Demonstrasi yang dilakukan para buruh, mahasiswa, dan beberapa elemen masyarakat lain pada tanggal 6-8 Oktober di sejumlah daerah yang menolak RUU Cipta Kerja, yang telah disahkan oleh DPR RI menjadi UU Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober lalu berujung penangkapan sejumlah demonstran. Di antara para demonstran yang ditangkap, terdapat beberapa nama tokoh KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia).
Sebagaimana diberitakan banyak media, tokoh KAMI yang ditangkap pasca demonstrasi ada delapan orang. Mereka adalah Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana, Juliana, Devi, Khairi Amri, Wahyu Rasari Putri, dan Kingkin.
Kedelapan orang tokoh KAMI tersebut ditangkap di dua tempat berbeda. Empat orang ditangkap di Medan dan empat orang lain ditangkap di Jakarta.
Tokoh KAMI yang ditangkap di Medan adalah Juliana, Devi, Khairi Amri, Wahyu Rasari Putri, dan Khairi Amri. Sedangkan tokoh KAMI yang ditangkap di Jakarta adalah Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana, dan Kingkin.
Sejumlah pihak menyoroti penangkapan beberapa tokoh KAMI itu. Politikus Partai Gerindra Fadli Zon misalnya, menyebut penangkapan tokoh KAMI adalah cara lama yang dipakai lagi di era demokrasi.
Politikus PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Mardani Ali Sera menyebut penangkapan tokoh KAMI sebagai ujian bagi demokrasi. Semua penangkapan mestinya didasari norma hukum yang tegas. Menurutnya, selama ini UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sering dijadikan dasar penangkapan.
Politikus PKS lainnya, yang juga Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid meyakini bahwa tokoh KAMI yang ditangkap itu tidak akan mengarahkan massa untuk berbuat anarki dalam aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Oleh karena itu pihaknya meminta polisi membebaskan kedelapan tokoh KAMI yang ditangkap itu.
Sementara itu Presidium KAMI sendiri, Gatot Nurmantyo melayangkan protes kepada pihak kepolisian dalam siaran pers pada Rabu (14/10). Gatot menolak KAMI dikaitkan dengan tindakan anarkis dalam aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang dilakukan para buruh, mahasiswa, dan pelajar.
Gatot menyebut KAMI mendukung aksi mogok nasional dan unjuk rasa yang dilaksanakan para buruh sebagai bentuk penunaian hak konstitusional. Namun KAMI secara kelembagaan belum ikut serta, kecuali memberi kebebasan kepada para pendukungnya untuk bergabung dan membantu pengunjuk rasa atas dasar kemanusiaan.
Oleh karena itu mantan Panglima TNI itu meminta pihak kepolisian mengusut adanya indikasi keterlibatan pelaku profesional yang melakukan tindakan anarkis, yang menyusup ke dalam barisan aksi unjuk rasa. Selain itu Gatot juga meminta pihak kepolisian membebaskan para tokoh KAMI dari tuduhan yang dikaitkan dengan UU ITE. Kalaupun UU ITE itu mau diterapkan, Gatot meminta pihak kepolisian bersikap adil, tidak hanya membidik KAMI saja sementara banyak pihak di media sosial yang mengumbar ujaran kebencian yang berdimensi SARA tapi Polri berdiam diri.
Terkait penangkapan delapan orang tokoh KAMI, Ketua Presidium IPW (Indonesia Police Watch} Neta S. Pane menyebut hal itu hanya sekedar terapi kejut untuk para pengikut KAMI di tengah maraknya aksi demonstrasi buruh yang menolak UU Cipta Kerja yang kontroversial.