Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Kamah

Penulis, Pelancong, Praktisi yoga

Melambat bersama Eco Camp

Diperbarui: 4 Februari 2019   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

"Sekarang kita akan makan bersama dengan cara makan hening," Adi, salah seorang ksatria shambala di  Eco Camp, mengumumkan kepada para peserta peringatan hari jadi Eco Camp yang ke-5.

HENING KUNCI KEBAHAGIAN

Selama makan hening, setiap peserta baru mulai makan setelah semua peserta telah selesai mengambil makanannya dalam keadaan hening. Sambil menunggu peserta lain, mereka yang sudah berhadapan dengan sepiring nasi dan lauk-pauk tanpa berbahan daging itu diminta untuk memperhatikan makanannya. Berdasarkan aturan makan hening, makan akan dimulai ketika gong dibunyikan. Selama makan, peserta tidak diperkenankan untuk bercakap-cakap sampai gong dibunyikan kembali. Selama itu pula indera pencecap diharapkan dapat merasakan semua rasa yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa lewat makanan yang dikunyah di dalam rongga mulut.  Pengalaman makan hening tersebut  terasa luar biasa manakala kita sudah terbiasa langsung melahap makanan jika sedang lapar dan makan sambil bercakap-cakap, sehingga perhatian tidak tertuju pada makanan.

Sebagai salah seorang peserta, secara pribadi  saya merasakan pengalaman spiritual yang indah saat makan hening itu.  Dalam rentang yang sebenarnya pendek ketika menunggu seluruh teman lain mendapat makanan, keinginan untuk melahap makanan dikendalikan dengan memperhatikan lauk pauk yang ada di piring saya. Sambil saya merenungkan asal-usul, pembuatan, dan rasanya. Ketika genta dibunyikan keinginan makan itu tetap dikendalikan dengan tidak terburu-buru makan dan menikmati rasa setiap lauk-pauk di dalam mulut. Terasa nikmat dan timbul rasa syukur.  Makan hening diambil dari tradisi di biara Bhuddist yang diajarkan kepada peserta untuk melatih mengolah rasa dan membangun rasa syukur.

Selain makan hening,  peserta juga diperkenalkan dengan jalan melambat. Di mana gerakan berjalan dimulai dengan menapakkan tumit di tanah kemudian telapak kaki bagian depan, lalu melangkah secara lambat. Selama berjalan melambat peserta diminta untuk merasakan  keadaan di sekelilingnya sambil menarik dan mengeluarkan napas secara sadar.

Proses perlambatan itu seperti membangunkan diri saya dari kebiasaan sehari-hari yang sering kali terburu-buru ke dalam kegiatan rutin seperti makan atau pun berjalan.   Bahwa kegiatan sehari-hari  tersebut sesungguhnya dapat dinikmati sebagai sebuah proses, sehingga timbul rasa syukur atas anugerah kehidupan yang luar biasa.

Begitulah Eco Camp memperingati usianya yang kelima tahun pada 26-27 Januari 2019 lalu.  Eco Camp mengundang mereka yang punya perhatian pada lingkungan untuk mengikuti acara dengan tema "5 Tahun Melambat Bersama Eco Camp".  Saya bersama 61 peserta lain yang berasal dari banyak kota di Jawa, NTT, bahkan Timor Leste menikmati perjamuan dari Eco Cam itu.   Kegiatan sehari semalam itu  tidak dipungut biaya tetapi peserta dapat memberikan kontribusinya dengan semangat berbagi pada akhir cara.

Setiap tanggal 18 Januari Yayasan Sahabat Lingkungan  yang sekarang dikenal dengan nama Eco Camp memperingati hari lahirnya. Berawal dari 17 tahun lalu, camp ini beralih nama menjadi Eco Camp sejak 2015.  Kegiatan yayasan ini  adalah mengembangkan  edukasi, konservasi, penelitian, pengembangan komunitas, dan kegiatan lainnya yang berbasis lingkungan.  Sejak 2015 sudah 30.000 orang mengunjungi kampus ini untuk mengikuti berbagai kegiatan yang dikelola Eco Camp. Di antaranya adalah pembentukan ksatria shambala yang mendidik lulusan sarjana universitas menjadi agen perubahan, program bertani untuk anak-anak sekolah, greenleader Eco Camp dan Anak Bumi. "Selama lima tahun terakhir Eco Camp sudah  melayani ribuan orang, baik di Indonesia atau di luar negeri dengan berbagai kegiatannya itu," Romo Ferry  Sutrisna pengasuh Eco Camp menjelaskan.

Seluruh kegiatan peringatan ulang tahun  Eco Camp ini menggugah rasa melalui perenungan dan penyadaran.  Peserta diajak untuk merenungi dan menyadari segala rasa keindahan, kelimpahan, kasih yang sebenarnya telah kita terima dari semesta raya mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali.

Pada mulanya saya agak terkecoh dengan kata melambat  tapi setelah mengikut kegiatannya saya dapat memahami lebih baik lagi makna melambat. Melambat sama sekali bukan berarti bermalas-malasan atau tertinggal dalam kehidupan. "Melambat adalah proses penyadaran diri. Penyadaran atau kesadaran adalah pangkal menuju bahagia. Sadar akan anugerah alam dan semesta raya," Shierly Megawati, manajer Eco Camp, menjelaskan makna dari melambat.

Jamuan  acara yang diberikan bagi para peserta memang istimewa. Pagi hari pada hari pertama, peserta menikmati gerak badan dan olah tubuh untuk persiapan meditasi. Kemudian sore hari peserta disambut dengan upacara teh.  Pada upacara teh yang penuh haru dan syukur itu, setiap peserta yang duduk di teater terbuka disajikan teh dalam gelas kecil. Penyajiannya sangat istimewa ketika  pengurus Yayasan bersimpuh di hadapan setiap peserta sambil memberikan segelas teh dengan  rasa hormat dan tulus. Sementara sebelum meneguk teh, para peserta sekali lagi diminta untuk memperhatikan dan merenungkan  minuman teh yang telah melalui perjalanan panjang dari penanaman, tumbuh besar, proses pemetikan daun oleh para pemetik teh, pengangkutan teh dengan keranjang, pengolahan menjadi teh, hingga akhirnya menjadi seduhan teh untuk diminum. Suatu proses panjang yang tidak pernah mendapat perhatian ketika kita meminum teh.

dokpri

KSATRIA SHAMBALA

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline