Lihat ke Halaman Asli

Lamige Aprilianna Wiwit

Guru/SMP Stella Duce 1 Yogyakarta

Perjuangan Nusantara: Kolonialisasi dan Digitalisasi

Diperbarui: 24 Januari 2023   16:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Agustus selalu menjadi bulan yang istimewa bagi bangsa Indonesia. Bagi anak-anak, menjadi bulan hingar bingar dengan banyak perlombaan. Bagi para ibu, menjadi bulan eksistensi untuk berkreasi menunjukkan kemampuan dalam mengikuti lomba maupun menyajikan hidangan. Nah bagi para bapak, Agustus merupakan bulan sibuk. Persiapan mempercantik lingkungan dilakukan bahkan sebelum bulan Agustus tiba. 

Senyampang dengan persiapan-persiapan di bulan Agustus versi milenial, persiapan ini juga terjadi 77 tahun lalu. Kemerdekaan yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 tidak serta merta terjadi dalam sebulan sebelumnya. Bahkan jauh dari tahun 1945, persiapan kemerdekaan telah dirajut, meski konon belum tau kapan akan diproklamirkan. 

Para pejuang disetiap lini telah memepersiapkan dengan berbagai cara, baik berupa jalan damai dengan perundingan, pendidikan, ekonomi dan lainnya ataupun dengan jalan kekerasan, perang dan pemberontakan.

Bermula dari kata Nusantara, yang menjadi cikal bakal Indonesia. Berbagai sejarah mewarnai kisah tentang nusantara. Era kerajaan Hindu, Budha hingga Islam menjadi kelakatan perjuangan Nusantara. Dilanjutkan dengan era Kolonialisme. 

Kolonialisasi Portugis dan Spanyol menjadi pembuka dalam era kolonialisasi Nusantara. Kedatangan mereka mengukuhkan bahwa NUsantara memiliki aset rempah rempah dan hasil bumi lain yang sangat menggiyurkan bagi Eropa. Britania Raya dan Belanda berturut turut menguasai Nusantara dalam waktu bedekatan, hingga kemunculan Jepang menjadi penghujung kedatangan bangsa asing yang menguasai Nusantara. 

Sejak tahun 1500an dan berangsur angsur Nusantara menjadi tempat pendaratan yang menjanjikan bagi kapal-kapal bangsa Eropa  yang melengkapi armadanya bukan hanya dengan prajurit, namun juga pemuka agama (Pastor) dan cerdik pandai lainnya untuk penjajakan dan membangun infrastruktur yang memadahi di Nusantara. 

Tak pelak sejak itu pergesekan kepentingan selalu terjadi antara para pendatang (baca:bangsa asing) dan para penguasa daerah setempat (baca: para raja  di Nusantara). 

Pergesekkan dan akhirnya mengakibatkan perseteruan hingga perang dari bangsa satu (Portugis) tentu menjadi peluang yang harus dimanfaatkan maksimal oleh bangsa lain (Belanda) untuk masuk dan mendapatkan keuntungan dengan menguasai keadaan lalu mengambil alih kekuasaan. Dan hal ini tertunya berlangsung terus menerus bahkan berabad-abad dengan kerajaan dan bangsa pendatang lainnya. 

Dari setiap pertempuran selalu muncul nama tokoh yang kemudian menjadi pahlawan dari setiap daerah yang berseteru. Sebagai contoh di Maluku muncul nama Pattimura. Karena dari Maluku pulalah gerbang perdagangan dengan bangsa asing terbuka. Lalu muncul tokoh tokoh lain di setiap daerah untuk memimpin perlawanan di setiap daerah. 

Peperangan yang terjadi di era 1800an di wilayah Jawa dan Sumatra biasa disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa dan perang Padri dan diikuti dengan perang-perang lainnya, membentuk sebuah semangat yang kemudian dikenal dengan semangat NASIONALISME. Semangat ini menjadi sumbu panjang yang selalu menyulut api pergerakan kemerdekaan bagi para pejuang.

Menginjak era 1900an, diawali dengan sistem Politik Etis, Balanda memperpanjang kekuasaannya di Nusantara. Hal ini justru menjadi pondasi dari berdirinya negara Indonesia saat ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline