Lihat ke Halaman Asli

Papua : Indonesiakah Saya?

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu ketika saya berjalan-jalan untuk sekedar minum kopi dengan beberapa teman kampus saya di salah satu mall besar di Surakarta. Tidak ada yang aneh pada awalnya, sampai ada seorang anak kecil bersama ibunya menunjuk saya ketika berpapasan di koridor mall tersebut. Teman saya yang melihat kelakuan anak kecil tersebut dengan spontan merangkul saya sambil mengusap punggung saya, entah maksudnya apa tapi saya pikir teman saya mencoba untuk menenangkan saya. Sejujurnya, saya tidak bisa menyalahkan anak kecil tersebut. Secara fisik, saya memang berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Kulit saya lebih hitam dan rambut saya lebih keriting. Perbedaan yang mencolok menurut saya. Lalu kemudian saya berfikir…

“Indonesiakah saya?”

Dalam proses menelaah pertanyaan saya sendiri tersebut, saya teringat kutipan “History Is A People’s Memory, and Without Memory, Man is Demoted To The Lower Animal”, begitu kata Malcom X, seorang pejuang Hak Asasi manusia dari kaum Afrika-Amerika dalam sebuah pidatonya. Sebuah penggambaran yang nyata terhadap pentingnya pemahaman tentang sejarah, bukan hanya sebagai ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai tuntunan hidup agar manusia tidak terlepas dari akar yang melandasi kehidupannya ibarat kata orang tua “Agar Kacang tak lupa akan kulitnya”. Oleh karena itu saya mencoba memutar kembali waktu, untuk mencoba menjawab pertanyaan saya sendiri tersebut.

Dalam sejarahnya, Kepulauan papua tidak pernah dikenal oleh dunia luar, atau paling tidak belum pernah termaktub dalam catatan manapun. Kepulauan Papua baru dikenal pada abad ke 6 atau 7 setelah Masehi oleh pedagang Persia dan Gujarat dengan sebuta Dwi Panta dan Samudranta yang berarti Ujung Samudera atau ujung Lautan. Pedagang China mengenalnya sebagai Tungki, seorang musafir Cina bernama Chau Yu Kua menulis bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat satu daerah bernama Tung-ki yang merupakan pulau besar diujung kepulauan Maluku. Dikenalnya Papua dengan nama Dwi Panta, Samudranta dan Tungki atau Janggi adalah bagian dari proses ekspansi perdagangan Kerajaan Sriwijaya yang ketika itu pengaruhnya sudah sampai ke Pulau Papua.

Papua mulai dikenal oleh bangsa eropa ketika Papua berada dalam pengaruh Kesultanan Tidore. Selain tertarik untuk mencari burung-burung Papua yang sudah terkenal hingga China ketika dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, Sultan Tidore juga meminta bantuan orang-orang Papua untuk berperang dengan bangsa Eropa yang ketika itu mulai memasuki wilayah Tidore, oleh karena itu nama Papua banyak disebutkan dalam catatan para Eksplorer Portugis pada abad ke 14 seperti dalam catatan Antonio d’Arbau dan Fransesci Serano menyebutnya “Os Papuas” atau juga llha de Papo, Don Jorge de Menetes menyebutnya sebagai Papua. Nama Papua juga hadir dalam catatan Antonio Figetta, juru tulis pelayaran Magelhaens yang mengelilingi dunia. Nama Papua ini diketahui Figafetta saat ia singgah di Kerajaan Tidore, yang ketika itu berkuasa atas Pulau Papua.

Bangsa-bangsa Eropa mulai tertarik untuk menjajah Pulau Papua ketika Pelaut Spanyaol bernama Alvaro De Saavedra melihat pasir Kuarsa bercampur Emas di Papua, sehingga ia memberi nama Papua sebagai Isla Del Oro. Bangsa Inggris, Jerman dan Belanda berusaha menaklukan Kesultanan Tidore yang ketika itu masih berpengaruh terhadap Pulau Papua, akhirnya pada 1828 pemerintah kolonialis Belanda mengklaim Papua sebagai daerah jajahannya. Semenjak itu lahirlah perbatasan Hindia Belanda menurut garis 141 derajat utara Selatan di pertengahan pulau Papua. Garis itu menjadi perbatasan Hindia Belanda yang paling Timur.

Dari berabad-abad yang lalu sudah terdapat fakta bahwa terdapat hubungan yang bersifat politis, Kultural, Religi dan Sosial antara masyarakat di Pulau Papua dengan masyarakat lain di kepulauan Nusantara. Kulit saya memang lebih hitam dan rambut saya lebih keriting, tapi apakah dengan hal tersebut membedakan kami dengan manusia Indonesia lainnya? Saya rasa tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline