Dalam banyak kesempatan, ketika berkendaraan, ketika di tempat keramaian, ketika nongkrong, atau di tempat lainnya, secara tidak sengaja saya sering melihat anak-anak yang masih berseragam SLTP atau SLTA sedang mengisap sebatang rokok. Mereka terlihat seperti bangga melakukannya.
Saya berpikir, apakah orang tua mereka tidak tahu? Atau jangan-jangan orang tua mereka membiarkan atau membolehkannya.
Saya juga berpikir dari mana mereka punya uang untuk membeli rokok. Apakah menyisihkan dari uang jajan atau diberi oleh orang tuanya?
Kalau mereka membeli rokok menyisihkan dari uang jajan, berarti uang jajan yang mereka butuhkan untuk membeli makanan terkurangi. Padahal makanan lebih pokok daripada rokok.
Sementara itu kalau mereka membeli rokok diberi secara terpisah dari uang jajan oleh orang tuanya, ini lebih keterlaluan. Berarti si orang tua menjerumuskan anaknya secara tidak langsung.
Masalah perokok anak memang sebuah masalah yang masih jadi masalah di negeri kita. Jumlah perokok anak di Indonesia masih marak dan terbilang tinggi.
Menurut data Global Youth Tobacco Survey, Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar), dan Sikernas (Sistem Informasi Keracunan Nasional) yang dirilis kompas.com, ada 3 dari 4 orang yang mulai merokok dari usia kurang dari 20 tahun.
Kemudian prevalensi perokok anak, dari tahun ke tahun juga terus mengalami peningkatan. Prevalensi perokok anak tahun 2016 sebesar 8,80 persen. Di tahun 2018 menjadi 9,10 persen. Selanjutnya di tahun 2019 menjadi 10,7 persen.
Diprediksi jika tidak dikendalikan dengan cepat, maka prevalensi perokok anak akan terus meningkat menjadi 16 persen di tahun 2030. Tentu hal itu cukup mengkhawatirkan.
Pertanyaannya, mengapa banyak anak yang masih usia pelajar menjadi perokok, padahal belum cukup layak? Salah satunya karena faktor lingkungan. Ada orang-orang di sekitar si anak yang menjadi perokok. Mungkin orang tua, tetangga, teman, dan sebagainya.