Ibadah haji adalah Rukun Islam yang kelima. Melaksanakan ibadah haji pada dasarnya sama dengan melaksanakan empat Rukun Islam lainnya.
Namun ada sedikit perbedaan. Melaksanakan ibadah haji hanya diwajibkan satu kali seumur hidup. Sementara melaksanakan Rukun Islam lainnya seperti salat, zakat, atau puasa misalnya, wajib dikerjakan berkali-kali dan terus menerus.
Salat wajib dikerjakan lima kali sehari semalam. Zakat wajib dilaksanakan setiap nisab (mencapai batas minimal diwajibkan membayar zakat) dan haul (ukuran waktu harta yang dimiliki dalam satu tahun). Puasa wajib dikerjakan selama satu bulan Ramadan setiap tahun.
Uniknya, mereka yang telah melaksanakan ibadah haji biasa mendapat predikat atau gelar "haji". Padahal mereka yang telah melaksanakan Rukun Islam lainnya seperti salat, tidak diberi predikat atau gelar "salat".
Mereka yang telah melaksanakan zakat tidak diberi gelar "zakat". Begitu pula mereka yang telah melaksanakan puasa tidak diberi gelar "puasa".
Embel-embel gelar "haji" bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah haji bisa jadi merupakan sebuah "bonus". Mungkin hal itu karena melaksanakan ibadah haji tidak gratis dan tidak murah seperti melaksanakan salat atau puasa misalnya.
Melaksanakan ibadah haji butuh biaya yang tidak sedikit. Hanya mereka yang mampu secara ekonomi saja yang bisa melaksanakan ibadah haji.
Bagi sebagian (kecil?) orang, gelar "haji" bahkan mungkin menjadi salah satu tujuan dari melaksanakan ibadah haji. Mereka menginginkan gelar "haji" untuk menambah panjang namanya dan menaikkan status sosialnya. Sebab orang dengan embel-embel gelar "haji" biasanya lebih dihormati dan lebih dihargai oleh masyarakat.
Indikasi bahwa ada dari sebagian mereka yang melaksanakan ibadah haji demi gelar "haji" mungkin bisa terlihat dengan kasat mata dalam kehidupan sosial mereka. Mereka harus selalu dipanggil atau disebut dengan embel-embel "Pak Haji" atau "Bu Haji/Hajah",
Kalau tidak dipanggil dengan embel-embel "haji/hajah", mereka tidak mau menoleh. Malah tak sedikit dari mereka yang ngambek.