Lihat ke Halaman Asli

Jokowi "vs" Politik Identitas

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada pepatah yang menyatakan : " semut yang bersatu dapat menggulingkan kekuatan  seekor gajah " . Hal ini dapat dianalogikan dengan partai "gurem" = semut , dan partai "besar" = Gajah. Beragam sekali  reaksi yang muncul atas pertemuan yang digagas partai-partai "gurem" tadi malam. disebut "gurem" karena perolehan suaranya kecil antara 6- 10 % tetapi  partai-partai ini tidak bisa disepelekan begitu saja, karena bisa jadi partai " Gajah" dikalahkan oleh gabungan partai " semut" tadi.

Reaksi antusias tentu datang dari pendukung sebagian basis massa partai "gurem" . Banyak harapan ketika koalisi ini dapat diwujudkan, dan dapat mengusulkan pasangan calon capres-cawapresnya sendiri, kenapa ? karena ada anggapan Islam sebagai mayoritas memang harusnya menjadi memimpin  bukan makmun terus. Proporsi inilah yang dijadikan alasan untuk mendorong capres internalnya. Meski tidak mudah dan akan alot prosesnya, tapi harapan dan asa itu tetap ada. Koalisi dengan partai berjenis kelamin apapapun tidak pernah ada larangannya, jadi toh sah-sah saja parpol apa mau berkoalisi dengan parpol apa (koq ada yang sewot) , jika itu merupakan strategi untuk memenangkan sebuah kontestasi , apalagi ini sebuah kontestasi pucuk kepemimpinan Nasional.

Reaksi negatif dan sedikit penolakan dengan beragam alibi, juga mengemuka akibat pertemuan untuk penjajakan koalisi antar  partai "gurem". Bahkan ada yang berani menyebutnya politik penjegalan ? entah bagaimana alur logikanya sampai pada kesimpulan itu, saya sendiri susah mengerti. Apakah majunya Jokowi juga dapat dianggap menjegal Prabowo ? karena sebelum Jokowi digadang-gadang media sebagai capres "unggulan" justru popularitas dan elektabilitas Prabowo yang paling tinggi ? Atau justru karena faktor ketakutan (ini kali yang benar yaa), sehingga menghakimi aktivitas dan perjuangan pihak lain sebagai usaha untuk untuk menjegal ? bahwa dalam politik tidak ada penjegalan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Reaksi moderate, yakni merasa bahwa koalisi partai " gurem" dengan basis massa pendukung ummat Islam sudah tidak lagi relevan. Bukan waktunya  lagi memperjuangkan politik "golongan" , karena Bangsa yang majemuk / pluralism seperti Indonesia tidak akan dapat besar dengan kepemimpinan "golongan". Dibutuhkan multi partnership dengan berbagai lapisan dan seluruh golongan yang ada untuk dapat mempercepat pembangunan dan kemajuan Bangsa (masuk akal juga..). Koalisi partai "gurem" ini justru ada yang menyebutnya muncul akibat syahwat politik atau nafsu berkuasa yang tinggi para tokoh-tokoh partai " gurem"  tanpa memikirkan kepentingan Bangsa yang lebih luas.

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dan majemuk dan sejarahnya yang panjang tentu tidak dapat dikelola hanya sebagian kelompok bangsa, butuh partisipasi seluruh kelompok dan golongan yang ada. Pemilihan kepemimpinan Nasional sejatinya untuk mendapatkan pemimpin yang Istimewa, agar dapat memberi perubahan yang cepat, ke arah yang jauh lebih baik  untuk semua golongan yang eksis di Republik Indonesia. Percik-percik emosional dalam pertarungan pilpres janganlah justru membuat perpecahan dalam tubuh Bangsa ini. Terus apalah gunanya Pemilu ? jika efek yang ditimbulkannya membuat perjalanan Bangsa ini tambah buruk ( so akurlah, pandangan boleh beda tp kita tetaplah saudara sebangsa setanah air), Merdeka..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline