Lihat ke Halaman Asli

Asumsi Kualitatif dalam Psikologi

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Metode kuantitatif dan kualitatif mempunyai paradigma teoritik, gaya, dan asumsi paradigmatik penelitian yang berbeda. Masing-masing memuat kekuataan dan keterbatasan, mempunyai topik dan isu penelitian sendiri, serta menggunakan cara pandang berbeda untuk melihat gejala-gejala perilaku dan sosial. Sehingga, dari sisi epistemologi yang berupaya menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “apa yang bisa kita ketahui” dari suatu gejala, maka kedua metode tersebut memiliki pendekatan dan pertanyaan penelitian yang berbeda. Singkatnya keduanya memiliki jalan untuk memberikan penjelasan dari suatu gejala secara berbeda (Willig ; 10)

Creswell (2015) memaparkan bahwa pemahaman tentang a sumsi filosofis dibalik penelitian kualitatif seharusnya dimulai dengan menaksir dimana posisinya yang tepat dalam proses penelitian, mencatat peran pentingnya sebagai salah satu unsur penelitian, dan memikirkan bagaimana menulisnya secara aktif ke dalam suatu riset.

Filosofis berarti penggunaan ide dan keyakinan abstrak yang mempengaruhi dan mewarnai penelitian kita. Kita mengetahui bahwa asumsi filosofis merupakan ide pertama dalam pengembangan studi, tetapi bagaimana hubungan asumsi-asumsi tersebut dengan proses riset secara keseluruhan masih menjadi misteri.

Huff (dalam Creswell, 2015) sangat membantu dalam memaparkan pentingnya asumsi filosofis dalam riset atau penelitian.

-Ia mempengaruhi bagaimana kita merumuskan permasalahan dan berbagai pertanyaan riset kita dalam studi dan bagaimana kita mencari informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Satu jenis pertanyaan sebab dan akibat dimana variabel-variabel tertentu diprediksi dapat menjelaskan suatu hasil (output) dalam penelitian kuantitatif sangatlah berbeda dengan eksplorasi suatu fenomena tunggal sebagaimana terdapat dalam penelitian kualitatif.

-Asumsi-asumsi ini menancap kuat selama masa pendidikan kita dan diperkuat oleh komunitas ilmiah diman kita bekerja. Keyakinan adalah asumsi yang dapat berubah seiring waktu dan perjalanan karier, dan hal ini seringkali terjadi. Tentang bagaimana asumsi dapat digunakan dalam suatu studi tertentu, hal tersebut masih menjadi perdebatan. Hal ini mungkin terkait dengan pengalaman sang peneliti , keterbukaannya untuk bereksplorasi dan menggunakan berbagai asumsi yang berbeda, dan penerimaannya terhadap ide-ide yang berlaku dikomunitas ilmiah yang lebih besar di mana ia terlibat didalamnya.

-Tidak diragukan lagi bahwa para peninjau juga membuat asumsi filosofis tentang suatu studi ketika mereka mengevaluasinya. Mengetahui bagaimana pendapat dan opini para peninjau terhadap persoalan-persoalan epistimologis akan sangat berguna bagi para peneliti-penulis. Ketika asumsi-asumsi antara sang penulis dan peninjau (atau sang editor jurnal) berbeda, karya dari sang penulis mungkin akan menerima penilaian yang tidak tepat dan mungkin akan dianggap tidak memberikan kontribusi pada kepustakaan.

Asumsi filosofis umumnya menyangkut empat keyakinan, yaitu ontologi (watak dari realitas), epistimologi (apa yang dianggap sebagai pengetahuan dan bagaimana klaim pengetahuan itu diafirmasi), aksiologi (peran dari nilai dalam riset), dan metodelogi (proses riset) (Creswell, 2015).

Moustakas mengatakan (dalam Cresewell, 2015) persoalan ontologis berkaitan dengan watak realitas dan ciri-cirinya. Ketika para peneliti melakukan penelitian kualitatif, mereka menganut ide tentang beragam realitas. Peneliti yang berbeda menganut  realitas yang berbeda pula. Hal ini juga berlaku pada individu-individu yang diteliti dan para pembaca sebuah studi kualitatif. Ketika mempelajari individu para peneliti kualitatif melaksanakan studi yang bertujuan untuk melaporkan beragam realitas ini. Bukti dari beragam realitas tersebut mencakup penggunaan berbagai bentuk bukti dalam bentuk tema yang menggunakan kata-kata yang aktual dari individu yang berbeda dan menyajikan perspektif yang berbeda.

Dengan asumsi epistimologis, melaksanakan suatu studi kualitatif berarti bahwa para peneliti berusaha untuk sedekat mungkin dengan para partisipan yang dipelajari. Oleh karnanya, fakta subjektif disusun berdasarkan pada pandangan individual. Inilah bagaimana pengetahuan akhirnya diketahui melalui pengalaman-pengalaman subjektif dari masyarakat. Maka dari itu, penting untuk melaksanakan studi dilapangan, dimana partisipan hidup dan bekerja.

Semua peneliti umumnya membawa nilai-nilai pada sebuah studi, tetapi para peneliti kualitatif membuat nilai-nilai mereka dikenali dalam sebuah studi. Hal ini merupakan asumsi aksiologis yang menjadi ciri lain penelitian kualitatif. Dalam studi kualitatif, peneliti mengakui adanya muatan nilai dari studi tersebut dan seacara aktif melaporkan nilai-nilai dan bias-bias mereka sendiri. Dapat dikatakan mereka sedang “memosisikan diri mereka” dalam suatu studi.

Prosedur penelitian kualitatif, atau metodeloginya, memiliki ciri-ciri induktif yang dipengaruhi oleh pengalaman sang peneliti dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Logika yang diikuti oleh sang peneliti bersifat induktif, dari bawah ke atas, bukan diambil seluruhnya dari sebuah teori atau dari perspektif peneliti. Terkadang pertanyaan riset berubah ditengah jalan untuk dapat merefleksikan secara lebih baik berbagai jenis pertanyaan yang dibutuhkan untuk memahami permasalahan riset. Maka dari itu, strategi pengumpulan data, yang direncanakan sebelum penelitian perlu dimodifikasi untuk menyesuaikan diri dengan pertanyaan-pertanyaan baru tersebut. Selama analisis data, peneliti mengikuti tahap-tahap tertentu untuk mengembangkan pengetahuan yang semakin detail tentang topik yang dipelajari.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline