Semasa kecil dulu, bagi saya musim kemarau menghadirkan kenangan tersendiri. Kenangan itu kuat melekat bahkan sampai saat ini.
Kebetulan sewaktu kecil, saya tinggal di sebuah daerah rawan air bersih. Dalam memenuhi kebutuhan akan air bersih, penduduk di daerah kami hanya mengandalkan sumur gali.
Kedalaman sumur rata-rata kurang dari 10 meter. Jarang ada sumur yang dalamnya belasan meter, apalagi sampai puluhan meter.
Selain sumur gali, tidak ada sumber air bersih lain yang ada di sekitar pemukiman penduduk. Saluran air PAM merupakan sesuatu yang tidak mungkin ada, sebab daerah kami bukan perkotaan. Daerah kami jauh dari jangkauan "jaringan" pipa air PAM.
Tidak setiap rumah atau keluarga memiliki sumur. Bagi rumah atau keluarga yang tidak memiliki sumur biasanya ada "sumur umum" yang bisa digunakan secara bersama-sama.
Sumur-sumur itu hanya bisa memberikan air bersih ketika masih ada hujan turun. Apabila hujan tidak turun dalam waktu lebih dari sebulan saja, beberapa sumur mulai mengering.
Namun apabila hujan tidak turun dalam waktu lebih dari dua bulan, hampir bisa dipastikan semua sumur yang ada kering. Tidak ada air bersih yang keluar dari dasar sumur.
Kalau sudah begitu berarti sudah waktunya penduduk daerah itu harus berjuang mendapatkan air bersih. Mengapa disebut harus berjuang? Sebab untuk mendapatkan air bersih penduduk daerah itu harus berjalan terlebih dahulu ke sebuah mata air yang berada di sebuah "lembah".
Jarak antara pemukiman penduduk dengan mata air mungkin tidak lebih dari satu kilo meter. Akan tetapi medan yang harus ditempuh cukup terjal.
Tak hanya harus menempuh medan yang cukup terjal, untuk mendapatkan air bersih dari mata air itu orang-orang juga harus mengantre terlebih dahulu. Antrean bisa kurang dari setengah jam, tapi bisa juga lebih.