Matahari pagi di kota Mekah bersinar sangat terang dan udaranya terasa sejuk. Di pelataran Masjidil Haram, aku memandangi wajah Mamaku yang nampak belum merasa kecapaian setelah menjalankan ritual ibadah haji sejak malam hari sampai di pagi hari itu. Kami lalu menghabiskan waktu di pagi hari itu dengan beriktikaf di dalam masjid, dengan terus berdoa serta diselingi dengan membaca Alquran dan kadang-kadang diselingi dengan beristirahat.
Semalam kami memang telah tiba di Mekah dan berada di Masjidil Haram sejak pukul satu dini hari untuk melaksanakan Tawaf Qudum dengan mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh putaran dan melaksanakan Sai dengan berjalan kaki dari bukit Safa ke bukit Marwa pulang pergi sebanyak tujuh kali pula, dilanjutkan dengan salat Malam lalu disambung dengan melaksanakan salat Subuh berjamaah.
Setelah beristirahat sejenak lalu melaksanakan salat Duha pada pukul delapan pagi, sambil menatapku Mamaku membuka suara pagi itu, masih di pelataran Masjidil Haram yang langsung berhadapan dengan Kakbah, "Kau tahu, Ning, betapa Tuhan Maha Besar. Kita diberi rezeki untuk melaksanakan ibadah haji tahun ini dengan lancar".
"Ya Ma, alhamdulillah," jawabku penuh syukur.
"Mama teringat Kakekmu. Setelah perjalanan pertama kita ke Madinah beberapa hari lalu sampai kemarin, lalu dilanjutkan dengan Mekah saat ini, Mama baru sadar bahwa cerita Kakekmu sewaktu Mama masih kecil benar adanya. Kau tahu, sebelum Mama tidur, Kakek selalu "mendongeng" tentang kota Mekah dan juga kota Madinah.
Dan sampai akhir hayatnya Kakekmu belum pernah sempat menunaikan ibadah haji tetapi yang diceritakannya semua benar! Kakekmu sampai tahu berapa jumlah tiang di Raudah, di dalam masjid Nabawi Madinah, dan kisah-kisah sejarah seperti kisah Nabi Ismail dan ibunya Siti Hajar yang ditinggal di padang gersang oleh Nabi Ibrahim hingga munculnya air Zam-zam. Ketika itu Mama selalu takjub jika mendengar cerita-cerita Kakekmu tentang Tanah Suci. Dan kini Mama dan Kamu bisa mengalaminya sendiri. Jangan lupa doakan Kakek dan Nenekmu, ya," ujar Mamaku mengingatkan.
***
Kisah perjalanan ibadah hajiku dan Mamaku di atas bisa terwujud adalah semua berawal dari kisah masa kecil Mamaku yang tinggal di sebuah kampung kecil dekat dengan kota Raha, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara di tahun 1953.
Saat itu kampung Raha sangat gersang di bulan September. Mamaku saat itu baru berumur delapan tahun. Ia berjalan tertunduk dan beriringan bersama anggota keluarganya setelah acara penguburan jenazah Ibunya sore itu. Airmata Mamaku jatuh diam-diam. Kampung Raha terasa begitu sepi. Daun-daun pohon jati yang berjejer di sebelah kiri dan kanan Mamaku berjatuhan serasa turut berduka mengiringi langkah pulangnya yang disertai juga oleh rombongan orang kampung.
Dan malam itu Mamaku menangis lagi. Sangat pelan, tertahan. Hidupnya kini telah lengkap sebagai sebatang kara; seorang yatim piatu. Setelah ditinggal oleh Bapaknya dua tahun yang lalu saat ia baru berumur enam tahun, kini Ibunya pun telah meninggalkannya beserta dua orang saudaranya yang lain, yaitu paman Ruwad yang saat itu berumur sepuluh tahun dan adiknya, tante Ria yang saat itu masih sangat belia, berusia enam tahun.