Lihat ke Halaman Asli

Justru Karena Saya Cacat, Saya Butuh Berbagi

Diperbarui: 19 Oktober 2016   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inspirasi

Saya masih ingat bagaimana hidup saya berubah setelah sebuah pertemuan random di suatu sore di bulan Agustus.

Saya melangkah dengan berat hati menjauhi gerbang rumah sakit menuju halte bus seusai  sesi fisioterapi  rutin dan konsultasi dokter. Yang saya inginkan hanyalah pulang secepat mungkin, mematikan lampu  dan bersembunyi di balik selimut.  Saya baru mendengar vonis dokter bahwa tulang belakang saya mengalami pengeroposan dan saya diharuskan mengenakan korset besi yang didesain khusus untuk menyangga rangka tubuh. Korset ini yang akan mengikat saya dari bahu ke pinggul itu terlihat persis seperti sangkar burung yang akan membatasi ruang gerak saya.  Nafas saya mulai terasa sesak, saya marah pada kehidupan.

Saya adalah seorang penyandang cacat tubuh. Terlahir dengan kelainan tulang bawaan, saya harus melalui dua belas kali prosedur bedah dan proses  penyembuhan yang panjang agar dapat berfungsi dengan relatif normal. Kesulitan berjalan dan sakit punggung akut adalah bagian dari keseharian saya. Hampir setiap hari saya berharap sebelum tidur, semoga keesokan hari saat saya bangun pagi dan bercermin, akan tampak bayangan sosok lain menatap balik ke diri saya. Siapa saja tidak apa-apa, asal bukan saya. Dan setiap hari pula saya bangun pagi dengan kekecewaan. Masih saja sepasang mata yang sama yang menatap balik dari cermin. Sulit rasanya untuk tidak membandingkan diri  saya dengan orang lain.Tubuh yang penuh luka pisau bedah yang saling menyilang, kaki bengkok kecil yang selalu saya tutupi dengan celana panjang. Selalu ada frustrasi dan kemarahan yang membuat saya bertanya,”Mengapa saya?” Bagaimanapun saya seorang perempuan yang juga ingin tampil cantik.

Saat saya duduk tenggelam dalam amarah dan kegelapan pikiran saya di halte bus, terdengarlah sebuah suara isakan pelan. Saya tidak menyadari, ada seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh tahun sedang duduk sendirian disebelah saya. Mata dan hidungnya merah oleh tangis tertahan.  Saat saya menatapnya dan bertanya dalam hati mengapa ia terisak disana, tiba- tiba saya teringat saya masih menyimpan sebatang cokelat pahit pemberian seorang teman di tas punggung saya. Dengan batang cokelat di tangan kanan, saya menghampiri perempuan itu dan mengulurkan tangan saya,”Cokelat ini untuk kamu.”  Saat sepasang matanya yang masih berair bergerak dari tangan ke wajah saya, saya melanjutkan,”Kamu akan baik-baik saja karena kamu lebih kuat daripada situasimu.”

Sampai sekarang saya pun tidak tahu apa yang menggerakkan saya untuk melakukan itu. Tapi masih terpatri jelas di kepala saya momen saat sebatang cokelat itu berpindah tangan. Ekspresi wajahnya yang keheranan berubah menjadi senyum tulus yang lebar dan bibirnya berbisik,”Terima kasih, mbak.” Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang cukup lama, saya merasa bahagia.

Sewaktu saya merasakan kepedulian terhadap orang lain, secara tidak sadar, saya telah menggeser fokus perspektif dari “aku” menjadi “kita”. Saya bukan lagi aktor tunggal dibawah spotlight panggung ego di kepala saya. Sebelum pertemuan di sore hari itu, saya tenggelam dalam fokus negatif kedalam diri sendiri dan saya lupa, ada begitu banyak hal yang dapat saya bagikan; Secuil waktu untuk mendengarkan, seucap kata-kata penyemangat atau cerita tentang pengalaman hidup. Saya berbagi bukan karena kaya, melainkan karena berbagilah saya menjadi kaya.

Saya masih harus menjalani berbagai prosedur medis, sangkar burung penyangga tulang punggung pun masih saya kenakan. Tetapi saya tidak lagi bangun di pagi hari, menatap cermin dan bertanya penuh amarah“Mengapa saya?”. Sekarang saya sekarang memilih untuk tersenyum dan bertanya,”Apa yang dapat saya bagikan hari ini?”. Daripada duduk berpangku tangan menunggu mujizat, saya memilih untuk aktif menjadi mujizat bagi orang-orang di sekitar saya.

Saya tidak pernah tahu siapa perempuan muda itu dan mengapa ia menangis, tetapi ia hadir di saat yang tepat untuk mengajarkankan saya bahwa kebahagiaan tidaklah sejauh bulan.  Setelah sekian lama saya mencari, ternyata bahagia itu hanya sejauh seulas senyum dan sebatang cokelat pahit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline