Lima belas tahun lalu, para pelancong selalu mengandalkan peta ketika bepergian. Saat itu belum ada smartphone. Jadi, peta adalah kompas para pelancong. Ke mana-mana pelancong harus membawa buku kecil dan bolpen untuk mencatat alamat, nomor telepon atau pun nama orang.
Keadaan tersebut memang tidak terbayang saat sekarang ketika segala sesuatu dapat diakses di smartphone. Untuk mengingat tempat atau lokasi, sekarang orang bisa tinggal memotretnya dengan smartphone atau untuk mengetahui suatu lokasi bisa membuka google map di smartphone .
Tiga kali saya tersasar selama saya jalan-jalan di luar negeri, rata-rata karena tidak ingat jalan pulang, yang ketiga kali tepatnya saya salah jalan. Semua kejadian itu menjadi pelajaran bagi saya untuk mempersiapkan lebih baik lagi kalau mau jalan-jalan.
Bantuan Bangsa Serumpun
Musim semi tahun 2005, saya terbang ke Jerman untuk mengikuti fellowship dari International Journalisten Program Pertama kali tiba di Jerman, saya tinggal di Dresden, Ibu Kota Negara Bagian Saxon atau Sachsen, bersama teman saya warga Jerman. Setelah beberapa bulan di Dresden, saya meneruskan perjalanan ke Munich, Ibu Kota Negara Bagian Bayern atau Bavaria, masih untuk mengikuti program fellowship di Sueddeutsche Zeitung.
Sudah menjadi tradisi ketika berada di tempat asing orang selalu mencari saudaranya yang serumpun, begitu pun saya. Karena tahu bakal tinggal di Munich dan sadar kalau tidak mudah mencari tempat tinggal murah di Munich, saya sudah lebih dulu mencari info dari komunitas Indonesia yang tinggal di Munich.
Dari seorang teman saya diperkenalkan dengan Ibu Tiwi Nitschke--sudah meninggal dunia. Ibu Tiwi menikah dengan pria Jerman dan tinggal di Munich cukup lama. Almarhumah Ibu Tiwi dituakan di kalangan masyarakat Indonesia di Munich. Dari beliau saya dapat info apartemen yang bisa disewakan.
Apartemen itu disewa orang Indonesia yang bekerja di Munich. Kebetulan dia akan berlibur pulang kampung ke Indonesia. Daripada kosong, ia menyewakannya ke saya.
Persyaratan apartemennya mencukupi untuk saya: letaknya masih di wilayah kota, bukan di pinggiran dan ada jaringan internet--waktu itu jaringan internet masih berupa LAN, belum ada Wifi. Sebetulnya ada tawaran apartemen lain yang lebih murah, tapi letaknya agak jauh dari pusat kota dan tidak ada jaringan internet, saya menolaknya.
Ibu Tiwi pun menghubungkan saya dengan pria Indonesia yang menyewa apartemen itu. Setelah terjadi kesepakatan, saya menetapkan tanggal kepindahan. Entah mengapa saya lupa namanya. Ia juga memperkenalkan saya ke temannya, mahasiswa Indonesia, yang akan menjadi semacam chaperon bagi saya.