Lihat ke Halaman Asli

Past is The Point of No Return

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1384231246104271399

[caption id="attachment_277552" align="alignnone" width="629" caption="Life is a Journey"][/caption]

Pernahkah Anda bergumam, “andai waktu bisa diulang” ? Meski terdengar klise dan tahu kalimat itu sia-sia belaka, tapi mungkin sekali waktu Anda pernah mengatakannya. Tenang saja, Anda tidak sendiri.

Apakah Anda sudah menonton film “About Time” ? Sudah? Belum? Saya juga belum. Hehe…hanya membaca resensinya di Kompas, 20 Oktober 2013.

Ide film ini adalah tentang kembali ke masa lalu. Bukan hanya menjelajahinya saja lho , namun juga bisa mengoreksinya.

Film yang diproduksi Universal Pictures dan disutradarai oleh Richard Curtis, dengan pemeran antara lain Domhnall Gleeson, Rachel McAdams, Bill Nighy, Tom Hollander, dan Margot Robbie ini bercerita tentang sosok seorang pria bernama Tim. Pada usianya yang ke-21, Tim mengerti bahwa tiap laki-laki dari pihak ayahnya bisa kembali ke waktu lalu. Caranya mudah saja, masuk ke ruang gelap, genggam kedua tangan erat-erat, pejamkan mata, dan ting...! kembalilah ia ke masa lalu. Dengan cara itu, Tim bisa mengoreksi kejadian-kejadian di masa silam.

Begitulah dengan “ilmu”-nya, Tim bertemu dan menikah dengan Mary dan mempunyai sejumlah anak. Namun, dengan kemampuan mengoreksi masa lalu itu pula ia berhadapan dengan masalah pelik. Suatu kali, Tim ingin mengubah peristiwa buruk di masa lalu, yaitu kecelakaan mobil yang menimpa adiknya. Jika kejadian itu dibuat, maka skenario kehidupannya juga ikut berubah. Termasuk soal keberadaan anak-anak Tim.

Dari tataran komedi romantik yang menggiring penonton pada tawa, “About Time” mengajak penonton masuk ke dimensi permenungan tentang realitas hidup. Tim hidup dalam tumpukan realitas. Realitas orisinal dan realitas yang terkoreksi bertumpang tindih. Hidupnya tidak pernah sekali jadi. Selalu ada peristiwa yang ingin dikoreksi hingga jalan hidupnya sempurna.

Lalu, bagaimana? Pernahkah Anda berharap bisa menjadi orang seperti Tim ?

Dengan kemampuan yang dimilikinya, Tim sungguh beruntung (atau tidak?). Sayangnya Ia hanya hidup di alam rekaan sang penulis cerita, sementara kita hidup di alam nyata, dengan skenario yang dituliskan Sang Maha Pencipta.

Saya pernah membaca, bahwa menjalani hidup sesungguhnya seperti merangkai titik-titik menjadi sebuah garis. Peraturannya adalah kita hanya diperbolehkan untuk menggoreskan tinta sekali saja. Sekali membuat titik, tak bisa kembali, apalagi mengoreksinya. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus bergerak maju, membuat garis mengisi lembaran hidup kita. Tak bisa kembali ke masa lalu, walau hanya sekedar mengulang titik yang baru saja kita buat. Past is the point of no return.

Kembali pada kisah Tim, akhirnya Ia dihadapkan pada realitas yang tidak akan bisa ia koreksi, yaitu kematian. Ayah Tim terkena kanker dan umurnya tinggal menghitung hari. Tim kemudian belajar untuk memahami bahwa realitas hidup, manis atau pahit, harus dihadapi, dinikmati, dihayati, dan disyukuri. Karena itulah hidup yang sesungguhnya.

Hidup tidak selalu membahagiakan. Kadang menyedihkan, menyakitkan atau tidak adil. Tapi saat kita bisa merefleksikan semuanya, kita akan menyadari bahwa tanpa mengalami hambatan-hambatan tersebut, kita mungkin tidak akan pernah menyadari potensi atau kekuatan terdalam kita.

Seperti kata pepatah, everything happens for a reason. Semua terjadi untuk sebuah alasan. Tak ada yang terjadi karena kebetulan atau nasib baik semata. Rasa sakit, luka, kehilangan, atau kebodohan yang mungkin pernah kita lakukan, semua diperlukan untuk menguji batas kekuatan jiwa kita. Tanpa ujian, dalam bentuk apapun, hidup akan seperti jalan yang mulus dan lurus, rata namun tidak membawa kita kemana-mana. Memang akan terasa aman dan nyaman, tapi membosankan dan tidak bernilai.

Pun orang-orang yang sempat hadir di kehidupan kita. Mereka memang ditakdirkan ada dengan satu tujuan. Kita tidak pernah tahu siapa orang-orang ini, mungkin tetangga, guru, saudara, teman lama, mantan kekasih atau mungkin saja orang asing yang sekedar berpapasan di jalan. Meski kita tak langsung memahaminya, tapi pada satu momen kita akan mengerti bahwa mereka mungkin mempengaruhi hidup kita dalam beberapa hal.

Bila seseorang menyakiti atau mengkhianati kita, maafkanlah mereka, karena mereka telah mengajari kita tentang arti sebuah kepercayaan. Sekecil apapun peranan setiap orang yang pernah lewat dalam hidup kita, sesungguhnya mereka telah membentuk kita hari ini.

Bila kita mencintai seseorang tunjukkan pada mereka. Ayah, Ibu, suami, istri, anak-anak, saudara, sahabat, atau pada orang-orang di sekitar kita. Karena kita tak mungkin tahu apa yang akan terjadi esok. Bila kita kehilangan orang-orang terkasih, tak perlu kuatir, sesungguhnya mereka tak pernah benar-benar pergi. Tuhan telah menganugerahi manusia kapasitas memori yang besar. Mereka selalu ada, satu titik di sudut alam pikiran kita.

Make every day count. Hargai setiap momen dan belajarlah dari setiap momen itu apapun yang bisa kita pelajari, karena mungkin kita tak akan pernah mengalaminya lagi. Jadikan hidup sesuai keinginan kita. Hidup dengan kesadaran dan tanpa penyesalan. Seperti kata orang bijak, hidup adalah sebuah perjalanan. Teruslah berjalan dan nikmati perjalanan kita. Buat titik-titik terbaik yang kita bisa, sehingga di masa depan tak ada keinginan untuk mengoreksinya.

Dan terakhir, (walaupun saya bukan penggemar band ini) seperti kata D’Massive, “…syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah, tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik…”

Yesterday is history, tomorrow‘s a mystery, and today is a gift.

Bersyukur.

That’s the point.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline