Lihat ke Halaman Asli

Harapan Untuk Cicit: Belajar dari Si Cacat

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di sebuah dusun kecil yang bernama dusun Tanjung Pinang nan jauh dari keramaian kota, dengan jejeran rumah panggung yang tinggi sebagai ciri khas rumah adat di Sumatera Selatan umumnya, pemandangan rerumputan yang menghijau. Di sana pula tempat hidup seorang wanita cacat yang telah selama hidupnya hanya untuk bertahan bertahan dan bertahan, berjuang berjuang dan berjuang serta ikhlas ihklas dan tetap ihklas.

* Senyuman ikhlas di balik ketabahan *

Pagi ini seperti biasanya cerah dan secangkir teh hangat selalu bersedia menghampiri tenggorokan mengisi keringnya mulut setelah beberapa jam menyelesaikan kegiatan rutin di malam hari bersama sang bantal dan tuan kasur. Aku yang waktu itu sengaja menyempatkan hari liburan untuk berkunjung ke rumah nenek cukup menikmati indahnya pagi di dusun tercinta nenek. Seketika pandangan terarahkan pada sesosok wanita setengah dewasa yang terengah-engah keletihan setelah menyusuri dinginnya lantai rumah yang ditempatinya bersama nenek. Begitu pahit kehidupanmu cit, pernahkah engkau mengeluh untuk menuntut kelebihan kepada Tuhan cit? tanyaku dalam hati.

Bagaimana engkau mampu menjalaninya selama berpuluh-puluh tahun ini. Inikah kelebihan yang diberikan tuhan kepadamu?sebuah ketabahan yang tiada batasnya. Terenyuh hatiku melihat dikala engkau kesusahan untuk makan , aroma iba selalu tercium dari tubuhku tatkala melihat engkau mengesot-ngesot dilantai dengan sekuat tenaga untuk mendatangi ruang tamu, sungguh rahasia apa yang tersimpan dibalik semua ini. Hanya sebuah harapan yang mampu aku transfer untuk memberi makna bahwa berartinya hidupmu. Banyak insan yang sempurna di dunia tapi hati penuh dengan kekurangan. Cinta ini untukmu cit, sebuah ungkapan yang tak tau harus bagaimana aku menyampaikannya. Mengertikah ia dengan ucapanku? Pahamkah dia maksud senyumku? Tak jarang aku mendengar kata-kata yang kau ucapkan, “umak, bak, anto, eyek, tedi, eik-eik, tak uit”. Yah, hanya kata-kata itu yang keseringan mampu engkau ucapkan selama umur hidupmu bahkan dikala umurmu yang sekarang sudah tidak muda lagi.

Tak henti-henti pula agaknya kemalanganmu ketika engkau harus dihadapkan dengan himpitan ekonomi dalam keluarga yang kau juga harus terlibat di dalamnya menikmati kesusahan itu. Tak jarang pula ada orang yang jijik ketika mencium aroma tubuhmu yang tak enak untuk dirasai baunya itu.

* Sebuah pelajaran berharga *

Sesungguhnya jika mereka tahu bahwa mengenalmu adalah anugrah terbesar dalam hidup. Karena disanalah sebuah pelajaran hidup tergambar, sebuah kesempurnaan nyata yang tidak dimiliki oleh setiap orang ketika melihat tabahnya dan putihnya hatimu itu. Sebuah harapan besar bagi orang yang fisiknya melebihi dirimu untuk tidak mengeluhkan nasibnya karena tersadar bahwa di bawah masih banyak yang kurang dari dia.

Apa sebenarnya yang membuatmu tetap bertahan hidup cit, emas model apakah yang sekarang tertanam di hatimu sehingga tak dapat menggoyahkan semangatmu untuk tetap menjalani hidup walaupun pahitnya hidup yang engkau hadapi. Pernahkah engkau berfikir untuk berjalan dan berlari layaknya makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya, insan yang tiada pernah puas yang walaupun demikian banyak kelebihan yang dititipkan Tuhan untuk mereka.

Sebuah kata-kata yang kiranya dapat engkau dengar dan engkau mengerti adalah hidup itu indah. Walau bagaimanapun keadaanmu tetap saja hidup itu indah bagimu, mentari siang dan bulan malam sepertinya telah engkau rasa puas untuk dilihat tanpa melihat keindahan yang lainnya lagi.

Bagimu hidup hanyalah menanti siang setelah malam, menanti malam setelah siang. Menunggu makanan setelah merasai lapar, menanti kenyang setelah makan. Tersenyum ramah dikala mendengar canda dan mendapati tangisan jikalau bersedih. Itu, itu saja hidup bagimu karena cacat fisikmu yang engkau derita semua serba terbatas. Namun seperti bahagia pula perjalanan hidupmu walaupun hanya dengan semua kekurangan itu yang engkau miliki.

Banyak pembelajaran bagi manusia lain jika berjumpa denganmu cit, pengaruhmu bahkan mampu menyaingi sosok Hitler yang mampu memberikan ideologinya dengan memekik di keramaian. Tetapi dengan susahnya engkau berbicara dengan hanya diamnya kau namun selalu berusaha untuk menggerakkan tubuhmu walaupun sulit untuk sesuatu yang ingin engkau ambil tetapi lebih dari ideologi yang didapatkan seseorang namun nilai moral dan nilai keikhlasan.

Sejenak terlihat olehku tempat-tempat yang kau tuju sangat mudah untuk ditebak. Dapur, ruang tamu, dapur ruang tamu, dapur ruang tamu. Hanya itulah tempat sejauh-jauhnya tempat yang pernah engkau kunjungi semasa hidupmu hingga sekarang ini. Masihkah berbahagia seorang tua yang dengan ikhlas pula merawatmu, yang dengan kemampuan sedikitnya ia selalu luangkan waktu untuk menyuapimu nasi, menyuruhmu tidur dan mengurut badanmu. Dialah sosok yang paling kau kenangi kau panggili dan bahkan ketika kesal kau teriaki. Maaaaaaaakkkkk........itulah yang kerap kau panggilkan untuk insan mulia yang telah ikhlas merawatmu itu.

“We..kesian ok dengan cicit, nye dektau nek ngapelah.”. Demikian kata seorang yang berasal dari Pulau Bangka ketika melihat pemandangan itu. dikala anak-anak kecil berlarian karena takut melihat sosoknya dengan mengesot-esot di lantai, ketika anak-anak kecil mulai memberi sedikit ejekan sebagai pelengkap kemalangannya, disanalah senyumnya terpancar. Sungguh sekali lagi sebuah ketabahan yang tiada muaranya.

* Sebuah bingkisan doa *

Tangisan bagimu adalah suatu kekurangan hidup dan senyuman adalah sebuah anugrah Tuhan. Yakinku bahwa ada sebuah harapan yang ingin kau sampaikan lewat ikhlasnya senyummu, ada sebuah harapan yang ingin kau lakukan sendiri lewat esotan lembutmu di lantai.

Pagi itu cicit bangun lebih awal dan seperti biasanya suara yang kuat namun kurang begitu jelas dilontarkannya. “maaaaaakk.....umaaaakkk...” teriaknya. Terdengar suara lembut menyambut teriakan itu, “iyo nak... ngapo...umak di siko” jawab perempuan tua yang kerap disapa mak oleh cicit. “umaaakkkk...maakkk...” terdengar lagi panggilan dari cicit. “iyo sayangku..ngapo..., kagi makan yo nak..” kembali jawaban yang dilontarkan oleh perempuan yang tidak muda lagi itu.

Menjelang jamnya pun seperti biasanya cicit disuapi makan oleh orang yang kerap disapanya mak itu. Tanpa henti dan telah menjadi rutinitas setiap harinya seperti itulah kira-kira gambarannya. Mak yang merawat cicit dengan usia yang renta itu pun tanpa bosannya menghadapi rutinitas kesehariaanya itu bersama cicit salah satu anaknya tercinta.

Sebuah pelajaran juga yang hampir lupa aku torehkan dalam tulisan ini. Alangkah sikap pekerja kerasnya yang digambarkan cicit melalui jalan kepahitan hidupnya, yang walaupun susahnya untuk mengesot di lantai demi mendapati sebuah dapur atau ruang tamu, namun tiada pernah ia mengeluh dan meminta bantuan seseorang untuk menggiringnya ke tempat tujuannya. Yang walaupun debu hitam di lutut senatiasa menghinggapinya dikala ia menarik badannya dengan tangan kemudian disusul dengan kaki itu namun tiada pula terdengar olehku tangisan keputusasaan darinya. Sebuah majas hiperbola namun memang patut untuk disampaikan kepadamu adalah “kamu berhati emas yang paling mahal yang adanya emas itu cuma di surga yang khusus dibuatkan Tuhan untuk orang istimewa”.

Berbahagialah selalu cit, semoga yang terbaik senantiasa menjamahmu dan semoga kesehatan senantiasa menghinggapimu. Terimakasih sang penginspirasi, semoga cicit-cicit lainnya juga dapat dan selalu berhati emas sepertimu.

Inspired from Cicit, seorang cacat berhati emas

dariku yang hanya seorang pencinta sastra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline