Lihat ke Halaman Asli

Azeem Amedi

Blog Pribadi

Keanggotaan DPR, Meritokrasi, dan Hak Asasi

Diperbarui: 15 Oktober 2019   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas.com

Masyarakat Indonesia kembali dibuat heboh dengan fenomena-fenomena anggota legislatif, yang sebenarnya tidak asing lagi, dengan adanya anggota-anggota yang sejatinya merupakan selebriti belaka dan anggota-anggota arogan. Nama Mulan Jameela dan Arteria Dahlan yang muncul ke permukaan, menggemparkan jagat media dan politik Indonesia karena ulah mereka. Mulan merupakan artis dan selebriti yang hanya tamatan SMA namun berhasil merangsek ke parlemen walaupun perolehan suaranya kalah dibandingkan dengan kandidat lain, sementara itu Arteria adalah tokoh senior di PDIP namun terjebak permasalahan etik pasca perseteruannya dengan Emil Salim.

Hal ini kemudian menyeret kembali persoalan mengenai kepantasan kedua orang tersebut menduduki kursi perwakilan. Melansir pernyataan Yudi Latif, bahwa demokrasi menuntut adanya meritokrasi, dapat dijalankan oleh orang-orang yang memang benar-benar memiliki prestasi. Konsep meritokrasi pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Aristotle dan Plato yang percaya bahwa sebuah negara seharusnya dipimpin oleh orang-orang yang paling pandai, paling baik dan paling berprestasi. 

Selain sebagai cara untuk menghilangkan nepotisme, hemat saya meritokrasi dapat mencegah 'lack of competence' dari para pejabat, terutama dalam konteks perwakilan rakyat, agar dapat benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat yang menjadi konstituen mereka dan mampu menambah kualitas politik hukum.

Merit ini dapat dilakukan dengan memberikan spesifikasi khusus mengenai persyaratan apa saja yang harus dipenuhi bagi para pemangku jabatan, mulai dari standar pendidikan, rekam jejak, hingga bebasnya dari pidana. Tujuannya tentu untuk memberikan kesempatan pada orang-orang yang benar-benar pantas dengan prestasi yang pasti pula, sehingga efektifitas dalam pemerintahan akan bertambah. Misalnya, menaikan standar riwayat pendidikan terakhir bagi anggota legislatif menjadi S2, dari yang semula hanya dibatasi sampai SMA.

Walaupun demikian, persoalan untuk merit ini dengan menaikan standar kepantasan muncul dari sisi hak asasi manusia. Tentu kita paham bahwa dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), khususnya pada Pasal 28D ayat (3) telah diatur bahwa setiap warga negara berhak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Tafsiran terhadap ketentuan tersebut ialah setiap warga negara berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat turut serta dalam pemerintahan, baik sebagai pejabat maupun rakyat biasa yang turut serta menyuarakan aspirasinya kepada siapapun yang mereka pilih untuk mewakilkan mereka.

Hal inilah yang lantas menjadi 'payung' untuk berlindung bagi para anggota maupun calon anggota dewan yang merumuskan mengenai syarat-syarat keanggotaan mereka di dalam UU MD3 dan UU Pemilu, berlindung di balik 'setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan'. Padahal, perlu diingat bahwa tafsirannya tidak hanya sebatas turut serta sebagai pejabat, namun juga sebagai masyarakat biasa pun juga bisa, sehingga dapat disimpulkan bahwa ketika merumuskan mengenai syarat pencalonan dan keanggotaan, ketentuan konstitusi itu ditafsirkan secara sempit.

Berdasarkan hal tersebut, meritokrasi tetap harus dijalankan agar dapat memenuhi ketentuan 'kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar'. Agar terpenuhi tujuan tersebut, maka harus dimaksimalkan pula para legislator ini. Jika hanya berlindung pada dalih hak asasi dan memperbolehkan lulusan SMA untuk mencalonkan diri dan menjadi anggota apabila terpilih, bagaimana nantinya kualitas legislasi kita? Sementara staf ahli mereka harus minimal sudah menempuh S2, hal ini tanpa adanya merit system akan menghambat transfer knowledge dari staf ahli kepada anggota dewan. 

Oleh karena itu, urgensi untuk menaikan persyaratan pendidikan terakhir anggota dewan adalah salah satu cara mencegah penurunan kualitas legislasi, karena setidaknya para perwakilan harus memiliki keahlian atau pemahaman yang komprehensif mengenai suatu ilmu, selain daripada kemudahan transfer knowledge, juga pada pendalaman isu yang hendak dilakukan pengaturan baru atau diselenggarakan perubahan pengaturan.

Selain daripada standar pendidikan, tentunya riwayat pengalaman kerja atau prestasi menjadi hal penting yang perlu diterapkan. Tidak hanya terbatas pada pengalaman eksekutif, rekam jejak legislatif pun juga perlu diperhatikan, karena akan berpengaruh pula bagaimana pengalaman tersebut dapat dibawa untuk meningkatkan kualitas legislasi, penyaluran aspirasi, dan menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Apabila tidak dibarengi hal ini, kecil harapan untuk adanya perbaikan dari kualitas kinerja lembaga perwakilan, dan tidak tersalurkannya aspirasi dengan baik.

Bagaimana dengan masalah etik? Tentu kita sulit mengukur ini dari riwayat pendidikan, karena gelar yang diraih tidak semata-mata mencerminkan etika layaknya seorang intelektual. Sosok Arteria Dahlan, meskipun berpendidikan S2 Ilmu Hukum, namun miskin etik. 

Hal ini perlu dilakukan kaderisasi yang baik di internal partai, bagaimana nanti para kader harus bersikap di depan publik, sehingga tidak hanya menyikapi isu dengan mengkajinya saja. Perlu ditetapkannya standar kaderisasi di dalam internal partai, namun perlu juga memperhatikan agar pengaturan standar tersebut tidak mengancam independensi partai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline