Di suatu kota ada seorang yang teramat kikir. Rumahnya lumayan bagus. Ia bisa dibiliang terkaya di lingkungan tempat tinggalnya.
Sebagaimana orang kikir pada umumnya, ia tidak ingin memanjakan diri dengan kekayaannya. Setiap makan misalnya, lauknya cukup dengan kerupuk dan sambal. Itu sudah membuatnya puas dan senang. Kerupuk dan sambal merupakan menu permanen dan abadi baginya.
Ia memiliki banyak ternak ayam dan bebek, tetapi ia tidak pernah menikmati hasil dari ternaknya itu. Ia tak pernah memotong ayam atau bebeknya untuk dijadikan lauk makan. Bahkan sekedar mengambil telur saja ia tidak pernah.
Ia lebih suka menjual semuahasil ternaknya, termasuk telur ayam dan bebeknya. Mungkin ia punya prinsip bahwa daging atau telur ayam/bebeknya "bukan untuk konsumsi pribadi".
Begitu pula dengan buah-buahan yang ada di sekitar rumahnya yang cukup banyak dan bermacam-macam. Ia tidak pernah mau menikmati buah-buahan itu, kecuali beberapa buah yang jatuh (bukan dipetik) dari pohon.
Buah-buahan yang ada seperti mangga, rambutan, pisang, dan jeruk, lebih suka ia jual daripada dikonsumsi oleh diri atau keluarganya. Boro-boro ia membagi tetangga-tetangganya. Baginya semua hal harus menjadi uang.
Hasil dari penjualan ayam/bebek dan telurnya, serta buah-buahan kemudian ia belikan perhiasan emas. Semakin bertambah emas yang dimiliki, ia semakin puas dan senang. Emas dan kekayaan lain baginya adalah sebuah harga diri.
Sebagai seorang yang kikir, ia sangat benci kata "BERIKAN !". Sebaliknya ia sangat suka dengan kata "TERIMALAH !".
Suatu ketika pada sore hari langit mendung, angin bertiup kencang, dan suara guntur terdengar menggelegar di angkasa. Tidak lama turun hujan dengan sangat lebat.
Air hujan menggenang di sana sini. Di halaman rumah, di jalan, di sawah, termasuk di sungai yang ada di kota itu.
Dalam keadaan hujan lebat seperti itu, si kikir bukannya diam di rumah. Ia malah keluar rumah melihat ternak-ternaknya. Ia khawatir ternaknya kebanjiran.