Menjelang akhir tahun kita akan menyaksikan fenomena hari ibu yang dimeriahkan oleh sebagian masyarakat Indonesia, perempuan utamanya. Perempuan selalu menjadi hal menarik unutuk dijadikan bahan pembahasan entah dalam hal mengangkat dan melindungi derajatnya atau mencekiknya dengan ribuan perspektif manusia. Beberapa Perempuan terjebak dalam kodrat patrilineal sekaligus mendominasi wilayah domestik.
Pada tahun 2011 perfilman Indonesia merilis sebuah film dengan judul "Sang Penari". Film tersebut disutradai Oleh Ifa Firmansyah dengan mengadopsi dari novel trilogy tahun 1982 dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dikatakan dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Dewi Sawitri dengan judul "Eksplorasi Sosial dan Budaya Dalam Film "Sang Penari" bahwa film Sang Penari berisi kisah cinta yang tragis antara seorang wanita dengan pekerjaannya sebagai Ronggeng dengan seorang lelaki biasa.
Pada tahun 90-an PBB mengeluarkan wacana kultural melalui konsep Women and Development (WAD) juga Womwn In Development. Pernyataan tersebut bisa diparafrasekan bahwa pemikiran tersebut berusaha mengulik dominasi laki-laki atas Perempuan. Perempuan harus setara dalam hal domestik dan bukan domestik. Namun dalam perjalananya hal tersebut tidak selaras dengan peristiwa dalam film Sang Penari. Sosio kultural di Indonesia masih marak system patriarki. Dimana hegemoni laki-laki masih dia atas Perempuan. Beberapa Perempuan memiliki kemampuan yang dominan dan tidak bisa dilakukan oleh laki-laki.
Hal tersebut bisa ditemukan dalam film Sang Penari Ketika Srintil harus melayani laki-laki sebagai teman tidur bergiliran. Bahkan meskipun secara nyata Srintil memiliki kemampuan mendominasi dalam hal seksualitas, sejatinya ia tetap terhegemoni tersirat. Bahkan dalam hal asmara Srintil tidak memiliki hak untuk mencintai sesuai pilihan hatinya. Selain beban moral Srintil pun harus menanggung beban perekonomian. Selain sebagai revolusi suburnya Kembali perekonomian kampung ia juga harus memangku amanat berbakti pada Eyangleluhur. Sungguh ironis!. Sekalipun memiliki kemampuan dan telanta luar biasa namun nyatanya sayap Srintil tak pernah bisa mengepak dengan leluasa, terlebih bisa terbang. Srintil tetap dalam kungkungan tradisi yang mengakar kuat di lingkungan ia tinggal.
Srintil tak pernah menjadi Perempuan sebagaimana dihormati karena keberadannya dan keperempuanannya. Srintil disegani, dihormati dan dianggap sebab ia memiliki nilai tambah pada tubuhnya. Sungguh bentuk eksploitasi yang dikemas indah dalam sebuah kata "tradisi". Fenomena tersebut terlihat tidak adil. Namun anggapan Masyarakat terlalu besar untuk digulingkan. Prinsip patriarki telah mengakar kuat terlebih pasca kemerdekaan. Bisa dibayangkan jika saja Srintil tak memiliki kelebihan yang bisa ditonjolkan untuk memikat Masyarakat, terutama kaum laki-laki. Tentu saja ia tidak akan bisa muncul dipermukaan atau malah mengalami Nasib lebih tragis daripada Srintil sebagai Ronggeng.
Keberadaan Perempuan memang menjadi daya Tarik tersendiri. Kerasnya pergolakan politik yang biasanya didominasi laki-laki pada dasarnya selalu beurusan dengan Perempuan. Entah dimanfaatkan dalam hal apa, entah sebagai iklan atau sebagai penyegaran. Hal ini selaras dengan pergolakan politik dimana tahun 1982 ada tragedi G30SPKI. Entah dikemas dalam kepentingan bagaimana sehingga Perempuan unggul dalam fisik bisa mendapatkan tempat unjuk diri, meskipun sebagai penghibur.
Mengubah Mindset
Melihat persoalan seperti ini perlu pemahaman mendalam tentang peran Perempuan. Indonesia sudah ada emansipasi wanita yang dipelopori oleh R.A Kartini sejak puluhan tahun lalu. Bahkan dalam buku Bukan Perempuan Biasa karya Fitria Zelfis juga merangkum sosok Perempuan-perempuan hebat yang tercatat dalam sejarah mampu multiperan dalam urusan domestik maupun publik. Selain perkembangan pengetahuan dan pemikiran, nyatanya teknologi juga mengambil peran dalam dinamika dan pergeseran budaya patriarki. Sosial media sudah dibanjiri Perempuan yang mengklaim bahwa mereka adalah sosok independent yang mampu melampaui laki-laki.
Merefleksi dari film Sang Penari bahwasanya lingkungan, pola pikir Masyarakat dan intervensi dari luar bisa membawa Perempuan dalam dunia yang dinamis. Hak bersuara dan hak berkarya sekarang bisa ditempuh oleh laki-laki maupun Perempuan, bahkan banyak yang berjalan beriringan dan setara dalam beban tertentu. Terlepas dari kemampuan Perempuan menyetarakan diri dengan laki-laki tentu saja Perempuan harus memerhatikan kodrat bahwa Perempuan tertakdir sebagai ibu yang menggoyangkan buaian dengan tangan kiri sementara tangan kanan bisa digunakan untuk menggoyangkan dunia. Tujuannya tentu untuk menjaga keseimbangan akses publik.
Epilog