Kesan adanya hubungan kurang harmonis antara Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dengan Walikota Surabaya Tri Risma Harini (Risma) mencuat ke hadapan publik. Secara tidak langsung, Sang Walikota Surabaya lah yang menampakkan hal itu setelah berita dan video dirinya marah-marah menjadi viral di media sosial.
Dalam berita dan video yang viral itu nampak Risma sedang menelepon seseorang dengan nada suara yang tinggi dan seperti sedang kesal. Faktanya memang demikian. Risma sangat marah dan kesal karena dua unit mobil PCR (Polymerase Chain Reaction) bantuan dari BNPB untuk kota Surabaya tiba-tiba dialihkan ke daerah lain oleh Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur.
Risma merasa malu dan dipermalukan karena ratusan warga Surabaya yang akan melakukan batal melakukan rapid test dan swab test padahal mereka sudah menunggu lama. Rapid test dan swab test dilakukan secara besar-besaran karena Risma ingin segera mengakhiri penyebaran Covid-19 di Surabaya.
Risma merasa berhak dengan dua unit mobil PCR itu. Risma mengklaim bahwa dua unit mobil PCR tersebut merupakan bantuan dari BNPB khusus untuk Surabaya karena dirinya lah yang meminta langsung kepada Ketua BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Doni Monardo. Risma bahkan menunjukkan chat Whatsapp dari Doni Monardo.
Atas kejadian tersebut Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristianto bereaksi dan memberikan tanggapannya. Menurut Hasto, Gubernur Jawa Timur dan Gugus Tugas Covid-19 Jawa Timur bisa lebih bijak dan mampu melihat skala prirotas dengan memperhatikan kepentingan rakyat. Hasto juga mengingatkan dalam hal tersebut tak perlu menghadirkan rivalitas politik dan menghindari ego kepemimpinan.
Hasto bersikap seperti itu merupakan hal yang sangat wajar. Sebab Risma adalah koleganya di partai. Justeru akan sedikit aneh jika Hasto tidak membela Risma.
Siapa sesungguhnya pihak yang benar dan pihak yang salah dalam kasus tersebut ? Apakah Risma yang benar atau Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur/Gubernur jawa Timur yang salah ? Atau apakah Risma yang salah atau Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur/Gubernur jawa Timur yang benar ?
Dalam hal ini mungkin tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Mungkin saja kedua belah pihak, Risma dan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur/Gubernur jawa Timur benar. Tapi bisa juga kedua belah pihak, Risma dan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur/Gubernur jawa Timur salah.
Letak permasalahannya bisa jadi ada pada komunikasi dan koordinasi yang kurang baik. Hal tersebut bisa disimak dari penjelasan Ketua Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur, dr. Joni Wahyuhadi dan Gubernur Jawa Timur sendiri.
Mengenai mobil PCR yang disebut Risma disabotase ke daerah lain, menurut dr. Joni Wahyuhadi, hal itu dikarenakan pihak Dinas Kesehatan Surabaya tidak memberikan keterangan yang jelas dan tidak bilang mau memakai mobil untuk Kota Surabaya, acaranya apa, dan berapa orang yang diperiksa. Sedangkan Tulungagung dan Lamongan sudah melakkukan koordinasi dan sudah antre.
Senada dengan dr. Joni Wahyuhadi, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa menyebut bahwa di daerah lain (selain Surabaya) banyak pasien yang belum di-swab dan akhirnya meninggal dunia. Mengenai mobil PCR dibawa ke Tulungagung dan Lamongan karena menurut Khofifah PDP meninggal di Tulungagung itu tertinggi. Di Tulungagung mobil PCR men-swab 200 orang, sedangkan di Lamongan men-swab 50 orang.