Lihat ke Halaman Asli

<i>In Memorian<i/>, My Black

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13309529561641535626

sumber gambar: google.com

“bagaimana aku harus menggambarkan kesetiaanmu, mengingat semua seperti petualangan hidup yang menakjubkan. Everything with you was an adventure

Saat itu aku masih SMP waktu Black dan Leky hadir di keluarga kami. Black, si betina dengan bulu hitam dan Leky, si jantan dengan warnanya yang krem. Sewaktu gubuk kami masih reot dan ngontrak mereka sudah ada, hingga gubuk di sebelah menjadi milik kami. Black si periang yang patuh dan jinak, seperti mampu mencerna kata-kata menjadi perintah. Leky si pemarah dan lincah, sulit diatur dan pembuat masalah sepertinya kejantanan membuatnya angkuh pada saat itu. Mereka berdua biasa bermain bersama, berkejaran satu dengan lainnya.

Usia 7 bulan sudah membuat badan mereka gagah dan berotot. Dengan tipe Greater Swiss yang peka terhadap suara. Tak heran bapak mempertahankan mereka sebagai satpam setia yang menjaga rumah kami yang dikelilingi sawah dan kebun. Namun suatu ketika Leky membuat masalah, tidak mau makan dan tempramen tinggi. Akhirnya dia diberi kepada seorang kenalan untuk dipelihara, kala itu Black sedang mengasuh bayi-bayi mungilnya yang lucu-lucu.

Black, aku yang mengajarkannya berkeliling pematang sawah dan kebun. Melatihnya mengenali suara, mengenal siul dan perintah untuk menyerang sesuatu. Aku juga mengajarkannya untuk tidak pernah masuk ke dalam rumah.

Black, begitu riangnya sampai-sampai saat aku masih jauh beberapa belas meter dari rumah sudah menyambutku dengan suaranya yang menarik dan menggemaskan. Begitu patuhnya hingga tidak akan makan sebelum aku perintahkan untuk makan. Black, sedemikian setianya hingga selalu menemaniku jogging setiap subuh sampai ke kampung orang waktu aku SMA. Sedemikian senangnya menghantar aku sampai ke simpang rumah hanya untuk melepasku berangkat jualan sore waktu sekolah.

Black, yang membuat aku terharu ketika aku harus berkelana sendiri di kegelapan malam saat harus mencari sesuatu di tengah-tengah kebun sawit yang mencekam, namun dia datang beberapa saat kemudian mencariku untuk menemaniku. Waktu itu aku berniat untuk tidak pulang ke rumah, namun dengan setianya dia tidak mau pulang bahkan menjauh dariku. Aku berteduh di suatu tempat dan dia menjaga beberapa meter di depanku.

Black, yang takut memburu kelinci-kelinciku jika aku masih berada di rumah. Walau semua kelinciku habis berlarian dan tewas karena dipermainkan oleh anak-anaknya. Black, yang membuat tetangga sebelah mendatangi rumahku karena kepergok memainkan bebeknya hingga patah tulang. Black, yang akan berlari pulang jika aku bersiul kencang.

Dia masih mengenaliku walau aku jauh ke luar kota untuk melanjutkan kuliah. Sesekali aku pulang dan ternyata mimik wajahnya yang riang diikuti alunan suara dan gerakan ekornya yang menggemaskan masih sama seperti yang dulu. Dia tidak melupakan aku, mungkin menanti dengan kerinduan untuk bisa bermain dan berpetualang lagi. Hingga dia telah menjadi buyut dari generasi ke 7 anak-anaknya.

Selama 4 tahun aku kuliah dan jarang pulang, namun ingatannya tidak pudar terhadapku. Mungkin sudah 9 tahun lebih dia bersama kami, hingga penyakit tua pun menghampirinya. Mulai memutih bulunya yang dulu hitam pekat, kesadarannya pun semakin pikun. Namun demikian pun, tetap dia tak lupa dengan suara dan perintahku. “black...gimana kabarmu? Heikk...mariii...”, kata yang sering ku ucap jika pulang dan memanggilnya.

Black, yang telah melalui banyak hal bersama dengan kami, aku dan anak-anaknya. Dia pernah menjadi korban kekejian golongan yang menganggapnya najis di tempat aku tinggal, dilempar dengan celurit, dilempar dengan batu, ditembak dengan senapan, dipukul dengan balok hingga pincang beberapa hari, namun semangatnya membuat dia hidup lama. Aku dendam dengan mereka waktu itu, menganiaya binatang yang bahkan tidak mengganggu mereka. Sungguh kejam dan keji...! Tak heran mereka menjadi pembuat onar nomor satu bahkan Bumi ini. Aku mengurut dan merawatnya, sesekali aku duduk dekatnya dan mengusap-usap kepalanya sekedar memberi dukungan semangat untuk dia hidup.

Black, yang sewaktu aku wisuda masih semangat, setelah aku bekerja masih ku lihat dia berjalan tergopoh-gopoh karena usianya yang sudah tua. Hingga suatu ketika saat aku pulang ke rumah aku bertanya, “ma, si black dimana...?”, namun ternyata dia sudah tewas dan tiada lagi. Kini, hingga generasi ke 9 belum ada sesekor pun yang persis bagusnya seperti dia. Kepatuhannya, semangatnya, keanggunannya, kewaspadaannya.

Black, yang menyelamatkan rumah kami dari ular sendok, juga menyelamatkan si bapak dari serangan pasangan ular tersebut yang kemudian datang setelah yang pertama diselesaikan. Black yang sering membawa tikus tanah buruannya sebagai makanan ringannya untuk dibakar. Black yang setia mengelilingi rumah kami beberapa kali dalam satu malam setiap harinya. Black yang dengan semangatnya selalu menyambut kami dengan suaranya yang unik dan menggemaskan. Black..anjing terbaik yang pernah ku miliki.

Black (2003-2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline