Lihat ke Halaman Asli

Menikmati "Hujan Bulan Juni - Sepilihan Sajak"

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

139201695851615966

Suatu siang dengan nuansa awal tahun yang diwarnai senandung hujan sepanjang hari, saya menerima sebuah buku bersampul hardcover dengan warna dominan putih ber-background bias percik air dan ada gambar daun separuh di pojok kanan bawahnya. Cantik.


Kemudian ketika  membuka lembaran pertama, disuguhkan gambar ranting dengan sehelai daun kering dan dua tetes air yang hinggap. Indah sekali.

13920176691643695408

Lalu di dalamnya saya menemukan pembatas buku berbentuk selembar daun berwarna hijau kekuningan.

13920235561479156208

Ah…buku ini membuat saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.

Awalnya saya hanya berniat meminjamnya dari seorang teman. Tak disangka, ternyata Ia malah memberikannya pada saya. Entah mengapa. Mungkin karena Ia tahu saya menyukai puisi-puisi karya Sapardi, atau mungkin  karena Ia tahu betapa saya "ngidam" buku ini, tapi belum kesampaian untuk membeli. Hahaha... Apapun itu, thank you "A"...:)

...

Baiklah…, kembali ke buku.

Buku kumpulan puisi berjudul Hujan Bulan Juni, Sepilihan Sajak karya Sapardi Djoko Damono ini pernah dicetak ulang beberapa kali. Namun berbeda dengan cetakan-cetakan sebelumnya, buku cetakan tahun 2013 ini memuat puisi Sapardi sejak tahun 1959 sampai tahun 1994.

Berikut penjelasan Sapardi dalam Catatan Penulis di halaman v buku ini,

“Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni pertama kali diterbitkan oleh Grasindo, tahun 1994, berisi sepilihan sajak yang saya tulis tahun 1964 sampai 1994. Sajak-sajak itu berasal dari beberapa buku puisi, yakni duka-Mu abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1984). Di samping itu ada sejumlah sajak yang belum pernah dimuat dalam buku puisi saya sebelumnya. … . Beberapa sajak yang ditulis sejak tahun 1959 sengaja ditambahkan agar ada gambaran yang lebih lengkap tentang puisi yang saya tulis sampai tahun 1994”

Nah, siapa yang tidak mengenal Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono? Pria yang lahir di Solo, 20 Maret1940 dan kini berusia 73 tahun ini adalah seorang pujanggaIndonesia terkemuka. Ia menulis puisi sejak tahun 1957 ketika masih menjadi murid SMA tetapi baru menerbitkan buku puisi pertamanya, duka-Mu Abadi, tahun 1969. Beberapa buku puisinya yang kemudian terbit adalah Mata Pisau, Akuarium, Perahu Kertas, Sihir Hujan, Hujan Bulan Juni, Arloji, Ayat-ayat Api, Mata Jendela, Ada Berita Apa Hari Ini?, Den Sastro?, Kolam, Namaku SIta, dan Sutradara Itu menghapus Dialog Kita.

Ia dikenal dari berbagai puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata sederhana namun sarat makna, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.

Seperti komentar A. Teeuw, pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda, di sampul belakang buku ini,

"...ia telah menciptakan genre baru dalam kesusastraan Indonesia, yang sampai kini belum ada nama yang sesuai untuknya... Ia seorang penyair yang orisinal dan kreatif, yang eksperimen-eksperimennya—inovasi yang sangat mengejutkan dalam segala kesederhanaannya..."

Pertama kali mengenal puisi Sapardi -saat saya kelas 2 SMA- yang berjudul Aku Ingin. Puisi yang menurut saya begitu sederhana, manis, dengan kata-katanya yang ringan tapi kesan serta maknanya tidak seringan penyampaiannya.

1392020107179581233



Sejak saat itu saya mulai “berburu” puisi-puisi Sapardi yang lain. Hingga bertemulah saya dengan Sang Hujan Bulan Juni yang fenomenal. Hampir pasti semua pecinta puisi dan pecinta hujan kenal dengan puisi karya Sapardi Djoko Damono ini. (Oya, percaya nggak sih, kalau orang yang suka puisi dan hujan itu biasanya romantis? Hahaha…maaf ya, saya nggak)

1392023625444515875

Saya yang masih ABG dan tengah galau waktu itu, merasa puisi-puisi ini sungguh seperti berbicara mewakili perasaan-perasaan  saya. Hahaha…

Menemukan puisi-puisi Sapardi yang lain, saya jadi berpikir –sekedar asumsi saja- kalau Sapardi mencintai “hujan”, sama seperti saya. (Yah..., meskipun sejak tinggal di Jakarta saya selalu sedikit kuatir kalau hujan turun sangat deras dan tak henti-henti. But still, I love rain)

Entah benar atau tidak bahwa Sapardi begitu mencintai hujan, setidaknya 11 puisi dari 104 judul di buku ini, bercerita tentang hujan:

Hujan Turun Sepanjang Jalan,

Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang,

Hujan dalam Komposisi, 1,

Hujan dalam Komposisi, 2,

Hujan dalam Komposisi, 3,

Di Beranda Waktu Hujan,

Percakapan Malam Hujan,

Kuhentikan Hujan,

Sihir Hujan,

Hujan, Jalak, dan Daun Jambu,

Dan tentu saja, Hujan Bulan Juni.

Belum lagi, banyak di antara puisinya meminjam kata “hujan”dalam bait-baitnya, antara lain:

mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;

di luar hujan pun masih kudengar

(Sajak Desember, 1961)

masih adakah yang akan kautanyakan

tentang hal itu? hujan pun sudah selesai

(Sehabis Mengantar Jenazah, 1967)

Ia ingin pagi itu hujan turun rintiki-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

(Pada Suatu Pagi Hari, 1973)

Dan lain-lain.

Well, setelah saya pikir-pikir lagi, sebenarnya mungkin Sapardi bukan pecinta hujan, melainkan seorang pecinta alam. Awan, matahari, bumi, pohon, burung, kayu, gerimis, guntur, angin, tanah, air, api, bunga, senantiasa menjadi ruh bagi puisi-puisinya.

Ah, siapalah saya untuk memberi penilaian. Saya hanyalah penikmat. Silahkan sebut saya romantis atau mungkin melankolis, tetapi, menikmati rintik hujan ditemani secangkir teh hangat dan puisi-puisi Tuan Sapardi, apalagi yang kurang?

13920206611763337528

Detail Buku:

Judul

Hujan Bulan Juni - Sepilihan Sajak

No. ISBN

9789792297065

Penulis

Sapardi Djoko Damono

Penerbit

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline