Lihat ke Halaman Asli

Jiwa Soeharto

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hujan membanjir di akhir September, terkenang juga duapuluh satu tahun, saya dibesarkan bersama sebuah foto yang tertempel di dinding. Saudara tentu mengenalnya. Ya, bapak itu. Kakek itu. Jendral yang memimpin indonesia selama tigapuluh dua tahun. Soeharto.

Bukan saya mengatakan diam-diam presiden kita yang sekarang memiliki banyak kesamaan dengan eyang kita itu, sama sekali bukan. Bukan saya hendak menyalahkan bahwa banjir menggila adalah akibat pemimpin yang memuja keanggunan.

Setelah gegap gempita 98 itu, yang perlahan-lahan mulai mereda, agaknya kita telah melihat suatu settlement, dimana kondisi berangsur normal. Mencapai garis datar setelah kekacauan, setelah biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama investasi yang disebut reformasi. Dalam bahasa teknis para insinyur, ini adalah kondisi steady state.

Hasilnya, KKN, yang konon kita sinis dan benci itu ternyata tetap kita saksikan dalam keseharian. Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Hantu yang pernah kita usir dengan membakar ber-ton-ton kemenyan. Namun sebagaimana buta Cakil yang selalu bangkit untuk mencegat ksatria di hutan larangan. Bahkan KKN ini lebih sakti lagi. Karena ia tidak hidup di hutan.

Adalah masyarakat dengan nilai kekeluargaan yang kental, dengan mengesampingkan apa saja.

Supaya saya tidak membuat klaim yang tanpa didasari fakta, saya menceritakan pengalaman pribadi saja. Di tahun 2010 ini, masih saja seorang kawan bercerita, bahwa ia hendak memperjuangkan istrinya untuk menjadi seorang PNS. Tidak dengan membeli soal-soal test masuk pegawai yang tersedia di toko buku, melainkan dengan bantuan kerabatnya. Yang diharapkan mempengaruhi bukan saja apakah test nya lolos atau tidak, bahkan sampai dimana istrinya itu akan ditempatkan.

Adalah ketika seseorang bisa bangga dan senang ketika, berkat kerabatnya yang pejabat tinggi, ia diistimewakan ketika berurusan dengan sebuah institusi. Ini kisah seorang kerabat yang kerja di perkapalan.

Adalah jiwa-jiwa dalam birokrasi yang merasa memiliki negara. Beberapa waktu yang lalu, istri saya dibisiki oleh koleganya: untuk mengurus surat itu, selipkan 50 ribu di dalam mapnya.

Adalah loket-loket yang masih seperti sedia kala. Ketika saya mengurus balik nama kendaraan bermotor, saya diminta 30 ribu di sebuah loket. Saya bilang, pak, uang saya terbatas. Tidak ada sebanyak itu, bagaimana kalau 15 ribu saja. Dengan muka kecut, sang petugas mengasihani dan menerima 15 ribu itu. Tanpa tanda terima, tanpa tanda tangan.

Adalah ketika perilaku korupsi tidak dianggap aneh. Ketika tetangga saya bernegosiasi dengan seorang kepala sekolah, mengenai perpindahan anaknya, dari satu sekolah ke sekolah lain. Tetangga saya berkata, sama-sama butuh. Ia butuh anaknya segera sekolah. Sekolah butuh dana untuk membeli semen. Dan guru butuh dana untuk sesuatu yang tidak ia ceritakan. Fair, katanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline