dan Indonesia? Pancingan beberapa teman di kelas saat diskusi kasus Timor Leste tidak berhasil menaikkan emosi kami ....
Yang paling menarik saat bersekolah disini, kami 'dipaksa' untuk lulus tepat waktu. Jadi saat masa penulisan tesis, yang masih berbarengan dengan perkuliahan seperti biasa, kami mendapat jadwal kapan harus berkonsultasi dengan pembimbing, kapan menyerahkan draft setiap bab, presentasi, sidang pertama, revisi, sampai ke sidang akhir. Tak ada cerita pembimbing yang sulit ditemui atau draft yang belum dibaca. Prof. Guiza, pembimbing saya bahkan sangat kooperatif. Setelah penilaian akhir dilakukan, beliau menelepon salah satu alumni program untuk membantu mengoreksi penggunaan bahasa dalam tesis saya. 'So, you will be proud to show it to your son", begitu komentarnya.
Kini setelah 6 bulan berlalu, yang tersisa hanyalah kenangan tawa. Canda kami saat pergi ke berbagai tempat di Filipina, menonton film di Greenbelt, Ayala Center yang terletak di seberang kampus kami. Juga saat pk 2 pagi, mendinginkan kepala dengan membeli eskrim Mc sundae... Semoga, janji kami untuk berkumpul lagi sambil menjadi supporter di SEA Games Myanmar tahun depan, bisa terwujud!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H