Kompasiana merupakan salah satu wadah dunia maya tempat berkumpulnya banyak orang. Di sini kita bisa menuangkan gagasan sekaligus berinteraksi dengan orang lain. Namun dengan beragamnya latar belakang penghuni Kompasiana dinamika interaksi yang terjadi kadang bisa berlangsung hangat bahkan cenderung panas. Coba saja Anda berkunjung ke kolom-kolom yang berpotensi mengundang polemik seperti agama, politik, dan belakangan bola serta perhatikan interaksi yang terjadi di sana, kadang hanya bisa membuat kita mengelus dada. Hal ini tak terlepas dari latar belakang karakter masing-masing sahabat Kompasianer yang juga beraneka macam.
Sebuah perbedaan sebenarnya adalah hal yang wajar, lumrah dan manusiawi. Kapasitas otak manusia yang terbatas itu tidak mungkin menampung dan mengolah fakta-fakta di sekitar kita yang luas kemungkinannya hampir tak terbatas. Manusia memang diciptakan berbeda-beda agar bisa saling mengenal (belajar) satu sama lain. Karena itu, perbedaan juga merupakan rahmat bagi kita. Dengan adanya perbedaan kita berkesempatan memperluas wawasan sehingga pikiran dan pandangan kita tidak jumud dan sempit.
Namun demikian ada saja rupanya orang yang tidak siap dengan adanya perbedaan, dikarenakan oleh berbagai macam faktor. Pihak yang berseberangan atau berbeda akan selalu diposisikan sebagai lawan. Dan bila pihak yang berbeda dengannya kebetulan memberikan kritik kepadanya, sepositif apapun dan semembangun apapun kritiknya, hal ini akan disikapi sebagai sebuah serangan terhadap pribadinya yang dianggap bisa menjatuhkan haga dirinya. Biasanya, orang seperti ini lalu akan membuat mekanisme pertahanan yang membabibuta dan kadang terkesan konyol dan tidak rasional.
Sahabat Kompasianer, pernahkah Anda menjumpai orang-orang yang seperti ini di Kompasiana kita tercinta ini? Pasti ada dan bahkan banyak mungkin. Pasti Anda sering menjumpai satu atau dua sahabat Kompasianer yang dalam berinteraksi dengan orang lain karakternya seperti yang sudah disebutkan di atas. Orang seperti ini oleh Dr. Taufiq Pasiak, seorang pakar neurosains dari Manado, dalam bukunya Brain Management for Self Improvement disebutsebagai orang yang mengalami sesat pikir.
Apa itu sesat pikir, Dr. Pasiak menjelaskan ada enam pola sesat pikir yang umum dijumpai pada sebagian besar orang berdasarkan latar belakang masing-masing. Dan alih-alih digunakan untuk menghakimi orang lain mari kita berintrospeksi ke dalam diri kita masing-masing jangan-jangan justru kitalah sebenarnya yang mudah terjebak ke dalam pola sesat pikir itu. Sering sekali kuman di seberang lautan nampak sedang gajah di pelupuk mata sendiri justru tidak kelihatan. Berikut ini keenam pola sesat pikir sebagaimana yang diuraikan Dr. Taufiq Pasiak dalam buku Brain Management for Self Improvement.
Pertama, barangkali kita adalah seorang yang menguasai suatu bidang ilmu, suatu gagasan atau konsep suatu pengetahuan. Maka, kita cenderung merasa paling tahu dan paling benar. Kita sering menyamakan pendapat kita sebagai seorang ahli dengan kebenaran itu sendiri. Ringkasnya, kita akan mengatakan: "Kebenaran adalah saya dan saya adalah kebenaran." Kita sering lupa bahwa sekalipun kepakaran seseorang itu lahir dari pendidikan dan pengalaman yang panjang, ada juga peluang orang lain untuk memiliki kepakaran yang sama dengan kita dengan pengalaman yang berbeda. Bukan kita saja satu-satunya yang pantas menjadi rujukan. Orang lain pun bisa juga menjadi rujukan.
Inilah pola sesat pikir yang disebut dengan egocentric righteousness. Sesat pikir model ini membuat kita selalu merasa lebih superior dibandingkan dengan orang lain. Kita selalu menutup telinga dari pendapat lain. Umumnya sesat pikir ini terjadi di lingkungan akademik yang dihuni orang-orang yang berpendidikan tinggi. Jika di lingkungan birokrasi, sesat pikir ini bisa kita jumpai dalam bentuk arogansi sektoral.
Kedua, kita cenderung tidak mau mempelajari, mencari tahu, atau menambah wawasan mengenai hal-hal lain yang bertentangan dengan apa yang kita yakini. Jika kita seorang nasionalis sekuler tulen misalnya, barangkali kita tidak akan mau tahu atau mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kapitalisme global, komunisme, atau bahkan mungkin syariah. Begitu pula sebaliknya. Dalam kegiatan politik, jika kita seorang partisan dan tokoh dari partai tertentu yang memakai lambang warna merah, atau biru, atau hijau, kita akan cenderung tidak suka warna kuning atau hitam, atau abu-abu. Begitu juga sebaliknya. Setiap warna yang bertentangan dengan milik kita akan dianggap tidak baik atau tidak relevan dan pasti salah. Hal seperti itu pulalah mungkin yang terjadi antara yang pro poligami dan anti poligami, yang Islam, Kristen, Hindu, Budha, Atheis, dsb. Sesat pikir model ini disebut dengan egocentric myopia.
Ketiga, ini barangkali pola sesat pikir yang seringkali terjadi pada kita, namanya egocentric memory. Saking kuatnya memory dalam otak kita yang mendukung gagasan tertentu, seringkali hal-hal yang salah malah mendapatkan justifikasi atau pembenaran tanpa kita sadari. Pikiran kita kehilangan kontrol.
Keempat, kita cenderung tidak mempercayai fakta atau data yang menggugat apa yang sudah kita percayai sebelumnya sekalipun fakta itu akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika kita sudah percaya tanpa reserve bahwa tokoh yang kita puja itu orang baik, maka sevalid apapun data yang diberikan tentang keburukannya tidak akan mengubah pendirian kita. Contoh, ketika seorang ibu guru sudah percaya bahwa muridnya yang bernama si A itu anak yang pintar dan manis, data dan fakta bahwa si A menyontek saat ujian tidak akan dipercayainya. Inilah pola sesat pikir yang disebut dengan egocentric blindness. Kita dibutakan oleh kepercayaan membabibuta kita sehingga tidak bisa melihat hal-hal baru yang menggoyahkan kepercayaan dan keyakinan kita.