Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, atau singkatnya disebut sebagai BPIP, merupakan badan yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada 2017 dengan nama awal Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) di bawah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017. Secara kelembagaan, BPIP berkedudukan sebagai suatu lembaga negara auxiliary atau pembantu, yang menurut Bagir Manan adalah lembaga negara yang memiliki tugas untuk membantu melaksanakan fungsi negara secara langsung atau bertindak untuk dan atas nama negara. BPIP dibentuk dengan harapan dapat menjadi lembaga yang menunjang pembinaan ideologi Pancasila di masyarakat dan dalam ranah pemerintahan.
Seiring waktu berjalan, badan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 ini masih mengundang tanda tanya di berbagai kalangan masyarakat, perlukah badan ini dibentuk? Bagaimana cara kerja badan tersebut? Bagaimana BPIP dapat melakukan pembinaan dan luaran yang dihasilkan berupa apa? Meskipun baru berumur setahun dan menginjak akhir periode pertama Presiden Jokowi, BPIP seakan lembaga yang dilupakan.
Lembaga yang digadang-gadang menjadi awal deradikalisasi masyarakat dari paham-paham radikal yang mencoba medelegitimasi bentuk negara dan pemerintahan yang sah justru belum menunjukan 'gebrakan' yang berarti.
Tugas pokok dan fungsi dari badan tersebut perlu dikaji kembali. Pasal 3 dan 4 Perpres No. 7 Tahun 2018 secara garis besar memberikan Tupoksi berupa membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila, menyelenggarakan penyusunan pendidikan serta pelatihan ideologi Pancasila, serta memberikan rekomendasi terkait regulasi agar lebih "Pancasilais", dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Walaupun demikian -- berdasarkan kacamata warga negara biasa -- belum menyaksikan suatu eksekusi riil, yang berdampak baik secara kecil maupun masif.
Selain itu, dalam konteks urgensi pembentukan badan ini, apakah benar-benar perlu? Pandangan mengenai urgensi pembentukan ini perlu dikaji ulang, karena sejatinya Presiden dapat saja memerintahkan institusi-institusi untuk dapat lebih 'Pancasilais' dalam pendekatan mereka terhadap permasalahan yang mereka tangani, sesuai dengan tugas dan wewenang institusi masing-masing. Bentuk perintah tersebut dapat dimanifestasikan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan agar dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dengan menggunakan perangkat negara yang sudah ada pula untuk menjamin pengawasan terhadap pelaksanaan arah negara yang lebih Pancasilais dapat terwujud dengan baik, seperti dengan adanya Inspektorat Jenderal untuk mengawasi Kementerian dalam melakukan pendekatan Pancasila di setiap tindakan yang diambil.
Apabila memang badan ini benar-benar memiliki urgensi yang sangat penting sehingga keberadaannya begitu dibutuhkan, saya hormati. Kinerja institusi-institusi jika dinilai oleh masyarakat kurang memperhatikan nilai-nilai Pancasila, dan dibutuhkan lembaga yang dapat membantu mendongkrak pembinaan Pancasila dalam institusi serta masyarakat, BPIP mungkin bisa menjadi jawaban. Hanya saja, status quo BPIP seakan berjalan di tempat dan belum terkesan sebagai tameng dari kearifan lokal. Menuju akhir periode pertama Presiden Joko Widodo, BPIP dan Presiden serta badan-badan terkait perlu berbenah untuk masa jabatan selanjutnya. Program pengembangan SDM digaungkan dan BPIP tentu memanggul beban yang tak mudah menyongsong periode tersebut, sehingga sistem kerja badan tersebut perlu dioptimalisasi untuk meyakinkan publik bahwa badan ini dibentuk karena memang ada suatu urgensi konkret dan sudah ada solusi yang dipersiapkan dari permasalahan-permasalahan mengenai ideologi yang ada di negeri ini.
BPIP diharapkan tidak hanya memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada badan negara lain untuk membina ideologi Pancasila di lingkungan badan tersebut, atau hanya memberikan penghargaan kepada insan dan instansi yang mampu membina ideologi Pancasila dengan baik di lingkungan mereka, tetapi juga harus memiliki produk nyata yang dapat berefek baik secara kecil maupun masif di masyarakat. Salah satunya seperti membuat acara pembinaan yang dikemas dengan kekinian sehingga mampu menarik antusiasme masyarakat awam agar belajar mengenai Pancasila lebih dalam.
Penggalakan dalam dunia pendidikan untuk mengedukasi masyarakat juga seharusnya tidak sebatas memberikan rekomendasi terkait penyusunan kurikulum saja, tetapi memberikan ruang riset kepada akademisi agar dapat menggali nilai-nilai Pancasila, sehingga dari riset tersebut dapat tercipta luaran yang mampu mengedukasi masyarakat akan apa itu sebenarnya Pancasila, seperti apa hal-hal yang Pancasilais itu, esensi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta banyak lagi yang sebenarnya dapat dilakukan BPIP dengan tugas dan wewenang yang diberikan saat ini dalam rangka mencapai tujuan pelestarian ideologi bangsa, tanpa menjadi lembaga yang 'redundant' atau tidak berfungsi.
Besar harapan, BPIP dapat benar-benar dimaksimalkan sebagai badan yang benar-benar mampu 'living up to their name', untuk membina ideologi Pancasila kepada masyarakat. Menyongsong akhir periode pertama dan menuju awal periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan visi untuk terwujudnya SDM unggul, tentu tidak lepas dengan misi menjadikan SDM tersebut memiliki jiwa Pancasila, sehingga BPIP memegang salah satu peran kunci dalam visi misi pemerintahan selanjutnya.
Referensi:
Bagir Manan. "Lembaga-Lembaga di Dalam dan di Luar Undang-Undang Dasar 1945", dimuat dalam Interaksi Konstitusi dan Politik : Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri. Bandung: Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. 2016.