Lihat ke Halaman Asli

Satu Pertanyaan yang Tak Terjawab (Kubu Jokowi)

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - Megawati Soekarnoputri saat memberikan orasi politik di hadapan ribuan kader dan simpatisan saat kampanye pilpres terakhir di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Selasa (30/6/2009). (Kompas.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi - Megawati Soekarnoputri saat memberikan orasi politik di hadapan ribuan kader dan simpatisan saat kampanye pilpres terakhir di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Selasa (30/6/2009). (Kompas.com)"][/caption] "Kenapa waktu Pak Prabowo bersama Mega, isu ini (pelanggara HAM) tidak muncul?" tanya Waketum Gerindra ngotot kepada Timses Jokowi-JK Adian Napitupulu yang coba mempermasalahkan pengusutan kasus pelanggaran HAM yang menyeret Prabowo bertahun silam. Acara rutin diskusi Indonesia Lawyer Club (ILC) jilid dua dengan tema sama seperti yang ditayangkan minggu sebelumnya, "Sudden death Jokowi-Prabowo" yang diselenggarakan TV-One itu jadi riuh-rendah, saling sahut. Demi tak mendapatkan jawaban, petinggi Partai Gerindra bertubuh besar itu pun makin menyetel volume tinggi, "Jawaab! Ayo jawaab!!" tantangnya, sebelum akhirnya Karni Ilyas, sang tuan rumah acara menghentikan debat kusir yang makin tak karuan. Tentu saja dengan kata-katanya yang khas dan diucapkan dengan tone yang berat, "Kita rehat sejenak!" Pertanyaan sama yang diajukan Fadli Zon kepada kubu Jokowi itu, sampai saat ini masih menyisakan jawaban. Tidak saja di acara debat di teve, pergumulan kata-kata di media interaktif pun masih saja pertanyaan itu tak terjawab, dan menyisakan tanya. Coba amati jejak perdebatan para komentator, ada saja pertanyaan itu, "Kenapa waktu Pak Bowo maju dengan Bu Mega isu (HAM) ini tidak muncul, dan  baru menyeruak saat Pak Bowo mencapreskan diri? Apakah ini komoditas politik?" Ada dua hal yang berbeda dalam hal ini. Pertama, adalah sikap Megawati sebagai Kepala pemerintahan saat itu dan Ketua Partai Banteng saat ini. Kedua, adalah kenyataan yang tak terbantahkan, bahwa pelanggaran HAM itu nyata, dirasakan berbagai elemen masyarakat dan menyisakan beban bagi sejarah, terus menghantui cerita Indonesia. Untuk menjawabnya, marilah kita "nyalakan mesin waktu" dan kembali jaman kerusuhan 1998. Konon, di awal Juni tahun itu, adalah masa-masa balas dendam atas kediktaktoran rezim Soeharto yang baru saja lengser keprabon. Segala elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa, politisi, aktivis dan orang-orang yang merasa terdzalimi lahir dan bathinnya, beramai-ramai menuntut untuk mengadili presiden RI kedua itu. Tapi anehnya, orang yang patut dan seharusnya melampiaskan dendam kesumat atas dzolimisasi politik dan kehidupan pribadi serta nama besar keluarganya selama puluhan tahun, malah meminta untuk tidak menghujat Soeharto. Ya, Megawati Soekarno Putri yang harus menangis di pelukan sang ayah karena hak pendidikannya "dikebiri" oleh rezim orde baru, serta hak politiknya pun disudahi rezim Soeharto, meminta masyarakat untuk tidak menghakimi Sang Jendral. Bahkan ketika Mega berkuasa, "perintah" untuk mengusut pelanggaran HAM kasus 1998 pun tak digubrisnya. Ia lebih memilih untuk memendam kasus itu dalam-dalam. Jangankan untuk kasus 1998 yang hanya sepenggal, kasus HAM yang lebih masif sepanjang kekuasaan Soeharto saja, Mega bergeming. Memaafkan? Entahlah. Yang jelas, kasus ini tidak ada di agenda presiden wanita pertama di Indonesia itu. Hingga saatnya Mega harus mencari kawan untuk maju di pemilihan presiden 2009. Karena memang tidak memilih untuk membuka borok sejarah, maka siapa pun menjadi kawan pada saat itu, termasuk pula Prabowo, komandan yang diduga mengidap "penyakit" pelanggaran HAM akut. Maka terpilihlah Prabowo menjadi cawapres Megawati untuk bertarung pada pilpres 2009, mengusung "merek" Megapro. Brrmm, brrrmmm... Waktu itu, isu pelanggaran HAM pun muncul, tapi hanya sporadis, tak banyak. Dan publik saat itu sedang terpesona dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang tinggi, besar, gagah dan ganteng--setidaknya itu kata 60% lebih pemilih. Cocoklah jadi presiden yang kedua kalinya. Bukan karena Prabowo dengan kasus pelanggaran HAM-nya. Celakanya, inilah celah yang terus digali kubu Prabowo untuk terus dikorek sekarang, supaya, kata Soetan Batoegana, "Masuk barang, tu!", sehingga kasus dugaan pelanggaran HAM menjadi clear dan hanya akan konsumsi masa lalu. Buktinya, Mega (PDIP) tidak mempermasalahkan "status" pelanggar HAM. Move on, dong... Tujuannya, Prabowo terbebas dari serangan kasus dugaan pelanggaran HAM, demi melenggang ke Medan Merdeka Utara. Ini yang menjadi polemik buat kubu PDIP saat ini, dan dijadikan langkah buat kubu Prabowo untuk menyudahi permainan. Skak mat! Tapi tidak buat para keluarga korban penculikan, peristiwa Trisakti & Semanggi, serta kerusuhan 1998. Dengan kekuatan hati, saban Kamis mengingatkan pemimpin Indonesia untuk membuka kembali tabir kebenaran pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Terus-menerus tanpa mengenal lelah berdoa, bermunajat dan berikhtiar agar kasus yang menimpa keluarga mereka terungkap, dan menjadi pelajaran, sehingga tak terjadi lagi di masa depan. Masyarakat selaku keluarga korban penculikan, penembakan dan penghilangan nyawa itulah yang terus mengingatkan ada yang lupa untuk diselesaikan. Bukan diselesaikan secara adat, dan kemudian menguap tinggal sejarah. Prabowo dan isu pelanggaran HAM-nya akan selalu "embeded", melekat, sebelum pengadilan HAM memutuskan bersalah atau tidak, sebagaimana digambarkan Taufik Basari, salah satu Timses Jokowi-JK dari Partai Nasdem, mengenai rekonsiliasi di Afrika Selatan, dalam ILC Rabu malam, 4 Juni 2014. Simpelnya, orang yang diduga melanggar HAM, diadili oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dari pengadilan itu bisa dilihat apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang salah, setelah itu baru rekonsiliasi, diberi amnesti. Dari sini, setidaknya menurut Penuturan Taufik Basari, bisa disimpulkan, bukan Sekretariat Negara yang memberikan justifikasi atas kasus dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan  Prabowo, sebagaimana yang selama ini digunakan sebagai "ijazah" atas kelulusan Prabowo dari dugaan kasus tersebut. Lalu, bagaimana menjawab pertanyaan, kenapa Megawati memilih Prabowo untuk menjadi Cawapres untuk maju pada 2009? Bukankah itu sebuah pengakuan bagi Prabowo, bahwa dirinya bersih dari isu pelanggaran HAM? Pertanyaan itu secara tersirat sudah terjawabkan manakala kita melihat debat pasangan capres-cawapres 2014, Senin (9/6) lalu. Dengan cerdik kubu Jokowi menempatkan Jusuf Kalla sebagai penanya mengenai kasus HAM. Kenapa? Posisi JK lebih netral dalam kasus ini. Kita tahu, Jokowi berasal dari PDIP yang jelas-jelas tersangkut "kasus Megapro 2009". Apa jadinya kalau Jokowi yang menanyakan soal kasus HAM itu kepada Prabowo? Kubu ini akan habis-habisan diserang pertanyaan ulangan, lagi dan lagi "Kenapa Megawati memilih Prabowo untuk menjadi Cawapres untuk maju pada 2009? Bukankah itu sebuah pengakuan bagi Prabowo, bahwa dirinya bersih dari isu pelanggaran HAM?" Dan penonton akan tahu apa jawabannya. Skak mat! Dengan menempatkan JK sebagai penanya, kubu Prabowo kehilangan sasaran tembak. Buktinya, setelah debat pasangan capres-cawapres, tidak ada counter mengenai pertanyaan serius ini. JK bukan sasaran tembak. Sasaran tembaknya adalah Jokowi dan PDIP. Kalau pun kemudian muncul counter atas pertanyaan itu ke JK (sayangnya tidak ada), maka dengan gampang mantan Wapres pemerintahan SBY periode pertama itu mematahkannya: "Yang mempersoalkan kasus HAM itu bukan PDIP, tetapi rakyat Indonesia. Dan saya adalah rakyat Indonesia". Skak mat! -------- Sumber : - Indonesia Lawyer Club, Episode: "Sudden Death Probowo VS Jokowi, Jilid 2",  TVone, 4 Mei 2014. - Megawati dan Prabowo Sasaran Hujatan di Facebook, Tempo.co,  6 April 2009, link: http://www.tempo.co/read/news/2009/04/06/146168555/Megawati-dan-Prabowo-Sasaran-Hujatan-di-Facebook - Hujatan dan Tuduhan Berkepanjangan, hal. 5, www.damandiri.or.id, link: www.damandiri.or.id/file/buku/bukuhmsdbab2.pdf - 250 Kali, Mereka Berdiri, Diam Melawan Lupa, Kompas.com, 15 Maret 2012, link: http://nasional.kompas.com/read/2012/03/15/10344140/250.Kali.Mereka.Berdiri.Diam.Melawan.Lupa - Debat Capres-Cawapres 2014 - Internet

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline