Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengumumkan rencana untuk menghapus ujian nasional (UN). Tentu saja kemudian muncul silang pendapat, ada yang setuju, ada yang tidak setuju dan ada yang mengusulkan morotarium UN. Apabila ditanyakan kepada saya akan saya jawab UN tidak perlu dihapus, tetapi UN yang diperbaiki adalah wajib.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan tetap harus memiliki suatu sistem evaluasi belajar yang berskala nasional yang mampu petakan pendidikan di seluruh pelosok Indonesia. Pemerintah harus memiliki alat ukur baku, alat ukur yang sama yang digunakan di seluruh Indonesia untuk melihat di bagian mana pendidikan paling berhasil dan bagian mana yang kurang berhasil.
Apabila tidak ada alat ukur yang sama akan sulit membandingkan mutu pendidikan di suatu daerah dengan daerah yang lain. Hasil analisis dari evaluasi belajar ini nantinya dapat menjadi sumber data untuk merancang pembangunan. Sebab itu saya menuliskan judul evaluasi UN bukan penghapusan.
Ini adalah pertama kali dalam sejarah menteri pendidikan yang ingin menghapuskan UN. Yang lebih sering terjadi adalah ada saja komponen-komponen masyarakat yang tidak setuju dengan UN dan menghendaki UN dihapus tetapi Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pendidikan) cenderung ingin mempertahankan UN.
Evaluasi UN akan menjadi tantangan pertama dan sekaligus tantangan besar bagi Menteri Nadiem untuk menyelesaikan carut marut pelaksanaan UN. Apabila Menteri Nadiem mampu melakukan evaluasi UN dan menciptakan suatu sistem evaluasi belajar yang lebih baik tentu ini akan mendorong mutu pendidikan di Indonesia.
Tantangan evaluasi Ujian Nasional
Beberapa tahun terakhir apabila membicarakan UN yang cenderung terdengar adalah hal negatif mulai dengan kecurangan, UN dianggap tidak memerhatikan hak anak, sampai dengan yang terakhir adalah soal UN yang dianggap tidak sesuai dengan kisi-kisi. Apabila menghendaki alat evaluasi belajar yang berdaya guna dan bermutu hal-hal tersebut mestinya diselesaikan lebih dahulu.
Kecurangan UN telah muncul dalam satu dekade ini dan yang memprihatinkan menurut berita seringkali dimulai oleh para pengelola pendidikan itu sendiri, mulai dari guru, kepala sekolah, dinas pendidikan bahkan kadang terdengar keterlibatan pemerintah daerah.
Satu masalah kecurangan selesai bahkan melalui mekanisme hukum tidak lama kemudian muncul kecurangan yang lain. Hukuman penjara pun tidak membuat jera. Sepertinya memang ada celah dalam prosedur pelaksanaan UN sehingga para pelaksana memiliki kesempatan melakukan kecurangan, bahkan ketika UN telah dilakukan berbasis komputer pun masih terdengar cerita-cerita bagaimana cara "mencuranginya".
Entah karena terlalu kreatif atau karena moral nya sudah jatuh sampai ke dasar jurang sehingga tidak ada yang mengkontrol tindakannya, ide-ide kecurangan UN selalu muncul. Apabila menghendaki UN yang bermutu masalah kecurangan ini harus di antisipasi. Banyak negara lain melakukan pengamanan sangat ketat menyangkut ujian nasional mereka jadi Indonesia tidak perlu ragu-ragu melakukan hal yang sama.
Ujian Nasional bagaimana pun adalah ujian sehingga bagian yang penting adalah alat tes nya atau sebut saja soal-soal yang ter tuang dalam lembar ujian. Walaupun dikendalikan dengan kurikulum nasional Indonesia ini begitu luas sehingga terjadi variasi dalam pelaksanaan kurikulum. Apalagi kalau menghendaki pembelajaran yang kontektual, variasi adalah keniscayaan.